"Hyunah!" pekik ibu sembari
mengejarku dengan penggorengan di tangannya.
Pemandangan ini sudah tak asing
menghiasi sudut kota Cheonan setiap hari Jumat sore. Ibu yang sangat terobsesi
menjadi penari balet, dengan semena-mena mendaftarkanku ke kursus balet. Apa
ibu tidak bisa mengerti bahwa aku sama sekali tidak berbakat dan tidak berminat
di bidang itu? Aku lebih suka melukis daripada menari-nari bak angsa.
Lariku semakin cepat, meninggalkan ibu
yang kurasa mulai memperlambat langkahnya. Untung saja nilai atletikku cukup
bagus, setidaknya kemampuan lariku berguna untuk menghindari jitakan
penggorengan ibu setiap kali aku membolos kursus.
Kuhentikan lari dan bersembunyi di
balik pohon ek yang daunnya mulai berjatuhan, pertanda musim gugur hampir tiba.
Kulirik keadaan sekitar dan tak
mendapati ibu dalam pandanganku. Fiuh! Untunglah ibu tak menemukanku.
"Psst! Psst!"
Senyum segera tersungging di bibirku
ketika mendengar bisik panggilan seseorang. Kudongakkan kepala dan mendapati
Jongwoon telah duduk santai di atas rumah pohon yang kami dirikan.
"Ayo naik!" serunya sembari
melambaikan tangan.
"Baiklah," jawabku cepat
lalu segera memanjat anak tangga yang menempel di pohon besar itu.
Tak sulit bagiku untuk memanjat pohon
setinggi dua meter tersebut. Tinggal melepaskan sandal di tanah, kunaiki tangga
itu dengan enteng. Jongwoon melambai-lambaikan tangannya, memintaku segera tiba
di atas.
"Huah!" seruku saat telah
tiba di rumah pohon.
Jongwoon segera memberiku segelas air
yang dengan cepat kuteguk hingga habis. Walau rumah pohon ini tidak begitu
luas, hanya kira-kira 2x3 meter, tapi kami memiliki cukup banyak perlengkapan
dasar seperti gelas, teko, selimut, hingga kotak P3K.
"Kau membolos lagi?" tanya
Jongwoon sembari menahan tawa. Aku tahu, ia hanya bertanya iseng.
"Masih perlu kujawab?"
jawabku sambil terkekeh dan membaringkan tubuhku di lantai rumah pohon yang
telah dialas matras.
Jongwoon menduplikasi aksiku,
berbaring dengan menjadikan lipatan tangan masing-masing sebagai bantal. Kami
menatap langit-langit rumah pohon kami dalam diam. Tidak biasanya kami seperti
ini. Biasanya kami akan berceloteh tentang apa saja, terlebih karena kami tidak
bersekolah di tempat yang sama, sehingga selalu saja ada yang dapat kami bagi
jika bertemu di sini.
Kumiringkan tubuh, memperhatikan
lelaki itu.
"Hyunah-ya," panggil
Jongwoon sambil tetap menatap langit-langit tanpa menoleh padaku.
"Hm?"
"Jika dewasa nanti, kau ingin
menjadi apa?" tanyanya.
"Aku? Hm..." Aku berpikir
sejenak. Kukembalikan posisi tubuhku menghadap langit-langit. "Aku ingin
menjadi pelukis, tapi sepertinya hidup sebagai pelukis bukan profesi yang
menjanjikan...," kataku menerawang. "Kalau kau?"
"Entahlah... Aku tak punya
keahlian khusus sepertimu," jawabnya pelan.
Dengan cepat, aku bangkit dari posisi
baring lalu duduk menghadap ke arahnya. "Suaramu bagus! Kurasa kau bisa
bercita-cita menjadi penyanyi."
Jongwoon tertawa. "Mimpi itu
terlalu tinggi," jawabnya.
Aku berdecak sebal. "Setidaknya
menjadi penyanyi lebih menjanjikan daripada pelukis." Aku menghela napas.
Sedikit kecewa dengan kemampuan yang tak begitu menjual yang kumiliki.
"Atau begini saja," kata
Jongwoon kemudian bangkit duduk berhadapan denganku. "Kita
berandai-andai... Jika nanti aku menjadi penyanyi dan kau menjadi pelukis,
bagaimana kalau nanti kau melukis aku?" katanya sambil terkekeh.
Mataku berbinar. "Huah! Pasti
akan sangat keren!" seruku senang, membayangkan jika mimpi itu menjadi
kenyataan.
*
Puas bermalasan di rumah pohon,
Jongwoon mengajakku ke rumahnya. Katanya, hari ini ibunya memasak japchae kesukaanku. Japchae ibuku memang enak, tetapi bagiku, japchae masakan ibu Jongwoon yang terbaik. Tak heran, setiap kali
memasak japchae, ibu Jongwoon selalu
ingat untuk meminta anak laki-lakinya mengajakku ke rumah.
"Kami pulang," sapa Jongwoon
saat telah tiba di rumah.
"Oh! Kalian sudah pulang?"
jawab ibu Jongwoon sambil tangannya membawa sepiring japchae dan menatanya di atas meja makan.
Segera kuteguk ludah saat hidungku
menangkap wangi japchae yang
menggodaku untuk melahapnya.
"Hyunah-ya, ikutlah makan. Eomonim ada masak japchae."
Aku segera mengangguk penuh semangat
seraya membasahi bibir. "Terima kasih, Eomonim."
Seperti biasa, kami duduk bersila di
atas meja rendah di ruang makan. Ayah dan ibu Jongwoon serta Jongjin, adiknya,
juga makan bersama.
*
"Aaaaa.... Aku benar-benar tak
menyangka kau ternyata adalah teman masa kecil Yesung Super Junior!" seru
Minah sesaat setelah kuceritakan sepotong kenangan masa kecilku bersama
Jongwoon, ketika kami masih berusia lima belas tahun.
"Aku sendiri tak menyangka dia
berhasil menggapai cita-citanya menjadi penyanyi."
Minah merentangkan kedua tangannya
lebar-lebar sembari menatap langit-langit kamar. Kami sedang berbaring di
kamarku. Kemudian, dengan tatapan jahil, gadis itu menggeser tubuhnya
mendekatiku lalu merangkul lengan kananku dengan manja.
"Kenapa kau tak mendekatinya
saja? Dia sangat tampan!"
Kuteguk ludah dengan panik. "Kau
gila?! Mau kukemanakan Changsun?!" pekikku.
Minah menghela napas berlebihan.
"Changsun lagi... Changsun lagi... Aku heran kenapa kau begitu
mengharapkan pria itu. Dia tak pantas untuk kau pertahankan. Lihat saja hari
ini! Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan berusaha untuk merayakannya
denganmu."
"Minah, dia sudah mengatakan
padaku, hari ini dia sibuk seharian bersama tamunya yang datang dari
Jepang," jawabku dengan nada rendah. Ada keraguan dalam setiap suara yang
kukeluarkan.
Apa benar ia bersama tamu dari Jepang?
Atau jangan-jangan, lelaki itu malah sibuk dengan perempuan lain?
Ah... Lagi-lagi aku curiga. Aku tidak
tahu mengapa pikiranku terus berkeliaran memikirkan berbagai spekulasi buruk
tentang tunanganku, seakan lima tahun kebersamaan kami tak lagi menjadi
pertimbangan. Apa aku mulai lupa kalau pondasi kokoh sebuah hubungan adalah
rasa saling percaya?
"Oh ya? Kau yakin dia bersama
tamu dari Jepang?" Minah mengangkat sebelah alisnya.
Aku terdiam.
"Hyunah, jangan terlalu dibutakan
cinta. Jangan pula kau berpikir karena kau terlanjur berhubungan lama
dengannya. Tidak ada yang salah dengan single
berusia 29 tahun-"
"Tapi..." potongku. Aku
tahu, sebenarnya hal itu jugalah yang kukhawatirkan. Aku seakan menutup telinga
pada setiap laporan teman-temanku tentang Changsun karena aku takut hubungan
kami akan berakhir. Kami telah bersama cukup lama, dan berencana menikah. Jika
kami berakhir, tidak hanya batal menikah, aku akan kembali menyandang status single di usia yang mendekati kepala
tiga. Yah, aku tahu, ini terdengar konyol. Tapi... Jujur, aku masih mencintai
Changsun, terlepas karena alasan aku takut sendiri di usia matang.
"Hyunah, kau telah mendengar
banyak. Saatnya kau melihat. Jika kau terus membuang waktu, kau akan semakin
tua dan hubunganmu dengannya tak akan menjadi baik dengan sendirinya. Percaya
padaku, Changsun bukan pria yang pantas untukmu. Dia telah menyia-nyiakanmu.
Dan jika kau memintaku untuk jujur, aku akan dengan lantang mengatakan,
putuskan dia dan jangan pernah menoleh padanya lagi! Masih banyak pria di luar
sana yang lebih pantas untuk sahabatku!"
Aku terkekeh. Sungguh berterima kasih
atas perhatiannya.
"Ck, kenapa malah tertawa? Aku
serius! Lihat saja, sampai detik ini pun - kau lihat, hari ulang tahunmu sudah
hampir lewat, dia masih belum menghubungimu!"
Yah, Changsun sama sekali tidak
menghubungiku lagi, padahal jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.
Astaga! Bahkan sejak dari cafe tadi,
aku belum mengecek ponselku!
Tanpa pikir panjang, aku segera
bangkir dari ranjang mendekati meja rias yang ada di seberangku. Kuraih tas
tangan hitamku lalu mengaduknya panik. Setengah hatiku terus berharap semoga
saja Changsun menghubungiku.
"Astaga! Di mana ponselku?!"
pekikku frustrasi seraya menumpahkan seluruh isi tas ke atas ranjang setelah
tadi mengaduknya dua kali dan tak menemukan apa yang kucari.
"Kenapa? Ponselmu hilang?"
tanya Minah khawatir.
"Kurasa begitu," jawabku
rendah, nyaris menangis. "Aduh...bagaimana ini?!" rengekku frustrasi.
"Sebentar... Sebentar... Coba kau
ingat-ingat dulu."
Aku terdiam kemudian berusaha
mengingat ke mana saja kami seharian.
Hanya Mouse Rabbit.
Apa jangan-jangan ketinggalan di sana?
Tapi... Kurasa tidak mungkin.
Apa mungkin terjatuh? Atau...
"Ah! Apa tadi dicopet orang yang
menabrak kita?"
"Ei... Apa ada pencopet di daerah
Yeoksam-dong?"
"Yah...siapa tau," kataku
putus asa.
Kuhela napas berlebih sembari memijat
kening. Ponsel hilang bagai petaka. Semua nomor-nomor penting di dalamnya. Dan
bodohnya tak pernah kucatat di buku telepon - terlebih, ingatanku sungguh buruk
dalam mengingat angka.
"Ya! Coba kutelepon!" seru Minah tiba-tiba kemudian bangkit
dari ranjang dan meraih tas tangannya di meja riasku.
Dengan gerakan super cepat,
dikeluarkannya ponsel lalu menekan angka 8 lalu menempelkan ponselnya ke
telinga.
"Ah! Tersambung!" pekiknya
antusias.
Mataku berbinar. Semoga saja diangkat
dan si penemu ponselku itu berbaik hati mengembalikannya padaku.
Minah menjauhkan ponsel dari telinganya
lalu menekan tombol untuk mengaktifkan loud
speaker. Mataku mengerjap menanti
siapapun yang berbaik hati menerima sambungan telepon.
"Halo," sapa suara di
seberang sana, terdengar ragu.
Spontan, aku dan Minah saling menatap
seraya mengerutkan kening. Kemudian kembali berfokus pada layar ponsel ketika
terdengar sapaan 'halo' sekali lagi.
Rasanya... Suara itu tidak asing.
"Ha... Halo..." kusahut
dengan canggung. "Ehm, siapa ini?" tanyaku ragu.
Oleh : Delia Angela.
Bisa dibaca di www.delafh.com juga.
Thanks for reading, and mind to leave comment.
^^
Oleh : Delia Angela.
Bisa dibaca di www.delafh.com juga.
Thanks for reading, and mind to leave comment.
^^
2 comments:
yaaa~~~ bikin penasaran lagii... tapi pendek banget ce @_@
hahaha...
sengaja bikin penasaraaaan
XD~
Itu udah 5 lembar lhoo.
Tunggu part 4 yaa...
Partnya Yesung
^^
Thx dah baca dan ninggalin komen
>.<
Post a Comment