19 February, 2013

Dear You #3

"Hyunah!" pekik ibu sembari mengejarku dengan penggorengan di tangannya.
Pemandangan ini sudah tak asing menghiasi sudut kota Cheonan setiap hari Jumat sore. Ibu yang sangat terobsesi menjadi penari balet, dengan semena-mena mendaftarkanku ke kursus balet. Apa ibu tidak bisa mengerti bahwa aku sama sekali tidak berbakat dan tidak berminat di bidang itu? Aku lebih suka melukis daripada menari-nari bak angsa. 
Lariku semakin cepat, meninggalkan ibu yang kurasa mulai memperlambat langkahnya. Untung saja nilai atletikku cukup bagus, setidaknya kemampuan lariku berguna untuk menghindari jitakan penggorengan ibu setiap kali aku membolos kursus.
Kuhentikan lari dan bersembunyi di balik pohon ek yang daunnya mulai berjatuhan, pertanda musim gugur hampir tiba.
Kulirik keadaan sekitar dan tak mendapati ibu dalam pandanganku. Fiuh! Untunglah ibu tak menemukanku.
"Psst! Psst!"
Senyum segera tersungging di bibirku ketika mendengar bisik panggilan seseorang. Kudongakkan kepala dan mendapati Jongwoon telah duduk santai di atas rumah pohon yang kami dirikan.
"Ayo naik!" serunya sembari melambaikan tangan.
"Baiklah," jawabku cepat lalu segera memanjat anak tangga yang menempel di pohon besar itu.
Tak sulit bagiku untuk memanjat pohon setinggi dua meter tersebut. Tinggal melepaskan sandal di tanah, kunaiki tangga itu dengan enteng. Jongwoon melambai-lambaikan tangannya, memintaku segera tiba di atas.
"Huah!" seruku saat telah tiba di rumah pohon.
Jongwoon segera memberiku segelas air yang dengan cepat kuteguk hingga habis. Walau rumah pohon ini tidak begitu luas, hanya kira-kira 2x3 meter, tapi kami memiliki cukup banyak perlengkapan dasar seperti gelas, teko, selimut, hingga kotak P3K.
"Kau membolos lagi?" tanya Jongwoon sembari menahan tawa. Aku tahu, ia hanya bertanya iseng.
"Masih perlu kujawab?" jawabku sambil terkekeh dan membaringkan tubuhku di lantai rumah pohon yang telah dialas matras.
Jongwoon menduplikasi aksiku, berbaring dengan menjadikan lipatan tangan masing-masing sebagai bantal. Kami menatap langit-langit rumah pohon kami dalam diam. Tidak biasanya kami seperti ini. Biasanya kami akan berceloteh tentang apa saja, terlebih karena kami tidak bersekolah di tempat yang sama, sehingga selalu saja ada yang dapat kami bagi jika bertemu di sini.
Kumiringkan tubuh, memperhatikan lelaki itu.
"Hyunah-ya," panggil Jongwoon sambil tetap menatap langit-langit tanpa menoleh padaku.
"Hm?"
"Jika dewasa nanti, kau ingin menjadi apa?" tanyanya.
"Aku? Hm..." Aku berpikir sejenak. Kukembalikan posisi tubuhku menghadap langit-langit. "Aku ingin menjadi pelukis, tapi sepertinya hidup sebagai pelukis bukan profesi yang menjanjikan...," kataku menerawang. "Kalau kau?"
"Entahlah... Aku tak punya keahlian khusus sepertimu," jawabnya pelan.
Dengan cepat, aku bangkit dari posisi baring lalu duduk menghadap ke arahnya. "Suaramu bagus! Kurasa kau bisa bercita-cita menjadi penyanyi."
Jongwoon tertawa. "Mimpi itu terlalu tinggi," jawabnya.
Aku berdecak sebal. "Setidaknya menjadi penyanyi lebih menjanjikan daripada pelukis." Aku menghela napas. Sedikit kecewa dengan kemampuan yang tak begitu menjual yang kumiliki.
"Atau begini saja," kata Jongwoon kemudian bangkit duduk berhadapan denganku. "Kita berandai-andai... Jika nanti aku menjadi penyanyi dan kau menjadi pelukis, bagaimana kalau nanti kau melukis aku?" katanya sambil terkekeh.
Mataku berbinar. "Huah! Pasti akan sangat keren!" seruku senang, membayangkan jika mimpi itu menjadi kenyataan.
*
Puas bermalasan di rumah pohon, Jongwoon mengajakku ke rumahnya. Katanya, hari ini ibunya memasak japchae kesukaanku. Japchae ibuku memang enak, tetapi bagiku, japchae masakan ibu Jongwoon yang terbaik. Tak heran, setiap kali memasak japchae, ibu Jongwoon selalu ingat untuk meminta anak laki-lakinya mengajakku ke rumah.
"Kami pulang," sapa Jongwoon saat telah tiba di rumah.
"Oh! Kalian sudah pulang?" jawab ibu Jongwoon sambil tangannya membawa sepiring japchae dan menatanya di atas meja makan.
Segera kuteguk ludah saat hidungku menangkap wangi japchae yang menggodaku untuk melahapnya.
"Hyunah-ya, ikutlah makan. Eomonim ada masak japchae."
Aku segera mengangguk penuh semangat seraya membasahi bibir. "Terima kasih, Eomonim."
Seperti biasa, kami duduk bersila di atas meja rendah di ruang makan. Ayah dan ibu Jongwoon serta Jongjin, adiknya, juga makan bersama.
*
"Aaaaa.... Aku benar-benar tak menyangka kau ternyata adalah teman masa kecil Yesung Super Junior!" seru Minah sesaat setelah kuceritakan sepotong kenangan masa kecilku bersama Jongwoon, ketika kami masih berusia lima belas tahun.
"Aku sendiri tak menyangka dia berhasil menggapai cita-citanya menjadi penyanyi."
Minah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sembari menatap langit-langit kamar. Kami sedang berbaring di kamarku. Kemudian, dengan tatapan jahil, gadis itu menggeser tubuhnya mendekatiku lalu merangkul lengan kananku dengan manja.
"Kenapa kau tak mendekatinya saja? Dia sangat tampan!"
Kuteguk ludah dengan panik. "Kau gila?! Mau kukemanakan Changsun?!" pekikku.
Minah menghela napas berlebihan. "Changsun lagi... Changsun lagi... Aku heran kenapa kau begitu mengharapkan pria itu. Dia tak pantas untuk kau pertahankan. Lihat saja hari ini! Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan berusaha untuk merayakannya denganmu."
"Minah, dia sudah mengatakan padaku, hari ini dia sibuk seharian bersama tamunya yang datang dari Jepang," jawabku dengan nada rendah. Ada keraguan dalam setiap suara yang kukeluarkan.
Apa benar ia bersama tamu dari Jepang? Atau jangan-jangan, lelaki itu malah sibuk dengan perempuan lain?
Ah... Lagi-lagi aku curiga. Aku tidak tahu mengapa pikiranku terus berkeliaran memikirkan berbagai spekulasi buruk tentang tunanganku, seakan lima tahun kebersamaan kami tak lagi menjadi pertimbangan. Apa aku mulai lupa kalau pondasi kokoh sebuah hubungan adalah rasa saling percaya?
"Oh ya? Kau yakin dia bersama tamu dari Jepang?" Minah mengangkat sebelah alisnya.
Aku terdiam.
"Hyunah, jangan terlalu dibutakan cinta. Jangan pula kau berpikir karena kau terlanjur berhubungan lama dengannya. Tidak ada yang salah dengan single berusia 29 tahun-"
"Tapi..." potongku. Aku tahu, sebenarnya hal itu jugalah yang kukhawatirkan. Aku seakan menutup telinga pada setiap laporan teman-temanku tentang Changsun karena aku takut hubungan kami akan berakhir. Kami telah bersama cukup lama, dan berencana menikah. Jika kami berakhir, tidak hanya batal menikah, aku akan kembali menyandang status single di usia yang mendekati kepala tiga. Yah, aku tahu, ini terdengar konyol. Tapi... Jujur, aku masih mencintai Changsun, terlepas karena alasan aku takut sendiri di usia matang.
"Hyunah, kau telah mendengar banyak. Saatnya kau melihat. Jika kau terus membuang waktu, kau akan semakin tua dan hubunganmu dengannya tak akan menjadi baik dengan sendirinya. Percaya padaku, Changsun bukan pria yang pantas untukmu. Dia telah menyia-nyiakanmu. Dan jika kau memintaku untuk jujur, aku akan dengan lantang mengatakan, putuskan dia dan jangan pernah menoleh padanya lagi! Masih banyak pria di luar sana yang lebih pantas untuk sahabatku!"
Aku terkekeh. Sungguh berterima kasih atas perhatiannya.
"Ck, kenapa malah tertawa? Aku serius! Lihat saja, sampai detik ini pun - kau lihat, hari ulang tahunmu sudah hampir lewat, dia masih belum menghubungimu!"
Yah, Changsun sama sekali tidak menghubungiku lagi, padahal jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.
Astaga! Bahkan sejak dari cafe tadi, aku belum mengecek ponselku!
Tanpa pikir panjang, aku segera bangkir dari ranjang mendekati meja rias yang ada di seberangku. Kuraih tas tangan hitamku lalu mengaduknya panik. Setengah hatiku terus berharap semoga saja Changsun menghubungiku.
"Astaga! Di mana ponselku?!" pekikku frustrasi seraya menumpahkan seluruh isi tas ke atas ranjang setelah tadi mengaduknya dua kali dan tak menemukan apa yang kucari.
"Kenapa? Ponselmu hilang?" tanya Minah khawatir.
"Kurasa begitu," jawabku rendah, nyaris menangis. "Aduh...bagaimana ini?!" rengekku frustrasi.
"Sebentar... Sebentar... Coba kau ingat-ingat dulu."
Aku terdiam kemudian berusaha mengingat ke mana saja kami seharian.
Hanya Mouse Rabbit.
Apa jangan-jangan ketinggalan di sana?
Tapi... Kurasa tidak mungkin.
Apa mungkin terjatuh? Atau...
"Ah! Apa tadi dicopet orang yang menabrak kita?"
"Ei... Apa ada pencopet di daerah Yeoksam-dong?"
"Yah...siapa tau," kataku putus asa.
Kuhela napas berlebih sembari memijat kening. Ponsel hilang bagai petaka. Semua nomor-nomor penting di dalamnya. Dan bodohnya tak pernah kucatat di buku telepon - terlebih, ingatanku sungguh buruk dalam mengingat angka.
"Ya! Coba kutelepon!" seru Minah tiba-tiba kemudian bangkit dari ranjang dan meraih tas tangannya di meja riasku.
Dengan gerakan super cepat, dikeluarkannya ponsel lalu menekan angka 8 lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
"Ah! Tersambung!" pekiknya antusias.
Mataku berbinar. Semoga saja diangkat dan si penemu ponselku itu berbaik hati mengembalikannya padaku.
Minah menjauhkan ponsel dari telinganya lalu menekan tombol untuk mengaktifkan loud speaker. Mataku mengerjap menanti siapapun yang berbaik hati menerima sambungan telepon.
"Halo," sapa suara di seberang sana, terdengar ragu.
Spontan, aku dan Minah saling menatap seraya mengerutkan kening. Kemudian kembali berfokus pada layar ponsel ketika terdengar sapaan 'halo' sekali lagi.
Rasanya... Suara itu tidak asing.
"Ha... Halo..." kusahut dengan canggung. "Ehm, siapa ini?" tanyaku ragu.


Oleh : Delia Angela. 

Bisa dibaca di www.delafh.com juga.

Thanks for reading, and mind to leave comment.

^^


 

2 comments:

Anonymous said...

yaaa~~~ bikin penasaran lagii... tapi pendek banget ce @_@

Lia Chan said...

hahaha...
sengaja bikin penasaraaaan
XD~

Itu udah 5 lembar lhoo.
Tunggu part 4 yaa...
Partnya Yesung
^^
Thx dah baca dan ninggalin komen
>.<