26 December, 2013

Blue Christmas



Blue Christmas
*
Nampan itu bukan hanya jatuh dan terpelanting di lantai. Bahkan semua makanan, gelas dan piring milik laki-laki itu hancur berserakan. Miris, batinku.
Ia berdiri terpaku menatap makanan di bawah. Entah apa yang ia pikirkan, menyayangkan makan siangnya?
Sebenarnya aku tidak bermaksud ingin mencampuri urusan laki-laki itu, tidak berniat membantu juga. Tapi tiba-tiba saja kulangkahkan kaki ke arahnya. Kusuruh wanita di balik konter untuk mengambil sapu dan pengepel lalu ia mengerjakannya tanpa bicara, tersenyum juga tidak.
Tidak banyak yang bisa kulakukan selain ikut memungut pecahan gelas dan piring ke atas nampan.
Celananya basah, melekat ke tubuhnya, dan dari sana tercetak lutut yang kurus. Setelah diperhatikan lebih teliti, sepertinya tinggi kami juga tidak beda jauh. Tidak ada yang menarik. Celana yang menggantung, jaket yang kebesaran, dan kaus lengket dengan kuah soto.
Benar-benar berantakan.
Ia tersenyum padaku. Senyum indah di wajahnya yang lusuh langsung mengejutkanku.
“Terima kasih,” katanya.
Kusorongkan nampan dengan pelan ke laki-laki itu dan kembali ke meja. Mungkin aku terlihat tidak sopan karena hanya diam dan memasang ekspresi datar, tapi aku tidak peduli.
Aku bekerja sebagai editor di perusahaan penerbit terkenal dan selalu makan siang di kantin dekat kantor. Maka dari itu aku hapal wajah laki-laki itu dikarenakan ia sering menatapku.
Penampilannya aneh. Terkadang ia mengenakan celana kain baggy selutut dan kelonggaran, sesekali sweater yang hampir pudar warnanya, atau kaos bertotol-totol dan sudah berbulu. Keseringan juga duduk sendiri dan hanya menatap makanannya tanpa disentuh atau menyantap sambil membaca lalu sibuk menuliskannya ke sebuah buku. Sekali lagi, aku tidak bermaksud memperhatikannya, tetapi dikarenakan ia termasuk pengunjung paling nyentrik di ruangan ini, mau tak mau ia menyedot perhatianku.
*
Beberapa hari setelah insiden “The Crash Tray” – begitu aku menyebutnya – laki-laki itu menghampiri kami, saat aku dan Handy sedang membahas sebuah naskah dan kukatakan padanya bahwa meja ini sudah penuh dan melanjutkan membaca. Ia cuma meminta maaf dan pergi bersama nampannya ke meja lain.
“Kamu itu kenapa sih, El?” tanya Handy dengan nada sinis.
“Nggak ada apa-apa, kok. Aku itu orangnya agak pemilih. Jadi ... sedikit selektif buat nerima orang lain buat semeja sama aku boleh, dong?”
Handy mendengus. “Aku mencium bau diskriminasibungkus.”
Akupun mengendikkan bahu dan tenggelam dalam bacaanku lagi. Satu jam kemudian, Handy kembali dari ruangan merokok dan menarik kursi agar bisa duduk berdekatan denganku. Ia pasti punya berita mengejutkan untuk digosipkan.
“Aku tadi merokok bareng Giddy,” katanya hampir berbisik.
Kukernyitkan kening dan tetap fokus menatap monitor karena menurutku, gosip Handy barusan tidaklah penting.
“Giddy itu cowok yang mau duduk bareng kita tadi. Yang nampannya jatuh itu. Yang kamu nolong dia waktu itu.”
Kututup layar monitor dan mengemasi berkas-berkasku di atas meja. “Aku nggak nolong dia, tapi nolong ibu kantin.”
“Nanya namamu...,”
“Ha?”
“Dia nanya nama kamu.”
“Terus kamu bilang apa?” tanyaku sedikit penasaran.
“Giselle, dong,” jawab Handy spontan.
Aku mendelik.
“Dia bilang mukamu nggak asing. Familiar gitu,” jelas Handy. “Mirip dengan seseorang yang dia kenal.”
“Seseorang yang dia kenal?”
“Entahlah. Palingan cuma strategi. Mungkin dia naksir ama kamu, El.”
“Naksir ama aku? Tampang kucel begitu?”
“Iya. Cocok jadi tukang parkir atau pengamen.”
Aku hampir tertawa tapi tidak jadi, jadi senyumku hanya mengembang saja dan mengira-ngira, apakah Handy ada berkata padanya bahwa dia cocok jadi tukang parkir atau pengamen. Ya ampun, semoga saja tidak....
*
Sepanjang minggu kuhabiskan dengan menyeleksi delapan naskah yang masuk, entah itu di kantor atau jam makan siang seperti sekarang. Handy tidak bisa membantuku karena sedang sibuk proof read naskah lain.
Jadi, aku memutuskan untuk ke ATM center di lantai atas terlebih dahulu baru turun ke kantin dan pulang ke kantor lagi secepatnya. Saat tiba di depan lift dengan nafas ngos-ngosan, ternyata sudah ada Giddy di dalamnya. Ia menyapa dan kubalas ala kadarnya saja tanpa tersenyum.
Setelah melangkah masuk dengan kaku. Aku merasakan atmosfir mendebarkan. Lift yang bisa memuat lebih dari sepuluh orang ini tiba-tiba saja terasa sempit dikarenakan berdua saja dengan orang asing, dan itu membuatku sedikit khawatir. Sekarang aku menimbang-nimbang, apakah harus turun di lantai berikutnya lalu berjalan kaki naik ke ATM center lewat tangga darurat atau tetap berada di ruangan sempit ini bersama Giddy hingga ke lantai lima.
Jangan panik, batinku. Hanya karena sering menatapmu bukan berarti ia akan melakukan tindakan kriminalitas.
“Kayaknya kamu harus pencet tombolnya atau kita bakalan seharian di sini, deh.”
Terlalu sibuk memikirkan dan menduga-duga apa yang akan si Giddy lakukan membuatku lupa bersikap normal. Argh. Aku merasa seperti orang idiot dan terpaksa melempar senyum ke Giddy.
Ia membalas senyumku, dan baru kusadari matanya lumayan besar untuk ukuran etnis Tionghoa dan harus kuakui, bulu matanya lebih lentik dari milikku yang meskipun sudah dipoles maskara. Dan itulah yang membuatnya terlihat ...  manis. Kemudian ada yang menampar dan membangunkanku dari lamunan tentang Giddy. Ponsel yang sedari tadi kugenggam jatuh menghantam lantai. Dengan sigap aku berlutut memungutnya, dan Giddy juga melakukan hal yang sama hingga kepala kami terantuk.
Adegan romantis klise! Batinku. Walaupun keningku berdenyut, kami berdua cukup kaget karena lift sudah berhenti dan kami juga serempak melihat pintu yang sudah terbuka lebar. Menanggung perasaan malu yang tak tertampung lagi, aku melarikan diri dan belok ke kiri menuju ATM center.
Setelah yakin Giddy tidak membuntuti, dengan perasaan tak keruan aku mencoba menenangkan diri mengantri di depan mesin. Beratus-ratus pertanyaan merayap di benak. Apa tanggapan Giddy setelah aku kabur tanpa meminta maaf, atau meninggalkan setidaknya sepatah dua patah kata? Apa menurutnya aku gadis aneh? Tidak punya sopan santun? Gila? Atau jangan-jangan Giddy menganggapku seperti cinderella yang kabur begitu mendengar suara lift berdenting?
Spontan aku langsung menunduk dan lega sepatu snikers masih melekat di kaki.
“Kok tadi pergi?”
Aku terperanjat kaget saat mendengar suara laki-laki berbisik di telinga. Lebih kaget lagi ternyata suara itu milik Giddy.
“Oh. Lagi buru-buru banget.”
Buru-buru? Alasan seperti apa itu?
Giddy hanya mengangguk-angguk. Kelihatan puas dengan jawabanku lalu pamit dan ikut mengantri di belakang. Satu komentar untuk diriku hari ini. Memalukan. Oke, mungkin dua kata. Sungguh memalukan.
*
Aku memesan makanan tanpa melihat menu lagi. Insiden “Escape from the lift barusan membuatku begitu nelangsa. Sampai sekarang, aku masih belum bisa memaafkan diriku karena gagal memberikan kesan “chic and smart” ke orang yang baru dikenal.
Siang ini kafetaria terlalu ramai, perasaanku sedikit lega karena ada satu kursi tersisa di dekat jendela. Menu yang kuambil benar-benar tidak memenuhi selera. Sehingga aku berencana untuk memesan menu yang lain, tapi saat mataku menyapu ruangan, sosok Giddy yang sedang membayar di kasir membuatku sedikit panik. Kutelan nasi kuning dengan susah payah begitu menyadari orang-orang yang makan di depanku mulai beranjak pergi satu per satu.
Oh, Tuhan. Giddy bisa datang kapan saja, bahkan mungkin detik berikutnya ia bisa menemukanku. Aku menundukkan kepala, berpura-pura membaca novel Raksasa dari Jogja yang baru dibeli. Menunggu. Benar saja, beberapa menit kemudian Giddy sudah di depanku bersama nampannya.
Aku bisa melihat dengan jelas kuku-kukunya yang bersih dan rapi.
“Boleh aku duduk?”
Suaranya lembut. Memesona.
Apa yang harus kukatakan? Aku cuma bisa mengangguk karena meja memang sudah penuh semua. Lucunya lagi, sebelum menyantap makanan, ia juga berkata “bon apetit” padaku yang jelas-jelas mengabaikannya.
Giddy memilah-milah makanan, dan dari yang kulihat, ia memisahkan lauk yang sudah dipotong kecil-kecil terlebih dahulu lalu dengan pelan memasukkannya ke mulut.
“Sudah pernah ke sana?”
“Ha? Ke mana?” Otakku agak error. Mungkin karena kejadian siang ini. Dari menjatuhkan buku, kepala terantuk, dan semuanya hingga aku tak begitu memahami maksud pertanyaan Giddy.
“Jogja. Jawa.”
Aku memandanginya dan berpikir ulang apa yang dikatakan Handy tentang diriku yang mengingatkannya pada seseorang. Apakah orang itu tinggal di Jogja? Istrinya? Pacar? Gebetan?
“Kayaknya itu bukan pertanyaan yang sulit, deh,” cetusnya.
Giddy tersenyum dan itu membuat matanya berkeriput.
Aku menggeleng. “Belum pernah.”
Begitulah semuanya bermula. Giddy memberi pertanyaan, aku cukup menggeleng dan mengangguk, menjawab seadanya kemudian lanjut ke pertanyaan lain. Aku menceritakan tentang minatku soal membaca, buku, hal-hal yang aku suka. Semuanya mengalir begitu saja.
Beberapa hari kemudian, Giddy menghampiri meja kami lagi dan aku langsung mempersilakannya untuk duduk. Handy menatap kebingungan dan sedetik kemudian wajahnya dihiasi cengiran hingga membuat semua darahku naik ke pipi.
Setelah itu, Giddy sering duduk bersama kami. Kami berdiskusi segala hal tanpa henti. Ya, tentu saja kami juga membicarakan kehidupan pribadi juga. Aku memberitahunya bahwa ibuku lahir di Jogja, tapi aku belum pernah menapakkan kaki di sana. Ketika Giddy pamit pulang, Handy bertanya, bagaimana mungkin kami selalu memiliki topik untuk dibahas?
“Giddy itu enak diajak bicara. Banyak membaca lagi. Benar-benar berwawasan.”
“Iya. Kalian berdua ngobrol nggak ada habisnya. Sampai aku aja nggak ada kesempatan buat buka mulut.” Handy berpura-pura cemberut.
“Ada, kok. Tadi kamu kan masukin makanan ke mulut.” Ucapanku barusan pun berbuah jitakan di kepala.
*
Aku dan Giddy hanya bertemu di saat makan siang. Kami tidak bertukar nomor telepon, akun jejaring sosial, bahkan aku tak bertanya mengenai statusnya. Seakan pembahasan pribadi itu terlalu privasi untuk kami ungkit. Satu yang pasti, ia tak mengenakan cincin di jari manis.
Siang ini, seperti biasanya, kami memesan menu yang sama dan duduk di tempat favorit kami. Seakan posisi ini memang sudah terancang khusus untuk kami.
“Ada Indonesia Book Fair. Mau pergi bareng nggak?”
“Um ... aku nggak tahu.”
“Siapa tahu ada Dr. Sleep di sana.”
Sebenarnya aku mau banget pergi bareng Giddy, mencari buku, membahas sebuah buku. Aku bahkan sudah tidak menganggapnya aneh atau nyentrik lagi melainkan timbul perasaan nyaman seiring pertemanan kami yang sudah jalan dua bulan.
“Setelah dari book fair, aku akan membuat pasta. Kamu suka nggak?”
“Yay. I love it!”
Giddy tertawa melihat responku. “Aku juga. So, jadi, ya?”
Aku bahkan tak ragu untuk membalasnya dengan sebuah anggukan cepat.
*
Setelah belanja beberapa buku, dan menikmati pasta yang dibuat Giddy. Aku berleha-leha di ruang tamunya yang lumayan cozy. Giddy memiliki perpustakaan mini yang hanya disekat rak buku tinggi hingga ke dek, dan bukunya terlalu banyak terlihat berdesakan di setiap sudut. Mataku menjelajahi judul-judul buku yang ternyata termasuk salah satu favoritku.
Bahkan Giddy sudah memasang pohon Natal mini. Hanya sepinggangku. Aku jadi berpikir, siapa yang akan diajaknya bermalam Natal bersama.
“Anggap saja ini rumahmu sendiri,” jelas Giddy saat duduk menikmati cokelat di sofa panjang yang sudah agak bulukan. Ada bantal, guling dan selimut yang tergeletak di sana. Kurasa sofa itu lebih sering ditiduri dibandingkan dengan kasur di kamar.
Thanks. Berarti apakah buku-buku ini bisa kujadikan koleksi juga?”
Giddy tertawa. Aku membuka beberapa buku untuk membaca halaman pertama. Tiap buku ditulisi “Gideon” dan tanggal. Tulisan tangannya sangat rapi untuk ukuran laki-laki.
“Maaf, nggak boleh. Aku nggak bisa hidup tanpa buku. Rasanya bakalan kesepian,” candanya.
“Aneh. Aku juga gitu. Mereka itu udah kayak ... teman.”
Giddy tertawa pelan. “Ya, itu juga kedengaran seperti kesepian.”
Aku menutup buku dan menoleh ke belakang. “Jadi kamu juga menganggap seperti itu?”
Ia mengangguk dan tersenyum sesudahnya. “Tapi nggak begitu kesepian sih.”
“Kok bisa?”
“Mungkin karena aku pemilih. Aku sering memilih mana orang yang tepat untuk dijadikan teman. Sedikit selektif. Jadi, bukulah solusinya.”
Sepertinya kalimat ini familiar di telingaku. Tunggu, ini kan pernah kuucapkan ke Handy. Bahwa aku pemilih. Kemudian aku sadar bahwa banyak persamaan di antara kami.
“Hey, apa buku genre thriller favoritmu?” tanyaku cepat.
“Tebak.” Giddy menantang.
“Apa reward-nya, Master?”
“Segelas cokelat mint hangat dan apple pie akan disuguhkan menit berikutnya.”
Aku tersenyum dan tergiur mendengar penawarannya. Walaupun yang lebih menggoda adalah lebih lama duduk di ruangan ini sembari ditemani Giddy.
“Coba aku lihat di rak-rak sebalah sini.” Aku menyentuh judul-judul buku yang sekiranya disukai Giddy dan yang kusukai juga, karena kurasa selera kami tidak beda jauh.
“Ghostman? Mystery Girl? Er ... The Abomination? Eh, kurasa bukan. Nah!! Death of The Nightingdale?!”
Aku menoleh ke belakang dan melihat wajah Giddy membeku dan tercengang.
“Yes! Aku dapat rewards!” teriakku kegirangan.
“Astaga. Kamu ini salah satu mutan X-Men? Punya hubungan apa kamu sama Charles Xavier yang bisa baca pikiran orang itu?”
Aku duduk di tangan sofa karena Giddy menguasai seluruhnya dan tidak berminat duduk di lantai. “Ayolah. Kita ini punya banyak kesamaan. Dari selera, hobi, pandangan, prinsip dan misi kita juga sama.”
“Kita punya misi yang sama? Apa itu? Menguasai dunia?”
Aku tergelak. “Ya, kurasa itu.”
Giddy pun bangkit dari kursi dan memenuhi janjinya. “Oke. Tunggu sebentar, Nona Manis,” kata Giddy seraya mengacak rambutku lalu berjalan pelan menuju dapur.
Aku langsung menyengir senang seperti orang idiot.
*
Menyunting naskah adalah pekerjaan sehari-hari. Setiap menemukan kalimat janggal, bisa kuperbaiki dengan cepat, satu halaman mungkin butuh lima belas menit saja. Namun untuk mengirim pesan ke Giddy yang berisi ajakan natal bersama saja bisa menghabiskan waktu setengah jam.
Kuhempaskan ponselku ke dalam tas, batal mengirim pesan. “Duh.”
“Kamu kenapa, El?” tanya Handy memukul-mukul belakang kepalaku dengan pulpen. “Kok dari tadi mendesah mulu? Oh, iya. Lusa sudah natal, udah ada acara?”
“Kamu ngajak aku kencan, Han? Nggak bisa. Maaf, ya.”
“Heh. Ge-er banget. Cuma basa-basi itu. Sama siapa kamu natalan bareng? Giddy?”
“Maunya.”
“Serius kamu bareng dia? Udah jadian?”
“Beluum. Dia belum ngajak, kok.”
Blue christmas, dong? Suram banget, sih.” Handy langsung mengakak. Mimik muka mengejeknya terlihat menyebalkan. Kalau tidak mengingat ini di tempat umum, mungkin beberapa jitakan di kepala cukup membuatnya berhenti tertawa.
Aku menjulurkan lidah. “Nggak bakalan!”
“Pizza seloyang dari aku kalau memang Giddy nembak kamu malam ini!”
Merasa tertantang, aku mengamini taruhan Handy dan saling mengaitkan jari kelingking.
*
Tidak sia-sia mengeluarkan setengah bulan gajiku untuk gaun yang kupakai sekarang. Gaun branded yang melekat di tubuhku ternyata mampu membuat mata para lelaki selalu berhenti sejenak untuk menoleh dan tersenyum. Tapi bisa saja bukan karena aku tampil sedikit rapi dan menawan, melainkan berdiri sendirian di lapangan parkir gereja menunggu Giddy
Beberapa kali aku memeriksa ponsel untuk memastikan apakah Giddy bakalan mengabari bahwa ia batal datang karena ada janji yang lebih mendesak atau tersesat. Handy sudah menunggu di dalam dan terus memberitahuku lewat pesan instan bahwa misa sudah akan dimulai.
Pikiranku melayang ke kejadian tadi siang, saat aku mencoba mengirimi pesan ke Giddy. Melewati pergumulan panjang, perasaan bimbang serta ragu, aku memberi kode padanya kalau Handy dan aku akan ke gereja bersama malam ini, dan ternyata ia menawarkan diri untuk ikut juga.
Sungguh mengejutkan rasanya bahwa Giddy tertarik dengan ajakanku. Walaupun sedikit kecewa, karena bukan Giddy duluan yang mengajakku, tapi itu tidak apa. Ini saja sudah seperti  mendapat kado dari Santa Claus berupa melewati malam Natal bersama Giddy dan traktiran pizza.
Mungkin bisa jadi tripple gift kalau memang Giddy mengajakku jadian. Aiih. Perasaanku sekarang sudah meledak-ledak seperti kembang api yang diluncurkan ke udara. Ternyata begini rasanya ketiban rezeki nomplok.
Semoga saja Handy atau Giddy tidak menganggapku norak, murahan atau agresif. Aku hanya ingin mencoba membuat hubungan pertemananku dengan Giddy ke jenjang yang lebih dalam dan intim. Namun, sepanjang aku tak mengutarakan isi hati, kurasa image-ku masih baik-baik saja. Setidaknya, aku tak mengalami blue christmas seperti yang Handy ucapkan.
Untunglah Giddy langsung mengiyakan ajakanku dalam kurun waktu dua menit. Dan itu memberiku kesempatan untuk mencari gaun manis yang bisa membuat Giddy sedikit menaruh perhatian lebih padaku, dan mungkin sedikit pujian darinya.
Ponselku bergetar, dan begitu kulihat, tertera nama Giddy di layar.
“Hallo.”
El, kamu di mana? Aku sudah sampai.”
“Aku di halaman parkir. Ketemu di depan pintu gereja saja.”
Okay. Tunggu aku, ya.
Begitu tiba di tempat yang kumaksud, senyuman yang sedari tadi menempel di mukaku selama berjam-jam berubah sekejap. Aku tak tahu harus berekspresi seperti apa.
Giddy yang berpenampilan rapi, dengan kemeja dan sweater krem datang bersama seorang gadis. Kalau saja ia tidak menggandengnya dengan erat, mungkin aku bisa menganggap bahwa Giddy datang bersama adiknya.
Perasaanku langsung down. Kalau mau diumpamakan, perasaanku itu seperti seorang atlet lari yang hampir mencapai garis finish untuk mendapatkan posisi pertama namun ternyata ada atlet lain mendahuluiku di detik-detik terakhir.
“Hei, El. Maaf, kami telat.” Giddy tersenyum, begitupula si “atlet” lain itu.
“Iya. Nggak apa-apa,” jawabku lirih. Berusaha seceria mungkin tapi suara yang kukeluarkan malah seperti suara burung yang terjepit.
“Kenalin dulu. Ini Melly. Melly, kenalin, ini teman yang sering kuceritakan, namanya Giselle.”
Teman? Sering diceritakan? Duh. Rasanya aku mau tenggelam saja. Jadi selama ini aku hanya dianggap teman, bukan teman tapi mesra atau teman menuju status gebetan. Benar-benar teman saja tanpa embel-embel lain. Tunggu, bukankah itu berarti aku cuma korban ... PHP?
Belum selesai bermuram durja tentang perasaanku. Handy tiba-tiba saja muncul dan merangkul bahu Giddy.
“Hai Giddy. Hai Melly!” sapa Handy ramah dan berkesan sok akrab. Sedetik kemudian, Handy menyengir dan senyumannya sontak membuatku terperangah.
“Lho, Han. Kamu udah kenal Melly?”
“He he he. Iya, El. Giddy pernah kenalin ke aku. Eh, masuk yuk. Misa udah mau dimulai.”
Aku cuma bisa melongo melihat respon Handy dan diam seribu bahasa. Tidak berkomentar ataupun tersenyum. Sialan, ternyata ia masih saja senang mengerjaiku.
By the way, nanti pulang dari misa kita ke pizza hut, yuk. Giselle mau traktir makan,” seru Handy masih sambil merangkul Giddy saat berjalan masuk ke koridor. Handy menoleh ke belakang dan menjulurkan lidah.
Sialan. Ini bukan blue christmas lagi namanya, tapi black christmas!

Fin