Blue
Christmas
*
Nampan itu bukan hanya jatuh dan
terpelanting di lantai. Bahkan semua makanan, gelas dan piring milik laki-laki
itu hancur berserakan. Miris, batinku.
Ia berdiri terpaku menatap
makanan di bawah. Entah apa yang ia pikirkan, menyayangkan makan siangnya?
Sebenarnya aku tidak bermaksud
ingin mencampuri urusan laki-laki itu, tidak berniat membantu juga. Tapi tiba-tiba
saja kulangkahkan kaki ke arahnya. Kusuruh wanita di balik konter untuk
mengambil sapu dan pengepel lalu ia mengerjakannya tanpa bicara, tersenyum juga
tidak.
Tidak banyak yang bisa kulakukan
selain ikut memungut pecahan gelas dan piring ke atas nampan.
Celananya basah, melekat ke
tubuhnya, dan dari sana tercetak lutut yang kurus. Setelah diperhatikan lebih
teliti, sepertinya tinggi kami juga tidak beda jauh. Tidak ada yang menarik. Celana
yang menggantung, jaket yang kebesaran, dan kaus lengket dengan kuah soto.
Benar-benar berantakan.
Ia tersenyum padaku. Senyum indah
di wajahnya yang lusuh langsung mengejutkanku.
“Terima kasih,” katanya.
Kusorongkan nampan dengan pelan
ke laki-laki itu dan kembali ke meja. Mungkin aku terlihat tidak sopan karena
hanya diam dan memasang ekspresi datar, tapi aku tidak peduli.
Aku bekerja sebagai editor di
perusahaan penerbit terkenal dan selalu makan siang di kantin dekat kantor. Maka
dari itu aku hapal wajah laki-laki itu dikarenakan ia sering menatapku.
Penampilannya aneh. Terkadang ia
mengenakan celana kain baggy selutut dan kelonggaran, sesekali sweater yang
hampir pudar warnanya, atau kaos bertotol-totol dan sudah berbulu. Keseringan
juga duduk sendiri dan hanya menatap makanannya tanpa disentuh atau menyantap
sambil membaca lalu sibuk menuliskannya ke sebuah buku. Sekali lagi, aku tidak
bermaksud memperhatikannya, tetapi dikarenakan ia termasuk pengunjung paling
nyentrik di ruangan ini, mau tak mau ia menyedot perhatianku.
*
Beberapa hari setelah insiden “The
Crash Tray” – begitu aku menyebutnya – laki-laki itu menghampiri kami, saat aku
dan Handy sedang membahas sebuah naskah dan kukatakan padanya bahwa meja ini
sudah penuh dan melanjutkan membaca. Ia cuma meminta maaf dan pergi bersama
nampannya ke meja lain.
“Kamu itu kenapa sih, El?” tanya
Handy dengan nada sinis.
“Nggak ada apa-apa, kok. Aku itu
orangnya agak pemilih. Jadi ... sedikit selektif buat nerima orang lain buat
semeja sama aku boleh, dong?”
Handy mendengus. “Aku mencium bau
diskriminasibungkus.”
Akupun mengendikkan bahu dan
tenggelam dalam bacaanku lagi. Satu jam kemudian, Handy kembali dari ruangan
merokok dan menarik kursi agar bisa duduk berdekatan denganku. Ia pasti punya
berita mengejutkan untuk digosipkan.
“Aku tadi merokok bareng Giddy,”
katanya hampir berbisik.
Kukernyitkan kening dan tetap
fokus menatap monitor karena menurutku, gosip Handy barusan tidaklah penting.
“Giddy itu cowok yang mau duduk
bareng kita tadi. Yang nampannya jatuh itu. Yang kamu nolong dia waktu itu.”
Kututup layar monitor dan
mengemasi berkas-berkasku di atas meja. “Aku nggak nolong dia, tapi nolong ibu
kantin.”
“Nanya namamu...,”
“Ha?”
“Dia nanya nama kamu.”
“Terus kamu bilang apa?” tanyaku
sedikit penasaran.
“Giselle, dong,” jawab Handy
spontan.
Aku mendelik.
“Dia bilang mukamu nggak asing.
Familiar gitu,” jelas Handy. “Mirip dengan seseorang yang dia kenal.”
“Seseorang yang dia kenal?”
“Entahlah. Palingan cuma
strategi. Mungkin dia naksir ama kamu, El.”
“Naksir ama aku? Tampang kucel
begitu?”
“Iya. Cocok jadi tukang parkir
atau pengamen.”
Aku hampir tertawa tapi tidak
jadi, jadi senyumku hanya mengembang saja dan mengira-ngira, apakah Handy ada
berkata padanya bahwa dia cocok jadi tukang parkir atau pengamen. Ya ampun, semoga
saja tidak....
*
Sepanjang minggu kuhabiskan
dengan menyeleksi delapan naskah yang masuk, entah itu di kantor atau jam makan
siang seperti sekarang. Handy tidak bisa membantuku karena sedang sibuk proof
read naskah lain.
Jadi, aku memutuskan untuk ke ATM
center di lantai atas terlebih dahulu baru turun ke kantin dan pulang ke kantor
lagi secepatnya. Saat tiba di depan lift dengan nafas ngos-ngosan, ternyata
sudah ada Giddy di dalamnya. Ia menyapa dan kubalas ala kadarnya saja tanpa
tersenyum.
Setelah melangkah masuk dengan kaku.
Aku merasakan atmosfir mendebarkan. Lift yang bisa memuat lebih dari sepuluh
orang ini tiba-tiba saja terasa sempit dikarenakan berdua saja dengan orang
asing, dan itu membuatku sedikit khawatir. Sekarang aku menimbang-nimbang,
apakah harus turun di lantai berikutnya lalu berjalan kaki naik ke ATM center
lewat tangga darurat atau tetap berada di ruangan sempit ini bersama Giddy
hingga ke lantai lima.
Jangan panik, batinku. Hanya
karena sering menatapmu bukan berarti ia akan melakukan tindakan kriminalitas.
“Kayaknya kamu harus pencet
tombolnya atau kita bakalan seharian di sini, deh.”
Terlalu sibuk memikirkan dan
menduga-duga apa yang akan si Giddy lakukan membuatku lupa bersikap normal. Argh.
Aku merasa seperti orang idiot dan terpaksa melempar senyum ke Giddy.
Ia membalas senyumku, dan baru
kusadari matanya lumayan besar untuk ukuran etnis Tionghoa dan harus kuakui,
bulu matanya lebih lentik dari milikku yang meskipun sudah dipoles maskara. Dan
itulah yang membuatnya terlihat ... manis. Kemudian ada yang menampar dan
membangunkanku dari lamunan tentang Giddy. Ponsel yang sedari tadi kugenggam
jatuh menghantam lantai. Dengan sigap aku berlutut memungutnya, dan Giddy juga
melakukan hal yang sama hingga kepala kami terantuk.
Adegan romantis klise! Batinku.
Walaupun keningku berdenyut, kami berdua cukup kaget karena lift sudah berhenti
dan kami juga serempak melihat pintu yang sudah terbuka lebar. Menanggung
perasaan malu yang tak tertampung lagi, aku melarikan diri dan belok ke kiri
menuju ATM center.
Setelah yakin Giddy tidak
membuntuti, dengan perasaan tak keruan aku mencoba menenangkan diri mengantri
di depan mesin. Beratus-ratus pertanyaan merayap di benak. Apa tanggapan Giddy
setelah aku kabur tanpa meminta maaf, atau meninggalkan setidaknya sepatah dua
patah kata? Apa menurutnya aku gadis aneh? Tidak punya sopan santun? Gila? Atau
jangan-jangan Giddy menganggapku seperti cinderella yang kabur begitu mendengar
suara lift berdenting?
Spontan aku langsung menunduk dan
lega sepatu snikers masih melekat di kaki.
“Kok tadi pergi?”
Aku terperanjat kaget saat
mendengar suara laki-laki berbisik di telinga. Lebih kaget lagi ternyata suara
itu milik Giddy.
“Oh. Lagi buru-buru banget.”
Buru-buru? Alasan seperti apa
itu?
Giddy hanya mengangguk-angguk.
Kelihatan puas dengan jawabanku lalu pamit dan ikut mengantri di belakang. Satu
komentar untuk diriku hari ini. Memalukan. Oke, mungkin dua kata. Sungguh
memalukan.
*
Aku memesan makanan tanpa melihat
menu lagi. Insiden “Escape from the lift”
barusan membuatku begitu nelangsa.
Sampai sekarang, aku masih belum bisa memaafkan diriku karena gagal memberikan
kesan “chic and smart” ke orang yang
baru dikenal.
Siang ini kafetaria terlalu
ramai, perasaanku sedikit lega karena ada satu kursi tersisa di dekat jendela. Menu
yang kuambil benar-benar tidak memenuhi selera. Sehingga aku berencana untuk memesan
menu yang lain, tapi saat mataku menyapu ruangan, sosok Giddy yang sedang
membayar di kasir membuatku sedikit panik. Kutelan nasi kuning dengan susah
payah begitu menyadari orang-orang yang makan di depanku mulai beranjak pergi
satu per satu.
Oh, Tuhan. Giddy bisa datang
kapan saja, bahkan mungkin detik berikutnya ia bisa menemukanku. Aku
menundukkan kepala, berpura-pura membaca novel Raksasa dari Jogja yang baru
dibeli. Menunggu. Benar saja, beberapa menit kemudian Giddy sudah di depanku
bersama nampannya.
Aku bisa melihat dengan jelas kuku-kukunya
yang bersih dan rapi.
“Boleh aku duduk?”
Suaranya lembut. Memesona.
Apa yang harus kukatakan? Aku
cuma bisa mengangguk karena meja memang sudah penuh semua. Lucunya lagi,
sebelum menyantap makanan, ia juga berkata “bon apetit” padaku yang jelas-jelas
mengabaikannya.
Giddy memilah-milah makanan, dan
dari yang kulihat, ia memisahkan lauk yang sudah dipotong kecil-kecil terlebih
dahulu lalu dengan pelan memasukkannya ke mulut.
“Sudah pernah ke sana?”
“Ha? Ke mana?” Otakku agak error. Mungkin karena kejadian siang
ini. Dari menjatuhkan buku, kepala terantuk, dan semuanya hingga aku tak begitu
memahami maksud pertanyaan Giddy.
“Jogja. Jawa.”
Aku memandanginya dan berpikir
ulang apa yang dikatakan Handy tentang diriku yang mengingatkannya pada
seseorang. Apakah orang itu tinggal di Jogja? Istrinya? Pacar? Gebetan?
“Kayaknya itu bukan pertanyaan
yang sulit, deh,” cetusnya.
Giddy tersenyum dan itu membuat
matanya berkeriput.
Aku menggeleng. “Belum pernah.”
Begitulah semuanya bermula. Giddy
memberi pertanyaan, aku cukup menggeleng dan mengangguk, menjawab seadanya
kemudian lanjut ke pertanyaan lain. Aku menceritakan tentang minatku soal
membaca, buku, hal-hal yang aku suka. Semuanya mengalir begitu saja.
Beberapa hari kemudian, Giddy
menghampiri meja kami lagi dan aku langsung mempersilakannya untuk duduk. Handy
menatap kebingungan dan sedetik kemudian wajahnya dihiasi cengiran hingga
membuat semua darahku naik ke pipi.
Setelah itu, Giddy sering duduk
bersama kami. Kami berdiskusi segala hal tanpa henti. Ya, tentu saja kami juga membicarakan
kehidupan pribadi juga. Aku memberitahunya bahwa ibuku lahir di Jogja, tapi aku
belum pernah menapakkan kaki di sana. Ketika Giddy pamit pulang, Handy
bertanya, bagaimana mungkin kami selalu memiliki topik untuk dibahas?
“Giddy itu enak diajak bicara.
Banyak membaca lagi. Benar-benar berwawasan.”
“Iya. Kalian berdua ngobrol nggak
ada habisnya. Sampai aku aja nggak ada kesempatan buat buka mulut.” Handy
berpura-pura cemberut.
“Ada, kok. Tadi kamu kan masukin
makanan ke mulut.” Ucapanku barusan pun berbuah jitakan di kepala.
*
Aku dan Giddy hanya bertemu di
saat makan siang. Kami tidak bertukar nomor telepon, akun jejaring sosial,
bahkan aku tak bertanya mengenai statusnya. Seakan pembahasan pribadi itu
terlalu privasi untuk kami ungkit. Satu yang pasti, ia tak mengenakan cincin di
jari manis.
Siang ini, seperti biasanya, kami
memesan menu yang sama dan duduk di tempat favorit kami. Seakan posisi ini
memang sudah terancang khusus untuk kami.
“Ada Indonesia Book Fair. Mau
pergi bareng nggak?”
“Um ... aku nggak tahu.”
“Siapa tahu ada Dr. Sleep di
sana.”
Sebenarnya aku mau banget pergi
bareng Giddy, mencari buku, membahas sebuah buku. Aku bahkan sudah tidak menganggapnya
aneh atau nyentrik lagi melainkan timbul perasaan nyaman seiring pertemanan
kami yang sudah jalan dua bulan.
“Setelah dari book fair, aku akan
membuat pasta. Kamu suka nggak?”
“Yay. I love it!”
Giddy tertawa melihat responku.
“Aku juga. So, jadi, ya?”
Aku bahkan tak ragu untuk
membalasnya dengan sebuah anggukan cepat.
*
Setelah belanja beberapa buku,
dan menikmati pasta yang dibuat Giddy. Aku berleha-leha di ruang tamunya yang
lumayan cozy. Giddy memiliki
perpustakaan mini yang hanya disekat rak buku tinggi hingga ke dek, dan bukunya
terlalu banyak terlihat berdesakan di setiap sudut. Mataku menjelajahi
judul-judul buku yang ternyata termasuk salah satu favoritku.
Bahkan Giddy sudah memasang pohon
Natal mini. Hanya sepinggangku. Aku jadi berpikir, siapa yang akan diajaknya
bermalam Natal bersama.
“Anggap saja ini rumahmu sendiri,”
jelas Giddy saat duduk menikmati cokelat di sofa panjang yang sudah agak
bulukan. Ada bantal, guling dan selimut yang tergeletak di sana. Kurasa sofa itu
lebih sering ditiduri dibandingkan dengan kasur di kamar.
“Thanks. Berarti apakah buku-buku ini bisa kujadikan koleksi juga?”
Giddy tertawa. Aku membuka
beberapa buku untuk membaca halaman pertama. Tiap buku ditulisi “Gideon” dan
tanggal. Tulisan tangannya sangat rapi untuk ukuran laki-laki.
“Maaf, nggak boleh. Aku nggak
bisa hidup tanpa buku. Rasanya bakalan kesepian,” candanya.
“Aneh. Aku juga gitu. Mereka itu
udah kayak ... teman.”
Giddy tertawa pelan. “Ya, itu
juga kedengaran seperti kesepian.”
Aku menutup buku dan menoleh ke
belakang. “Jadi kamu juga menganggap seperti itu?”
Ia mengangguk dan tersenyum
sesudahnya. “Tapi nggak begitu kesepian sih.”
“Kok bisa?”
“Mungkin karena aku pemilih. Aku sering
memilih mana orang yang tepat untuk dijadikan teman. Sedikit selektif. Jadi,
bukulah solusinya.”
Sepertinya kalimat ini familiar
di telingaku. Tunggu, ini kan pernah kuucapkan ke Handy. Bahwa aku pemilih. Kemudian
aku sadar bahwa banyak persamaan di antara kami.
“Hey, apa buku genre thriller favoritmu?” tanyaku cepat.
“Tebak.” Giddy menantang.
“Apa reward-nya, Master?”
“Segelas cokelat mint hangat dan apple pie akan disuguhkan menit
berikutnya.”
Aku tersenyum dan tergiur
mendengar penawarannya. Walaupun yang lebih menggoda adalah lebih lama duduk di
ruangan ini sembari ditemani Giddy.
“Coba aku lihat di rak-rak
sebalah sini.” Aku menyentuh judul-judul buku yang sekiranya disukai Giddy dan
yang kusukai juga, karena kurasa selera kami tidak beda jauh.
“Ghostman? Mystery Girl? Er ...
The Abomination? Eh, kurasa bukan. Nah!! Death of The Nightingdale?!”
Aku menoleh ke belakang dan melihat
wajah Giddy membeku dan tercengang.
“Yes! Aku dapat rewards!” teriakku kegirangan.
“Astaga. Kamu ini salah satu
mutan X-Men? Punya hubungan apa kamu sama Charles Xavier yang bisa baca pikiran
orang itu?”
Aku duduk di tangan sofa karena
Giddy menguasai seluruhnya dan tidak berminat duduk di lantai. “Ayolah. Kita ini
punya banyak kesamaan. Dari selera, hobi, pandangan, prinsip dan misi kita juga
sama.”
“Kita punya misi yang sama? Apa itu?
Menguasai dunia?”
Aku tergelak. “Ya, kurasa itu.”
Giddy pun bangkit dari kursi dan
memenuhi janjinya. “Oke. Tunggu sebentar, Nona Manis,” kata Giddy seraya
mengacak rambutku lalu berjalan pelan menuju dapur.
Aku langsung menyengir senang
seperti orang idiot.
*
Menyunting naskah adalah
pekerjaan sehari-hari. Setiap menemukan kalimat janggal, bisa kuperbaiki dengan
cepat, satu halaman mungkin butuh lima belas menit saja. Namun untuk mengirim
pesan ke Giddy yang berisi ajakan natal bersama saja bisa menghabiskan waktu
setengah jam.
Kuhempaskan ponselku ke dalam
tas, batal mengirim pesan. “Duh.”
“Kamu kenapa, El?” tanya Handy
memukul-mukul belakang kepalaku dengan pulpen. “Kok dari tadi mendesah mulu?
Oh, iya. Lusa sudah natal, udah ada acara?”
“Kamu ngajak aku kencan, Han? Nggak
bisa. Maaf, ya.”
“Heh. Ge-er banget. Cuma
basa-basi itu. Sama siapa kamu natalan bareng? Giddy?”
“Maunya.”
“Serius kamu bareng dia? Udah jadian?”
“Beluum. Dia belum ngajak, kok.”
“Blue christmas, dong? Suram banget, sih.” Handy langsung mengakak. Mimik
muka mengejeknya terlihat menyebalkan. Kalau tidak mengingat ini di tempat
umum, mungkin beberapa jitakan di kepala cukup membuatnya berhenti tertawa.
Aku menjulurkan lidah. “Nggak
bakalan!”
“Pizza seloyang dari aku kalau
memang Giddy nembak kamu malam ini!”
Merasa tertantang, aku mengamini
taruhan Handy dan saling mengaitkan jari kelingking.
*
Tidak sia-sia mengeluarkan
setengah bulan gajiku untuk gaun yang kupakai sekarang. Gaun branded yang melekat di tubuhku ternyata
mampu membuat mata para lelaki selalu berhenti sejenak untuk menoleh dan
tersenyum. Tapi bisa saja bukan karena aku tampil sedikit rapi dan menawan,
melainkan berdiri sendirian di lapangan parkir gereja menunggu Giddy
Beberapa kali aku memeriksa
ponsel untuk memastikan apakah Giddy bakalan mengabari bahwa ia batal datang
karena ada janji yang lebih mendesak atau tersesat. Handy sudah menunggu di
dalam dan terus memberitahuku lewat pesan instan bahwa misa sudah akan dimulai.
Pikiranku melayang ke kejadian
tadi siang, saat aku mencoba mengirimi pesan ke Giddy. Melewati pergumulan
panjang, perasaan bimbang serta ragu, aku memberi kode padanya kalau Handy dan
aku akan ke gereja bersama malam ini, dan ternyata ia menawarkan diri untuk
ikut juga.
Sungguh mengejutkan rasanya bahwa
Giddy tertarik dengan ajakanku. Walaupun sedikit kecewa, karena bukan Giddy
duluan yang mengajakku, tapi itu tidak apa. Ini saja sudah seperti mendapat kado dari Santa Claus berupa melewati
malam Natal bersama Giddy dan traktiran pizza.
Mungkin bisa jadi tripple gift kalau memang Giddy
mengajakku jadian. Aiih. Perasaanku sekarang sudah meledak-ledak seperti
kembang api yang diluncurkan ke udara. Ternyata begini rasanya ketiban rezeki
nomplok.
Semoga saja Handy atau Giddy
tidak menganggapku norak, murahan atau agresif. Aku hanya ingin mencoba membuat
hubungan pertemananku dengan Giddy ke jenjang yang lebih dalam dan intim. Namun,
sepanjang aku tak mengutarakan isi hati, kurasa image-ku masih baik-baik saja. Setidaknya, aku tak mengalami blue christmas seperti yang Handy
ucapkan.
Untunglah Giddy langsung
mengiyakan ajakanku dalam kurun waktu dua menit. Dan itu memberiku kesempatan
untuk mencari gaun manis yang bisa membuat Giddy sedikit menaruh perhatian
lebih padaku, dan mungkin sedikit pujian darinya.
Ponselku bergetar, dan begitu
kulihat, tertera nama Giddy di layar.
“Hallo.”
“El, kamu di mana? Aku sudah sampai.”
“Aku di halaman parkir. Ketemu di
depan pintu gereja saja.”
“Okay. Tunggu aku, ya.”
Begitu tiba di tempat yang
kumaksud, senyuman yang sedari tadi menempel di mukaku selama berjam-jam berubah
sekejap. Aku tak tahu harus berekspresi seperti apa.
Giddy yang berpenampilan rapi,
dengan kemeja dan sweater krem datang bersama seorang gadis. Kalau saja ia
tidak menggandengnya dengan erat, mungkin aku bisa menganggap bahwa Giddy
datang bersama adiknya.
Perasaanku langsung down. Kalau mau
diumpamakan, perasaanku itu seperti seorang atlet lari yang hampir mencapai
garis finish untuk mendapatkan posisi pertama namun ternyata ada atlet lain
mendahuluiku di detik-detik terakhir.
“Hei, El. Maaf, kami telat.” Giddy
tersenyum, begitupula si “atlet” lain itu.
“Iya. Nggak apa-apa,” jawabku
lirih. Berusaha seceria mungkin tapi suara yang kukeluarkan malah seperti suara
burung yang terjepit.
“Kenalin dulu. Ini Melly. Melly,
kenalin, ini teman yang sering kuceritakan, namanya Giselle.”
Teman? Sering diceritakan? Duh. Rasanya
aku mau tenggelam saja. Jadi selama ini aku hanya dianggap teman, bukan teman
tapi mesra atau teman menuju status gebetan. Benar-benar teman saja tanpa
embel-embel lain. Tunggu, bukankah itu berarti aku cuma korban ... PHP?
Belum selesai bermuram durja
tentang perasaanku. Handy tiba-tiba saja muncul dan merangkul bahu Giddy.
“Hai Giddy. Hai Melly!” sapa
Handy ramah dan berkesan sok akrab. Sedetik kemudian, Handy menyengir dan
senyumannya sontak membuatku terperangah.
“Lho, Han. Kamu udah kenal Melly?”
“He he he. Iya, El. Giddy pernah
kenalin ke aku. Eh, masuk yuk. Misa udah mau dimulai.”
Aku cuma bisa melongo melihat respon
Handy dan diam seribu bahasa. Tidak berkomentar ataupun tersenyum. Sialan,
ternyata ia masih saja senang mengerjaiku.
“By the way, nanti pulang dari misa kita ke pizza hut, yuk. Giselle
mau traktir makan,” seru Handy masih sambil merangkul Giddy saat berjalan masuk
ke koridor. Handy menoleh ke belakang dan menjulurkan lidah.
Sialan. Ini bukan blue christmas lagi namanya, tapi black christmas!
Fin
2 comments:
Kisah Nyata e ni t?
bukan dodols
Post a Comment