Misi Konyol
Oleh : Vincentia Natalia - Cerpen
*
Hari ketiga.
Baru hari ketiga di pagi hari, Felis
makin lemas, serasa mau mati. Tenaganya terkuras habis semalam karena
menyibukkan diri.
Felis melangkah gontai ke arah kantin di
kampus untuk sarapan, menempati kursi paling pojok, menghadap matahari. Felis
melamun dan sesekali hanya bergerak untuk mengubah posisi duduk. Dia menarik
napas dalam-dalam, dan menghela panjang. Seakan semakin sering dia melakukan
hal itu, semakin banyak pula semangat yang tersedot dan hilang.
Kembali Felis merutuki perbuatan yang
dia lakukan tiga hari lalu. Menyesali setiap kata-kata yang sudah diucapkan ke
Alex, pacarnya. Sebenarnya bukan masalah besar, hanya saja, baru kali ini Felis
mengalami hal semacam ini.
Gadis itu memejamkan mata, pikirannya
terlempar ke kejadian tiga hari yang lalu.
“Aku
mau kita enggak ketemuan dulu.”
Sesuai
perkiraan, Alex tercengang. Felis lega melihat respon Alex tidak berlebihan,
menyemburkan air kelapa yang sedang diminum misalnya. Dilihat dari mimik muka,
Alex menuntut penjelasan lebih. “Cuma ngetest ajah. Seberapa besar aku bisa bertahan
hidup tanpa kamu,” lanjut Felis.
Alex
mengerutkan dahi. Dia kebingungan, seperti tidak percaya, atau salah mendengar
berita mengejutkan. Seakan bahwa sebenarnya Messi itu saudara kandung CR7.
“Kamu kenapa, sih?”
“Enggak
kenapa-kenapa. Biasa aja kali responnya. Aku cuma punya ide yang sedikit unik
untuk hubungan kita yang sudah berjalan hampir setahun ini.”
“Bukan
unik, tapi enggak lazim,” gerutu Alex.
Di
dalam hati, Felis senang Alex protes dengan ide ini. Itu membuktikan bahwa sang
pacar enggan berjauhan dengannya. Tapi bukti itu belum cukup. Dia membutuhkan
bukti otentik, bukan sekadar perkataan. Felis berasumsi, dia tetap harus
menjalankan misi ini, sekalipun Alex menolak.
“Tapi
jadi seru. Enggak lama kok. Mungkin dua minggu.”
Alex
melipat tangannya di dada. “Memangnya aku ada bilang setuju?”
“Sepuluh
hari?” terdengar nada memohon.
Alex
menggeleng.
Felis
gusar, kemudian mencari akal. Dia tahu sekali kalau pacarnya menolak untuk yang
kedua kalinya, berarti memohon atau memelas bukan jalan keluar, melainkan
berdebat, berargumentasi. Alex lebih senang diberi penjelasan dan alasan yang
masuk akal supaya bisa memikirkannya dengan matang.
“Aku
tahu ini terdengar bodoh atau aneh. Tapi, kepingin aja selama beberapa waktu,
mencoba ... jauh darimu.” Felis memilih kata dengan hati-hati. “Untuk menyadari
arti hadirnya kamu.” Lalu terkekeh merasa geli dengan ucapannya barusan.
Alex
melongo. “Memangnya selama ini belum sadar? Maksudnya apa sih? Permainan apa
ini? Kamu mau putus?” suaranya terdengar serak.
“Bukaaaaaaan!
Bukan putus. Ini cuma semacam misi. Misi untuk diriku sendiri, aku ingin tahu
seberapa besar arti hadirmu buat aku. Aku ingin memastikan, apa ini lebih dari
sekadar naksir atau cinta. Itu aja.”
“Ha?
Jadi maksudnya, kamu masih bingung sama perasaanmu sendiri? Selama setahun
ini?”
Felis
langsung panik. “Duh. Bukan begitu, Lex. Duh, salah ngomong deh aku. Pokoknya
aku mau melihat, seberapa besar aku sanggup bertahan tanpa kamu.”
Alex
terdiam. Dia terlihat ingin membantah, tapi tidak jadi. Felis langsung
melanjutkan lagi sebelum Alex berpikir macam-macam.
“Jangan
mikir yang aneh, Lex. Cuma semingguan tanpa kontak dari kamu. Aku kepingin tahu
rasanya seperti apa.”
Alex
menatap lurus ke arah mata Felis, sehingga membuat gadis itu salah tingkah.
Biarpun sudah lama berpacaran, setiap sentuhan dan tatapan mata dari Alex,
selalu mampu membuat darah di tubuhnya berdesir. Seperti pasir yang berdesir
ketika ditiup angin. Bahkan mampu membuatnya melayang seperti balon gas yang
talinya digunting, dan lepas.
“Kamu
yakin ini bukan karena aku ada salah, lalu menghukumku dengan cara seperti
ini?”
Felis
meraih tangan kanan Alex dan mengusapnya. Dia menggeleng lalu berkata, “Kamu
selalu terisi penuh di benakku, Lex. Aku hanya penasaran, apa mungkin kalau enggak
ketemu kamu,” Felis mengambil jari telunjuk Alex dan meletakkannya di kening
sebelah kanan. “... kamu masih ada di sini. Di benakku.”
Alex
tersenyum lebar. “Emang tahan enggak ketemu?”
Felis
menggeleng lemah.
“Aku
aja dua hari enggak ketemu kamu, nahan rasa nyerinya sampai ke tulang-tulang.”
Mata
Felis membulat tak percaya. Memangnya dalam berhubungan, perlu sejujur ini?
Bukankah cowok lebih senang menjaga image mereka di depan pacar supaya tak terkesan
rapuh? Batin Felis.
“Beneran?”
Alex
mengangguk cepat. “Kayak orang bodoh. Kamu inget kan waktu kamu harus ke
Surabaya buat ngunjungin nenekmu. Kalau waktu itu kamu tunda sehari lagi
kepulanganmu, aku nekat bakalan nyusul kamu.”
Felis
terperangah lalu tersenyum malu-malu. Kombinasi terpukau dan terpesona. “Kok
kamu enggak pernah bilang siiih?” dengan nada yang dipanjang-panjangkan.
Alex
membalasnya dengan tersenyum ramah. Senyum yang mampu membuat Felis diam seribu
bahasa. Dan bagi Felis, jika tidak melihat Alex tersenyum dua detik saja,
perasaannya bakalan gelisah.
Itulah perbincangan terakhir yang
diingat Felis dan semakin dia menikmati lamunannya, semakin tersiksa dirinya.
Dia tahu, semua terjadi di luar dugaan. Dipikirnya, dia bisa mengontrol
perasaan ingin bertemu dengan Alex.
Perasaan sekarang ini kalau dianalogikan
seperti air, batin Felis. Bila ditahan terlalu lama, maka akan seperti air laut
sedang pasang ; meluap ke seluruh tubuh, membanjiri dada hingga sesak dan
kemungkinan terbesar tsunami akan datang. Jadi dia bersiap-siap saja jika
melihat bayangan Alex di kampus, maka airmatanya pasti akan tumpah ruah.
Pertahanan bakal runtuh. Kala itu terjadi, maka dia harus menyerah kalah dan
menghambur ke pelukan Alex.
Menyepelekan perasaannya ke Alex adalah
perbuatan yang salah. Dia mengakui bahwa dirinya agak angkuh dan egois dengan
menyangkal perasaan itu. Terlalu kekanak-kanakan dalam membuat misi ini, persis
seperti remaja labil. Padahal Alex sudah mewanti-wanti, tapi dia anggap angin
lalu.
Felis benar menyesal dan malu pada
dirinya sendiri. Kapok.
Jadi dia memutuskan untuk masuk ke kelas
saja dan mengabaikan segala tetek bengek soal sarapan karena seleranya ikutan
raib. Dan saat beranjak dari kursi dari kejauhan Felis melihat siluet
seseorang.
Siluet itu mendekat, sekejap Felis
mengenali gaya berjalannya. Dia yakin satu juta persen bahwa sosok yang
bertubuh tegap itu adalah Alex. Alex kekasihnya!
Felis panik, gelagapan. Seluruh tangan
gemetaran seperti mengidap tremor saat
membereskan barang-barang di atas meja.
“Hei.”
Felis mendongak, kaget karena tahu-tahu
Alex sudah berdiri di hadapannya. Laki-laki itu meringis dan tersenyum kaku. Ekspresinya
tidak jelas, antara senang atau merasa bersalah.
“Memangnya ada kelas pagi?” tanya Alex
sebelum mendudukkan pantat di kursi, menghadap Felis seakan memberi tanda bahwa
dia menginginkan Felis ikut duduk juga dan berhenti mengemas barang. Felis
mengerti dan berusaha duduk dengan santai walau gagal.
Hening.
Kemudian Felis menopang dagu dengan
kedua tangan. Menatap lurus ke kedua bola mata Alex yang berwarna cokelat. Mereka
berdua bertatapan lama tanpa bicara. Alex meniru gaya Felis hingga mau tak mau
Felis meresponnya dengan menyengir seperti kuda. Dia tidak peduli tersenyum
dalam jangka waktu lama hingga giginya kering. Dia sungguh tak peduli walaupun
otaknya gagal memerintah si bibir untuk berhenti melengkung ke atas.
Hati Felis lega. Plong. Rasa sesaknya
menguap entah ke mana.
Apalagi saat Alex memiringkan kepala dan
matanya seakan berhenti dari satu titik ke titik lainnya di wajah Felis.
Tidak ada yang lebih menyebalkan
daripada pandangan Alex yang bergerak menjelajah dari rambut, turun ke mata,
meluncur ke hidung, memeriksa bibir Felis yang ranum merah, dagu yang lancip,
dan pipi tirus. Dari sinar mata, terlihat bahwa Alex sudah selesai memeriksa
kondisi pacarnya dan lega.
“Aku nyerah.”
Alex tersenyum lebar dan merasa menang.
“Nyerah sama keadaan?”
Felis mengangguk. “Aku boleh meluk kamu
sekarang enggak?”
“Hmmm ...,” Alex berlagak mikir, “boleh
banget.”
Felis mendesah. “Tapi misiku gagal.”
“Tapi enggak ada tampang kecewa tuh di
mukamu.”
“Heh!” tegur Felis sembari mencubit
lengan Alex, dia geram. Felis senang karena sudah menyentuh kulit Alex lagi
setelah tiga abad lamanya. Saat Felis mau menarik tangan, dengan sigap Alex langsung
menangkap tangan itu dan menggenggamnya, sedangkan tangan satunya lagi masih
menopang dagu.
Mereka berdua masih tersenyum. Alex tersenyum
seperti orang tolol yang berhasil menemukan harta karun, dan tatapan matanya
seakan berkata “Ini milikku!” dan Felis mengabaikan rasa ngilu di pipi karena
terlalu lama tersenyum.
“Cubitanmu enggak berubah, ya? Tetap
sakit.”
“He-eh. Aku enggak berubah kok walau
kita udah berpisah tiga abad.”
“Aku berubah, lho,” usil Alex.
Felis menyipitkan mata. “Oh, ya? Apa
yang berubah? Usilnya masih, tuh. Apa berubah makin genit?”
Alex tertawa. “Ooh. Genit sih enggak
berubah, tapi meningkat drastis. Nah, yang berubah itu otak. Sekarang susah
dikontrol. Maunya mikirin kamu terus.”
Felis menaikkan sebelah alis dan tertawa
juga. “Oh, my God. Pacarku jadi
gombal!”
Alex mengelus buku-buku jari Felis dan
Felis menikmatinya. “Tiga abad jelas bisa mengubah seseorang. Apa saja bisa
terjadi. Di luar kehendak kita.”
“Apakah itu?” tanya Felis penasaran.
“Kalau aku kasih tahu, pastikan kamu
enggak bakal terluka atau sedih, atau semacamnya.”
“Iihh. Apa-apaan deh. Iya-iya, kalau
perasaan kamu berubah, aku enggak bakalan terluka, palingan loncat dari atap
gedung apartemen si Lia. Lumayan tinggi, tuh.”
“Enggak mungkin bisa jatuh. Kamu kan
kurus, palingan terbang.”
“ALEEEEX!!” Felis mencubit Alex lagi
dengan kuat sampai korbannya ter-aduh-aduh. Meskipun Felis sudah memasang
tampang masam, Alex tidak bisa berhenti tertawa sambil memegangi perut.
Alex berdeham, langsung mengubah mimik
muka dari tersenyum jadi datar. “Oke-oke. Yang berubah dari aku setelah enggak
ketemu kamu selama tiga abad adalah aku merasa menjadi imortal. Lihat, aku
enggak mati, kan? Gila. Tiga abad, man.”
“Alex.
Kalau-kamu-enggak-mau-serius-nanti-aku-kasih-cubitan-lebih-keras-lagi. Mau
kamu?” Terdengar nada mengancam di dalamnya.
Alex menyengir. “Aku berubah jadi romantic guy.”
“Oh, ya?”
“Aku nyanyi lagu Chasing Cars-Snow Patrol
kesukaanmu sambil main gitar dan ngerekamnya. Mau dengar?” Alex mengeluarkan
ponsel dan mencari-cari hasil rekaman.
Felis terkejut. “Ampun, Lex. Kamu bisa
main gitar?”
“Bisa, dong. Tapi ya dikit-dikit lah.
Nih, jarinya sampe lecet.” Alex memamerkannya dengan bangga. Ada baret-baret semacam
sayatan halus di kelima jarinya.
“Kok bisa kepikiran main gitar?”
“Pengen ketemu kamu, tapi enggak
dibolehin, jadinya gitu deh.”
Senyum Felis mengembang. Merasa terharu,
bahwa pacarnya bisa melakukan hal semanis itu.
“Duh. Kayaknya ada di laptop deh, belum
kupindahin ke HP,” gumam Alex. “Dan, kalau kamu ngasih ide gila kayak gini
lagi. Aku bakalan melarang keras,” lanjutnya.
“Memangnya kenapa?”
Raut muka Alex berubah serius, alis
tebalnya bertautan. “Memangnya kenapa? Memangnya kamu enggak ngerasain apa-apa
selama kita enggak ketemu tiga hari? Enggak sms atau telepon selama tiga hari?”
“Ih. Kan bercanda, Lex.”
“Iya. Bercandaan kamu enggak lucu.”
“Iya. Maaf ... Aku ngaku, kalau aku
bodoh. Enggak dengerin peringatanmu. Ternyata, selama tiga hari malah tersiksa.
Kepengen ketemu kamuuuu terus. Sesibuk apapun aku, kayaknya kamu itu udah
melekat kayak permen karet di otak gitu.”
“Sekarang kamu masih bingung ini
perasaan naksir atau cinta enggak? Sanggup bertahan? Rasa penasarannya udah
hilang? Sudah tahu rasanya berpisah dari aku kayak gimana?” ledek Alex,
walaupun sebenarnya pertanyaan tadi terkesan ‘menampar’ Felis. Bahkan tatapan
mata Alex menyiratkan, “Tuh, apa kataku.”
“Aku enggak sanggup dan enggak mau
lagi,” cetus Felis.
“Bagus. Jadi kamu ngapain aja selama
tiga abad itu?”
Felis lega suara Alex mulai mengendur,
tidak tegang lagi seperti tadi.
“Menyibukkan diri. Menghindar dari hp,
menghindari dari medsos karena takut pertahananku goyah kalau lihat kamu update status, bisa-bisa aku ikutan
nimbrung, kan? Terus, ya ... gitu deh. Kesepian aja walaupun sebenarnya hangout terus sama yang lain. Kepingin sharing tentang tugas, tentang apa yang
aku lihat, gosip sama kamu, makan bareng. Momen-momen itu yang aku ingin
rasakan lagi. Ternyata enggak mudah ya, pisah jauh ama pacar. Perasaan ingin
ketemunya besar banget.”
“Thank
you,” ujar Alex pelan sambil mengelus pipi Felis, kemudian Felis
mengambil tangan itu dan meremasnya.
Meletakkan telapak tangan Alex yang besar di pipi, merasakan kehangatannya.
“Pokoknya, aku mau bilang, kalau aku-“
“Eits!” potong Alex. “Enggak usah
bilang. Aku juga sama. Aku ngerasain hal yang sama dengan kamu.”
“Oh, ya?” seru Felis sangsi.
“Iya. Aku tahu apa yang mau kamu ucapin.
Enggak usah dilanjutin. Pokoknya ... kita sama.”
“Benar, sama? Yakin banget.”
Alex mengedipkan sebelah mata dan
mengangguk.
Felis tersenyum lagi. Dia yakin bakalan
sumringah seharian dan berinisiatif untuk melekat di tubuh Alex sampai malam
menjelang, membisikkan kata yang belum sempat terucap tadi berulang-ulang. Hanya,
yang tidak dia yakini adalah bahwa dia akan berhenti menemui laki-laki ini.
Fin
No comments:
Post a Comment