18 December, 2013

Misi Konyol

Misi Konyol
Oleh : Vincentia Natalia - Cerpen
*

Hari ketiga.
Baru hari ketiga di pagi hari, Felis makin lemas, serasa mau mati. Tenaganya terkuras habis semalam karena menyibukkan diri.
Felis melangkah gontai ke arah kantin di kampus untuk sarapan, menempati kursi paling pojok, menghadap matahari. Felis melamun dan sesekali hanya bergerak untuk mengubah posisi duduk. Dia menarik napas dalam-dalam, dan menghela panjang. Seakan semakin sering dia melakukan hal itu, semakin banyak pula semangat yang tersedot dan hilang.
Kembali Felis merutuki perbuatan yang dia lakukan tiga hari lalu. Menyesali setiap kata-kata yang sudah diucapkan ke Alex, pacarnya. Sebenarnya bukan masalah besar, hanya saja, baru kali ini Felis mengalami hal semacam ini.
Gadis itu memejamkan mata, pikirannya terlempar ke kejadian tiga hari yang lalu.

“Aku mau kita enggak ketemuan dulu.”
Sesuai perkiraan, Alex tercengang. Felis lega melihat respon Alex tidak berlebihan, menyemburkan air kelapa yang sedang diminum misalnya. Dilihat dari mimik muka, Alex menuntut penjelasan lebih. “Cuma ngetest ajah. Seberapa besar aku bisa bertahan hidup tanpa kamu,” lanjut Felis.
Alex mengerutkan dahi. Dia kebingungan, seperti tidak percaya, atau salah mendengar berita mengejutkan. Seakan bahwa sebenarnya Messi itu saudara kandung CR7. “Kamu kenapa, sih?”
“Enggak kenapa-kenapa. Biasa aja kali responnya. Aku cuma punya ide yang sedikit unik untuk hubungan kita yang sudah berjalan hampir setahun ini.”
“Bukan unik, tapi enggak lazim,” gerutu Alex.
Di dalam hati, Felis senang Alex protes dengan ide ini. Itu membuktikan bahwa sang pacar enggan berjauhan dengannya. Tapi bukti itu belum cukup. Dia membutuhkan bukti otentik, bukan sekadar perkataan. Felis berasumsi, dia tetap harus menjalankan misi ini, sekalipun Alex menolak.
“Tapi jadi seru. Enggak lama kok. Mungkin dua minggu.”
Alex melipat tangannya di dada. “Memangnya aku ada bilang setuju?”
“Sepuluh hari?” terdengar nada memohon.
Alex menggeleng.
Felis gusar, kemudian mencari akal. Dia tahu sekali kalau pacarnya menolak untuk yang kedua kalinya, berarti memohon atau memelas bukan jalan keluar, melainkan berdebat, berargumentasi. Alex lebih senang diberi penjelasan dan alasan yang masuk akal supaya bisa memikirkannya dengan matang.
“Aku tahu ini terdengar bodoh atau aneh. Tapi, kepingin aja selama beberapa waktu, mencoba ... jauh darimu.” Felis memilih kata dengan hati-hati. “Untuk menyadari arti hadirnya kamu.” Lalu terkekeh merasa geli dengan ucapannya barusan.
Alex melongo. “Memangnya selama ini belum sadar? Maksudnya apa sih? Permainan apa ini? Kamu mau putus?” suaranya terdengar serak.
“Bukaaaaaaan! Bukan putus. Ini cuma semacam misi. Misi untuk diriku sendiri, aku ingin tahu seberapa besar arti hadirmu buat aku. Aku ingin memastikan, apa ini lebih dari sekadar naksir atau cinta. Itu aja.”
“Ha? Jadi maksudnya, kamu masih bingung sama perasaanmu sendiri? Selama setahun ini?”
Felis langsung panik. “Duh. Bukan begitu, Lex. Duh, salah ngomong deh aku. Pokoknya aku mau melihat, seberapa besar aku sanggup bertahan tanpa kamu.”
Alex terdiam. Dia terlihat ingin membantah, tapi tidak jadi. Felis langsung melanjutkan lagi sebelum Alex berpikir macam-macam.
“Jangan mikir yang aneh, Lex. Cuma semingguan tanpa kontak dari kamu. Aku kepingin tahu rasanya seperti apa.”
Alex menatap lurus ke arah mata Felis, sehingga membuat gadis itu salah tingkah. Biarpun sudah lama berpacaran, setiap sentuhan dan tatapan mata dari Alex, selalu mampu membuat darah di tubuhnya berdesir. Seperti pasir yang berdesir ketika ditiup angin. Bahkan mampu membuatnya melayang seperti balon gas yang talinya digunting, dan lepas.
“Kamu yakin ini bukan karena aku ada salah, lalu menghukumku dengan cara seperti ini?”
Felis meraih tangan kanan Alex dan mengusapnya. Dia menggeleng lalu berkata, “Kamu selalu terisi penuh di benakku, Lex. Aku hanya penasaran, apa mungkin kalau enggak ketemu kamu,” Felis mengambil jari telunjuk Alex dan meletakkannya di kening sebelah kanan. “... kamu masih ada di sini. Di benakku.”
Alex tersenyum lebar. “Emang tahan enggak ketemu?”
Felis menggeleng lemah.
“Aku aja dua hari enggak ketemu kamu, nahan rasa nyerinya sampai ke tulang-tulang.”
Mata Felis membulat tak percaya. Memangnya dalam berhubungan, perlu sejujur ini? Bukankah cowok lebih senang menjaga image mereka di depan pacar supaya tak terkesan rapuh? Batin Felis.
“Beneran?”
Alex mengangguk cepat. “Kayak orang bodoh. Kamu inget kan waktu kamu harus ke Surabaya buat ngunjungin nenekmu. Kalau waktu itu kamu tunda sehari lagi kepulanganmu, aku nekat bakalan nyusul kamu.”
Felis terperangah lalu tersenyum malu-malu. Kombinasi terpukau dan terpesona. “Kok kamu enggak pernah bilang siiih?” dengan nada yang dipanjang-panjangkan.
Alex membalasnya dengan tersenyum ramah. Senyum yang mampu membuat Felis diam seribu bahasa. Dan bagi Felis, jika tidak melihat Alex tersenyum dua detik saja, perasaannya bakalan gelisah.

Itulah perbincangan terakhir yang diingat Felis dan semakin dia menikmati lamunannya, semakin tersiksa dirinya. Dia tahu, semua terjadi di luar dugaan. Dipikirnya, dia bisa mengontrol perasaan ingin bertemu dengan Alex.
Perasaan sekarang ini kalau dianalogikan seperti air, batin Felis. Bila ditahan terlalu lama, maka akan seperti air laut sedang pasang ; meluap ke seluruh tubuh, membanjiri dada hingga sesak dan kemungkinan terbesar tsunami akan datang. Jadi dia bersiap-siap saja jika melihat bayangan Alex di kampus, maka airmatanya pasti akan tumpah ruah. Pertahanan bakal runtuh. Kala itu terjadi, maka dia harus menyerah kalah dan menghambur ke pelukan Alex.
Menyepelekan perasaannya ke Alex adalah perbuatan yang salah. Dia mengakui bahwa dirinya agak angkuh dan egois dengan menyangkal perasaan itu. Terlalu kekanak-kanakan dalam membuat misi ini, persis seperti remaja labil. Padahal Alex sudah mewanti-wanti, tapi dia anggap angin lalu.
Felis benar menyesal dan malu pada dirinya sendiri. Kapok.
Jadi dia memutuskan untuk masuk ke kelas saja dan mengabaikan segala tetek bengek soal sarapan karena seleranya ikutan raib. Dan saat beranjak dari kursi dari kejauhan Felis melihat siluet seseorang.
Siluet itu mendekat, sekejap Felis mengenali gaya berjalannya. Dia yakin satu juta persen bahwa sosok yang bertubuh tegap itu adalah Alex. Alex kekasihnya!
Felis panik, gelagapan. Seluruh tangan gemetaran seperti mengidap  tremor saat membereskan barang-barang di atas meja.
“Hei.”
Felis mendongak, kaget karena tahu-tahu Alex sudah berdiri di hadapannya. Laki-laki itu meringis dan tersenyum kaku. Ekspresinya tidak jelas, antara senang atau merasa bersalah.
“Memangnya ada kelas pagi?” tanya Alex sebelum mendudukkan pantat di kursi, menghadap Felis seakan memberi tanda bahwa dia menginginkan Felis ikut duduk juga dan berhenti mengemas barang. Felis mengerti dan berusaha duduk dengan santai walau gagal.
Hening.
Kemudian Felis menopang dagu dengan kedua tangan. Menatap lurus ke kedua bola mata Alex yang berwarna cokelat. Mereka berdua bertatapan lama tanpa bicara. Alex meniru gaya Felis hingga mau tak mau Felis meresponnya dengan menyengir seperti kuda. Dia tidak peduli tersenyum dalam jangka waktu lama hingga giginya kering. Dia sungguh tak peduli walaupun otaknya gagal memerintah si bibir untuk berhenti melengkung ke atas.
Hati Felis lega. Plong. Rasa sesaknya menguap entah ke mana.
Apalagi saat Alex memiringkan kepala dan matanya seakan berhenti dari satu titik ke titik lainnya di wajah Felis.
Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada pandangan Alex yang bergerak menjelajah dari rambut, turun ke mata, meluncur ke hidung, memeriksa bibir Felis yang ranum merah, dagu yang lancip, dan pipi tirus. Dari sinar mata, terlihat bahwa Alex sudah selesai memeriksa kondisi pacarnya dan lega.
“Aku nyerah.”
Alex tersenyum lebar dan merasa menang. “Nyerah sama keadaan?”
Felis mengangguk. “Aku boleh meluk kamu sekarang enggak?”
“Hmmm ...,” Alex berlagak mikir, “boleh banget.”
Felis mendesah. “Tapi misiku gagal.”
“Tapi enggak ada tampang kecewa tuh di mukamu.”
“Heh!” tegur Felis sembari mencubit lengan Alex, dia geram. Felis senang karena sudah menyentuh kulit Alex lagi setelah tiga abad lamanya. Saat Felis mau menarik tangan, dengan sigap Alex langsung menangkap tangan itu dan menggenggamnya, sedangkan tangan satunya lagi masih menopang dagu.
Mereka berdua masih tersenyum. Alex tersenyum seperti orang tolol yang berhasil menemukan harta karun, dan tatapan matanya seakan berkata “Ini milikku!” dan Felis mengabaikan rasa ngilu di pipi karena terlalu lama tersenyum.
“Cubitanmu enggak berubah, ya? Tetap sakit.”
“He-eh. Aku enggak berubah kok walau kita udah berpisah tiga abad.”
“Aku berubah, lho,” usil Alex.
Felis menyipitkan mata. “Oh, ya? Apa yang berubah? Usilnya masih, tuh. Apa berubah makin genit?”
Alex tertawa. “Ooh. Genit sih enggak berubah, tapi meningkat drastis. Nah, yang berubah itu otak. Sekarang susah dikontrol. Maunya mikirin kamu terus.”
Felis menaikkan sebelah alis dan tertawa juga. “Oh, my God. Pacarku jadi gombal!”
Alex mengelus buku-buku jari Felis dan Felis menikmatinya. “Tiga abad jelas bisa mengubah seseorang. Apa saja bisa terjadi. Di luar kehendak kita.”
“Apakah itu?” tanya Felis penasaran.
“Kalau aku kasih tahu, pastikan kamu enggak bakal terluka atau sedih, atau semacamnya.”
“Iihh. Apa-apaan deh. Iya-iya, kalau perasaan kamu berubah, aku enggak bakalan terluka, palingan loncat dari atap gedung apartemen si Lia. Lumayan tinggi, tuh.”
“Enggak mungkin bisa jatuh. Kamu kan kurus, palingan terbang.”
“ALEEEEX!!” Felis mencubit Alex lagi dengan kuat sampai korbannya ter-aduh-aduh. Meskipun Felis sudah memasang tampang masam, Alex tidak bisa berhenti tertawa sambil memegangi perut.
Alex berdeham, langsung mengubah mimik muka dari tersenyum jadi datar. “Oke-oke. Yang berubah dari aku setelah enggak ketemu kamu selama tiga abad adalah aku merasa menjadi imortal. Lihat, aku enggak mati, kan? Gila. Tiga abad, man.”
“Alex. Kalau-kamu-enggak-mau-serius-nanti-aku-kasih-cubitan-lebih-keras-lagi. Mau kamu?” Terdengar nada mengancam di dalamnya.
Alex menyengir. “Aku berubah jadi romantic guy.”
“Oh, ya?”
“Aku nyanyi lagu Chasing Cars-Snow Patrol kesukaanmu sambil main gitar dan ngerekamnya. Mau dengar?” Alex mengeluarkan ponsel dan mencari-cari hasil rekaman.
Felis terkejut. “Ampun, Lex. Kamu bisa main gitar?”
“Bisa, dong. Tapi ya dikit-dikit lah. Nih, jarinya sampe lecet.” Alex memamerkannya dengan bangga. Ada baret-baret semacam sayatan halus di kelima jarinya.
“Kok bisa kepikiran main gitar?”
“Pengen ketemu kamu, tapi enggak dibolehin, jadinya gitu deh.”
Senyum Felis mengembang. Merasa terharu, bahwa pacarnya bisa melakukan hal semanis itu.
“Duh. Kayaknya ada di laptop deh, belum kupindahin ke HP,” gumam Alex. “Dan, kalau kamu ngasih ide gila kayak gini lagi. Aku bakalan melarang keras,” lanjutnya.
“Memangnya kenapa?”
Raut muka Alex berubah serius, alis tebalnya bertautan. “Memangnya kenapa? Memangnya kamu enggak ngerasain apa-apa selama kita enggak ketemu tiga hari? Enggak sms atau telepon selama tiga hari?”
“Ih. Kan bercanda, Lex.”
“Iya. Bercandaan kamu enggak lucu.”
“Iya. Maaf ... Aku ngaku, kalau aku bodoh. Enggak dengerin peringatanmu. Ternyata, selama tiga hari malah tersiksa. Kepengen ketemu kamuuuu terus. Sesibuk apapun aku, kayaknya kamu itu udah melekat kayak permen karet di otak gitu.”
“Sekarang kamu masih bingung ini perasaan naksir atau cinta enggak? Sanggup bertahan? Rasa penasarannya udah hilang? Sudah tahu rasanya berpisah dari aku kayak gimana?” ledek Alex, walaupun sebenarnya pertanyaan tadi terkesan ‘menampar’ Felis. Bahkan tatapan mata Alex menyiratkan, “Tuh, apa kataku.”
“Aku enggak sanggup dan enggak mau lagi,” cetus Felis.
“Bagus. Jadi kamu ngapain aja selama tiga abad itu?”
Felis lega suara Alex mulai mengendur, tidak tegang lagi seperti tadi.
“Menyibukkan diri. Menghindar dari hp, menghindari dari medsos karena takut pertahananku goyah kalau lihat kamu update status, bisa-bisa aku ikutan nimbrung, kan? Terus, ya ... gitu deh. Kesepian aja walaupun sebenarnya hangout terus sama yang lain. Kepingin sharing tentang tugas, tentang apa yang aku lihat, gosip sama kamu, makan bareng. Momen-momen itu yang aku ingin rasakan lagi. Ternyata enggak mudah ya, pisah jauh ama pacar. Perasaan ingin ketemunya besar banget.”
Thank you,” ujar Alex pelan sambil mengelus pipi Felis, kemudian Felis mengambil  tangan itu dan meremasnya. Meletakkan telapak tangan Alex yang besar di pipi, merasakan kehangatannya.
“Pokoknya, aku mau bilang, kalau aku-“
“Eits!” potong Alex. “Enggak usah bilang. Aku juga sama. Aku ngerasain hal yang sama dengan kamu.”
“Oh, ya?” seru Felis sangsi.
“Iya. Aku tahu apa yang mau kamu ucapin. Enggak usah dilanjutin. Pokoknya ... kita sama.”
“Benar, sama? Yakin banget.”
Alex mengedipkan sebelah mata dan mengangguk.
Felis tersenyum lagi. Dia yakin bakalan sumringah seharian dan berinisiatif untuk melekat di tubuh Alex sampai malam menjelang, membisikkan kata yang belum sempat terucap tadi berulang-ulang. Hanya, yang tidak dia yakini adalah bahwa dia akan berhenti menemui laki-laki ini.

Fin

No comments: