01 March, 2013

Gerimis


“Gerimis lagi,” ujarnya singkat menatap ke arah luar melalui pintu kaca frameless.

“Kenapa? Ada acara? Sudah mau pulang?” tanyaku penasaran. Tapi ia bergeming, tidak menjawab, bahkan tidak melirikku sedikitpun. Matanya tertegun ke arah luar. Apa yang kau pikirkan? Kuhela napas sebelum akhirnya berkata, “makanan kita saja bahkan belum datang.”

“Sadar nggak setiap kita bertemu, selalu saja ditemani gerimis," tuturnya singkat.

Sadar. Mana mungkin aku bisa melupakanmu dan gerimis. Kenangan kalian terlalu banyak.
Sebagai jawabannya, aku mengangguk lemah lalu tersenyum. Bukan senyum yang dipaksakan, bukan pula senyum karena ternyata kau baru menyadarinya sekarang. Senyumku merekah karena teringat kejadian saat pertama kali kita bertemu di penghujung tahun.

Waktu itu aku berteduh hujan di bawah kanopi toko bangunan tempatmu bekerja. Barang bawaanku banyak sekali. Segala macam kue, kantong belanjaan sehabis pulang dari supermarket dan sekotak kue black forest. Kau yang berbaik hati menawarkan tumpangan karena melihatku resah dan menyalahkan diri tak membawa payung. Tentu saja aku menolaknya, gadis mana yang mau dibonceng pria yang tak dikenal. Alih-alih membujukku, kau menyodorkan payung berwarna merah, dengan perjanjian, payung ini harus dikembalikan besok.

“Yang paling mengesankan itu, pas aku nganterin kue tar ulang tahunmu," ucapnya dongkol. 
Benar. Kacau sekali waktu itu. Kuenya hancur,  tertimpa tubuh dirimu sendiri karena terpeleset genangan air.

"Nggak. Yang paling nyebelin itu waktu kita udah siap-siap mau ngerayain ulang tahunku keesokannya di kafe Bilbo. Eh, malah hujan. Aku keki banget. Tapi untunglah nggak jadi, karena ternyata ngerayain di rumah juga jauh lebih romantis."

"Kamu ngerasa itu romantis?" imbuhnya geli. 

Pertanyaan apa itu? 

"Tentu saja!" jawabku semangat.

"Berlebihan." 

"Nggak. Ngerayain di kafe justru berlebihan. Berdua saja itu suasananya lebih syahdu sih. Eh, emangnya suasana paling romantis menurutmu itu kayak apa?"

"Pas pertama kali aku melihatmu, deh."

Oh Tuhan. Apa aku tidak salah mendengar perkataannya barusan? Akhirnya ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Ia tahu bahwa aku gampang meleleh saat melihat senyumannya.

Ya, senyum yang mampu membuatku jatuh cinta padanya berulang-ulang. Aku tidak butuh apa-apa lagi Tuhan. Cukup dia dan senyumnya untukku.
Ya... hanya untukku....

2 comments:

Jacob said...

numpang nge-RANT plus RANDOM

dear mbak galau yang suka kultwit berhashtag MOVEONGIH

Lia Chan said...

hahahahahahahahhahahahahahah
-______________________-