Okay,
here we are. Part sebelumnya yang menceritakan seorang gadis bernama Vivian
yang merasa menjadi bayangan temannya, Felis, sampai diatidak sadar bahwa ada
seorang cowok yang mencintai dirinya dari dulu namun keburu kecewa dengan
jawaban Vivian yang kurang signifikan. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Nah,
thats what you've missed on GR!
OBSESI
By : Vincentia Natalia
Cukup satu kata. Bahagia. Perasaan ini sudah mewakili semua
kejadian yang terjadi padaku beberapa hari ini. Aku mendapatkan teman satu
kamar yang baik, teman sekelas yang tidak rasis, lingkungan yang nyaman, mata
pelajaran yang tidak cukup sulit untuk diikuti. Ya setidaknya, semua berjalan
lancar sampai aku bertemu dengan seorang cowok yang sangat menyebalkan di ruang
latihan badminton beberapa hari yang lalu.
Ah, ya. Lupa cerita bahwa aku sudah sampai di Beijing untuk
menggapai cita-citaku menjadi seorang pemain bulu tangkis yang handal. Namun,
impian itu aku tunda dulu untuk sementara berhubung harga sewa lapangan yang
begitu mahal, dan uang jajanku tidak cukup untuk membiayai hobiku itu. Tapi
bukan Felis namanya kalau sampai menyerah dan kehilangan ide. Aku mencoba ke
Side Park Centre untuk melamar menjadi tukang pel lapangan badminton di sana.
Aku bekerja part time setiap hari jumat hingga minggu, dan sebenarnya ilegal
untuk murid sekolah sepertiku ini. Tapi apa boleh buat, aku terlalu berambisi
pada cita-citaku, dan kalau sampai ketahuan, aku pasti diskors oleh pihak sekolah.
“Lap lagi, di sini licin!” Perintah cowok sengak itu sambil
menunjuk-nunjuk ke arah lantai tempat dia berdiri sebelumnya. Dia pikir aku
babunya kali ya?
Namanya lengkapnya Bao Chun Lai, cowok sengak yang
prestasinya sedemikian cemerlang, dan membuatnya jadi sombong. Aku akui, dia
memang tampan, tajir, pintar dalam bermain. Tapi dengan kelebihan yang dia
miliki kalau tidak diimbangi dengan sikap yang angkuh begitu. Wow. Bagiku dia
tidak lebih dari hama.
“Tadi kan sudah, kau pikir aku nggak punya kerjaan lain ya
selain ngepel lantai itu tiap lima belas menit?” sergahku keras. Orang ini
kalau tidak ditegur, pasti lama kelaman jadi ngelunjak.
“Itu kan kerjaanmu. Untuk apa kau digaji kalau bukan untuk
bersih-bersih?”
Wah, dia benar-benar memancing emosiku. Sabar, Fel.
Kalau dituruti, yang ada nanti dipecat karena cowok ini pasti melapor ke
personalia bahwa aku tidak memenuhi permintaanya. Dan akibatnya, aku nggak akan
pernah bisa menginjakkan kakiku lagi di sini untuk melihat para atlet berlatih.
Aku tidak boleh membuang kesempatan kecil ini gara-gara dia.
“Sudah. Puas?” tanyaku setelah mengepel lantai yang dia
anggap licin itu.
Dia hanya memasang tampang datar dan melanjutkan latihannya
dengan teman sparingnya dengan cueknya.
“Ya ampun, ada ya orang kayak gitu. Ucapin terima kasih juga
nggak. Benar-benar cowok nggak tahu sopan santun dan etika! Bisanya cuma
nyuruh-nyuruh orang, kepingin banget matahin kakinya biar nggak bisa lompat
lagi!”
Bao Chun Lai pun menoleh ke arahku dan mengerutkan dahinya,
tapi beruntungnya, aku mengumpat dalam bahasa Indonesia, jadi dia tidak
mengerti sama sekali.
“Senangnya bisa ngata-ngatain orang itu.”
Sambil mengelap jendela dan kursi penonton, sesekali aku melirik
ke arah para senior yang sedang bertanding, sepertinya sih pertandingan
persahabatan. Teknik mereka benar-benar canggih, pintar membaca gerak lawannya.
Gesit. Sekali lihat saja sudah bisa tahu ke mana arah bola itu dipukul.
“Wahh! Out itu... out. Sudah jelas-jelas bolanya keluar,”
kataku nyaring saking bersemangatnya.
“Kalau aku jadi personalianya, sudah kupecat karyawan seperti
ini. Jam kerja bukannya serius bekerja, malah nonton orang bertanding.”
Bao Chun Lai terlihat menjulang tinggi di dekatku saat dia
sedang meneguk minumannya. Kalau tidak ada batas pagar antara bangku penonton
dan lapangan. Sudah kucakar mukanya yang mulus itu.
“Maksudmu apa? Memangnya aku terlihat sedang menari di
matamu? Nggak lihat aku sedang ngelap?” ujarku ketus.
“Iya, kau ngelap tapi matamu ke arah lapangan terus. Mana ada
orang kerja nggak fokus kayak kau. Bisanya cuma malas-malasan,” kata Bao
menghakimi seolah-olah dia yang menggajiku.
“Dengar ya, Bao Chun Lai, sin sen. Kau nggak punya hak untuk
mengomentari cara kerjaku. Personalia saja nggak pernah protes dengan apa yang
ku lakukan. Yang penting lapangan ini bersih. Memangnya nggak boleh ya kalau
kita itu kerja smabil sedikit nyantai. Aku bersih-bersih lapangan yang
berluaskan satu hektar ini dari jam enam sore hingga jam sepuluh malam dengan
teman-temanku. Apa aku nggak berhak untuk mencuci mataku sebentar melihat
pertandingan itu? Aku bukan robot, asal kau tahu itu!” bentakku.
“Wow. Hebat. Hebat sekali, nona. Sudah lancang rupanya, huh?
Aku jadi penasaran, bagaimana Nona Lee bisa nggak becus merekrut orang yang
nggak berpendidikan sepertimu?” ujarnya sarkastis.
“Nggak berpendidikan katamu? Hey bocah tengik! Yang nggak
berpendidikan itu kau! Lihat aja cara berbicaramu, nggak ada sopan santunnya
sama sekali. Memangnya begitu caranya orang tuamu mengajar, hah! Lidahmu itu
tolong dijaga ya! Jangan sampai aku marah dan sumbat kain lap kotor ini ke
mulutmu!” pekikku.
Aku begitu marah sampai tubuhku gemetar, tapi Bao Chun Lai
hanya diam dan bengong. Mengapa dia terpana seperti itu, padahal aku baru
menghujamnya dengan kata-kata, bukan pedang.
“Kenapa kau diam? Belum pernah kau dibentak oleh seorang
gadis cantik sepertiku?!” tanyaku dengan nada lantang.
“SEKURITIIII!!!” teriak Bao dengan sangat kencang hingga
menggema ke seluruh gedung.
Hebat. Riwayatku tamat hari ini.
***
“Kau gila ya, Fel. Nggak nyangka ada orang bodoh sepertimu.
Masa kau nggak tahu dia itu pemilik Side Park Centre?” tanya Xiao Er teman
sekamarku di asrama.
Aku memeluk bantalku dengan erat. “Yeah, gitu deh. Aku memang
gila, tapi nggak bodoh. Aku bangga kok bisa membuat cowok tengik itu marah. Kau
nggak lihat wajahnya sih, sudah kayak kepiting rebus. Benar-benar kayak anak
kecil. Nggak jantan. Bukannya satu lawan satu malah minta tolong satpam. Cowok
apaan kayak gitu. Menang ganteng doang, tapi nyali ciut.”
“Bangga? Lihat tuh akibatnya. Sekarang kau kehilangan
pekerjaan sekaligus impianmu deh. Padahal hanya dengan cara itulah kau bisa mempelajari
trik-trik para senior saat mereka berlatih berlatih,” ujar Xiao Er pelan.
“Benar katamu. Yah, mau gimana lagi. Sudah terlambat, waktu
itu terlalu emosi, dan nggak tahan lagi. Benar-benar muak dengan tingkahnya
yang bossy itu. Kalau aku tahu dari awal dia itu pemilik sih, aku
bakalan tutup mulut lebih rapat.” Aku menghela napas.
“Kayak kau bisa saja. Kau itu seperti harimau yang selalu
menerkam orang bila ada yang membuatmu sedikit emosi.”
“Tapi aku baik kan, Xiao Er...,” kataku lembut sambil memeluknya.
“Iya,
kau baik. Jadi, rencanamu untuk ke depannya gimana? Secara kan hanya di SPC
tempat berkumpulnya para atlet tersohor berlatih deh.”
“Lagi mikir nih, baiknya gimana. Aku sempat merasa nggak enak
aja dengan Nona Lee, si personalia itu. Karena aku, dia juga diomel. Sadis
banget kan si cowok manja itu?”
Xiao Er menatapku sebentar, lalu mengikik “Aku ada ide!’
“Apa tuh?” tanyaku. Pasti idenya yang tidak-tidak deh.
“Curiga, pasti kau dapat ide aneh ya?”
“Gimana kalau kau minta maaf aja sama si Xiao Bao, besok?
Kali aja emosinya udah mereda lalu dimaafin.”
“Waseh!! Mending aku telan kain lap deh dari pada minta maaf
sama dia. Lagian, sejak kapan kau manggil si tengik itu ‘xiao bao’, sok akrab
aja kesannya,” kataku sinis. Tawanya pun meledak, padahal aku merasa itu tidak
lucu sama sekali. Baru saja mau melemparnya dengan bantal, tiba-tiba ponselku
berdering.
“Weiii?” kataku dengan nada manja di ponselku.
“Jangan sok imut gitu deh. Ini aku, Vivian. Habis daftar
paket telpon murah keluar negeri nih. Cuma lima belas menit aja dua puluh ribu.
Mahal amit. Lagi apa, Fel?” terdengar suara Vivian yang lembut dari
seberang sana.
“Ya ampun, bebi! Aku? Lagi santai aja nih dengan teman
sekamarku,” kataku sambil melirik Xiao Er yang sedang memencet-mencet keyboard
laptopnya.
“Apa kabar kalian di sana? Kangenin aku nggak?”
“Semua baik di sini, kami sedang ngumpul kok di rumah
Novel,”
“Idih, asyik banget. Jadi kangen dengan kalian. Ada acara apa
sih sampai ngumpul begitu?”
“Cuma iseng doang. Ada Novel, aku, Fredo, Wilbert, Willy
dan nambah satu anggota baru nih!” seru Vivian semangat.
“Siapa tuh?” balasku.
“Umaeroh, namanya Mae. Murid baru di kelas kita,”
“Gantiin posisiku? Awas kalau berani ya,” ancamku dengan nada
serius. Terdengar suara Novel yang sedang tertawa di sana. Berani taruhan, dia
pasti sedang tebar pesona karena ada double W di sana.
“Oh, iya. Kata Novel, kau sudah jadi pemain inti ya di
sana?”
Aku terdiam sejenak. Astaga, aku baru ingat kalau kemarin
membohongi Novel, ini bermula dari dia yang memberiku tantangan, lebih baik
pulang dari pada tidak menjadi pemain inti, dan aku yang bermulut besar ini pun
beraksi karena merasa gengsi.
“Hallo!! Kau pingsan ya, Fel. Hallo! Atau telponnya sudah
putus ya?” terdengar suara Vivian yang sepertinya sedang kebingungan.
“Nggak kok. Eh, Iya maksudku. Iya, sudah jadi pemain inti
dong! Aku bahkan sudah punya lapangan sendiri buat berlatih, Vi! Seru kan?
Kalian pasti bangga denganku,” kataku dengan nada semangat.
Sedikit kebohongan kecil seharusnya tidak akan membuatku mati
karena gengsi. Lebih baik mati di telan Bao Chun Lai, dari pada harus mengakui
bahwa aku menjadi tukang pel lapangan badminton ke mereka.
“Wah, kau keren. Ternyata cita-citamu berhasil kau taklukkan
juga ya! Selamat buatmu. Apa mungkin kau akan tampil di uber cup tahun ini,
Fel?”
“Well, kalau aku berlatih lebih giat lagi. Mungkin pelatihku
akan memilih aku. Bayangkan, Vi. Felis Linanda untuk mewakili China di ajang
bergengsi itu.”
Lalu terdengar teriakan Vivian yang heboh dan langsung
mengulang kata-kataku barusan. Oke, aku tahu ini keterlaluan. Tapi sudah
terlanjur basah. Sekalian saja aku berenang.
Obrolan selama sepuluh menit kemudian pun diisi dengan
bualan-bualanku. Kukatakan saja bahwa aku sering mengalahkan dengan rivalku, si
pemilik Badminton Centre alias Bao Chun Lai, dan cowok itu iri dengan
keberhasilanku. Jelas, itu bohong, tapi mengalahkan si Xiao Bao dalam
pertengakaran itu, kurasa itu termasuk fakta.
Aku pun merebahkan diri di kasurku, entah setan apa yang
merasukiku hingga aku membuat cerita fiksi seperti itu. Dilihat dari bakat
aktingku, sepertinya aku bisa menjadi seorang artis terkenal. Bakat akting?
Tiba-tiba saja ada lampu yang menyala di otakku.
“Gimana kalau aku... meminta maaf ke anak manja itu aja ya?
lalu mencoba melamar pekerjaan itu lagi, mengumpulkan uang dan berlatih dengan
giat. Yah benar! Nggak ada salahnya sedikit berakting merasa bersalah di depan
mahluk manja itu. Toh kalau aku berhasil naik pangkat setingkat dari tukang pel
menjadi penyewa tetap di centre itu, dia nggak akan berani macam-macam denganku
sebagai konsumennya. Felis, kau benar-benar brilian.”
“Felis, kenapa kau ngomong sendiri? Kau belum gila kan?”
tegur Xiao Er yang melihatku berbicara sendiri dengan bahasa Indonesia.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman terbaikku.
To be continue...
No comments:
Post a Comment