Malaikatku
By : Vincentia Natalia
Ternyata
cukup cepat aku beradaptasi di sekolah ini.. Tidak sesulit yang kubayangkan.
Belum genap sebulan, aku sudah bisa akrab dengan teman-teman sekelasku. Bahkan,
bisa masuk ke dalam genk paling populer, FC namanya. Genk yang dibuat oleh seorang
gadis bernama Felis, cuma aku belum sempat bertemu dengannya karena dia keburu
ke Beijing, anggota lainnya ada Novel yang dijuluki Ratu Drama oleh anak-anak
sekolah, dan Vivian si anak jenius.
“Mereka
cakep kan, Mae?” tanya Novel sambil memandangi cowok dari kelas kami yang
sedang bertanding three on three melawan
murid sekolah Saint Paul. Dan, aku tahu yang dia maksud itu pasti Willy dan
Wilbert. Dengar-dengar, mereka berdua sedang bersaing mendapatkan Novel.
“Iya,
yang satu pintar, yang satunya lagi tajir. Kau beruntung ya, Vel,” ujarku.
“Aku
malah seperti makan buah simalakama.”
“Emang
ada ya buah kayak gitu? Aku baru denger. Enak?”
“Nggak
enak. Setelah makan, kau akan merasakan efek samping dilema berkepanjangan.
Serba salah. Dan, jadi pusing.”
“Lha!
Kalau gitu mirip Adam dan Hawa dong yang
makan buah terlarang! Efeknya juga gitu!”
“MAE!
Pas pelajaran bahasa indonesia, kau ke mana aja sih? Idih. Lemot banget deh,”
pekik Novel dengan nyaring.
“Ada,
aku ada di bangku kok. Nggak kemana-mana, Vel. Tapi, apa hubungannya buah
sikalamakala dengan double W itu?” tanyaku bingung karena aku sama sekali tidak
mengerti apa yang Novel ucapkan.
“Bukan
sikalamakala, tapi simalakama. Udah ah, nggak usah diperpanjang. Malas aku
jelasinnya. Yang pasti sekarang, aku sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan
double W itu,” kata Novel lantang.
“Mau
pacarin dua-duanya?”
“Tumben,
pinter. Iya, bisa pacaran dengan dua cowok itu, seperti menjilat es krim dengan dua rasa. Coklat dan vanilla,” kata Novel
sambil menjilat bibirnya.
“Waw.
Novel pernah jilat double W ?” tanyaku tak percaya.
“Mae!
Ini kan cuma perumpamaan! Gini aja nggak ngerti,” sergah Novel sambil berlalu
pergi.
“Novel, tunggu!” teriakku sambil berlari kecil
mengikutinya dari belakang. Namun karena kecerobohanku saat menuruni tangga,
kakiku tersangkut oleh kursi penonton dan aku jatuh terjerembab hingga jidatku
terjeduk lantai.
“Aww!! Duh,” teriakku nyaring karena
nyerinya luar biasa. Sakit banget.
“Kau nggak apa apa?” tanya suara
lembut itu dari arah sampingku. Aku menoleh ke arah suara itu berasal.
Seharusnya aku meringis karena kesakitan, tapi aku malah merasakan sensasi yang
berbeda. Seharusnya keningku nyut-nyutan, tapi ini tidak, kenapa malah
jantungku yang cenat-cenut jadinya?
Ya
ampun, cowok itu tampan, dan bening banget. Aku terpesona pada lekukan
wajahnya. Mata bulat dan jernih, alisnya lebat, bulu mata yang panjang, bibir
kecil merah merona, hidungnya pun mancung bak aktor India, mirip Shah Rukh
Khan, cuma yang ini versi Indonesia. Benar-benar mahluk ciptaan Tuhan yang
paling sexy. Seperti sihir yang menghipnotisku, aku tidak bisa mengalihkan
pandanganku ke arah lain sampai suara tawa Novel membuyarkan pandanganku.
“Mae,
ngapain cium lantai begitu?” kata Novel sambil tertawa memegang perutnya.
Dunia ini memang kejam .
“Teman jahat, bukannya dibantu
malah ditertawakan,” omelku.
Cowok
itu pun memapah lenganku karena aku kesusahan untuk berdiri. Lututku lemas,
tapi bukan karena sakit, melainkan cowok itu berdiri terlalu dekat denganku,
sampai-sampi aku bisa mencium bau keringatnya dan merasakan hembusan napasnya.
“Ma...,
makasih.”
“It’s alright,” jawabnya sambil
tersenyum. Ya ampun, apa ini cowok malaikat yang nyasar ke bumi? atau cuma
mimpi? Hei, pembaca, tolong tampar aku dong! Biar aku sadar, ini khayalan atau
kenyataan.
“Ryu, thanks for helping my friend. Excuse me,
i can handle it,” kata Novel ke cowok
yang bernama Ryu itu.
Novel
pun beranjak mendekatiku dan Ryu pun melepaskan genggaman tangannya. Sekarang ingin
rasanya aku memaki-maki Novel yang telah merenggut kebahagiaanku.
“Nggak
bisa lihat orang senang yah?” tanyaku ke Novel selepas kepergian Ryu.
“Lho?
Jadi kalau jatuh, kau senang? Bukannya itu kesialan?”
Terkadang
Novel memang kurang peka terhadap sekelilingnya.
“Maksudku,
kau sudah menghancurkan detik-detik kebahagiaanku. Cowok cakep itu Ryu ya
namanya?”
“Oh,”
Novel mengangguk. “Playboy tuh, jangan dideketin.”
“Hah?
Masa iya? Kok tahu?”
“Aku
yang duluan sekolah di sini? Atau kau?”
Aku hanya cengengesan.
“Ryu itu kakak kelas kita, cuma dia
itu terkenal sering mempermainkan wanita. Banyak kok cewek-cewek yang patah
hati karena dia. Ketua genk kita pernah jadi korbannya,” terang Novel dengan
tampang serius.
“Beneran? Si Felis bukannya cinta
mati dengan Bao?”
“Sebelum Bao, dia cinta mati dengan
Ryu kok. Udah ah, ke kantin yuk. Aku mau kasih selamat ke double W dulu karena udah
ngalahin Saint Paul sekalian minta traktir. Mau ikut?” tanya Novel.
“Yauda, aku antarin.”
"Nggak usah, aku bisa
sendiri kok."
***
“Adududuh...
perihnya,” teriakku waktu petugas UKS memncoba mengoleskan betadine ke lukaku. “Pelan-pelan
dong, ah. Sakitnya luar binasa, nih.”
“Ya
ampunnn!! Kesabaranku ada batasnya lho, Mae. Sudah lima belas menit aku
berkutat dengan rintihanmu padahal belum kuapa-apakan. Ini pakai sendiri aja,
aku mau masuk kelas,” seru cewek judes itu sambil meletakkan obat-obatan itu di
tanganku.
“Tapi,
aku kan takut melihat da...”
Cewek
itu pun meninggalkanku sendirian di ruangan ini sebelum aku sempat
menyelesaikan kata-kataku. Aku tidak berani melirik lututku karena pernah
mengalami kejadian yang kurang menyenangkan mengenai luka.
Ya,
aku takut banget melihat darah, phobia itu kudapatkan sejak masih kecil. Waktu itu
aku dibonceng oleh ayahku dengan motor bebeknya dan tanpa sengaja ayahku oleng
dan menabrak gerobak sayur. Aku sih selamat karena terlempar jauh ke rumput. Namun
aku syok berat karena melihat darah yang mengalir deras dari kepala ayahku dan
pingsan berjam-jam setelahnya. Ya, itulah penyebab utamanya. Cuma kalau darah ‘bulanan’,
itu tidak termasuk dalam kategori seram sih.
“Sini
aku obatin,”
Aku
menoleh ke arah suara itu berasal dan terperangah melihat Ryu ada di sampingku.
Sesaat aku seperti tersengat listrik ribuan watt karena dia memegang lututku
sambil menyeka lukaku dengan kapas tanpa meminta persetujuan dariku. Kalau bisa,
aku mau pingsan saja sekarang. Namun aku tidak bodoh untuk melewatkan sensasi
ini sedetik pun dan membiarkan Ryu membalut lukaku dengan perban.
“Takut
dengan darah, ya?”
“I...
Iya...” jawabku tergagap.
“Lukanya
nggak parah, seharusnya nggak terlalu sakit sih,”
“I...
Iya...” aku tergagap lagi seperti azis.
Lalu
dia berdiri dan tersenyum melihatku.
“Nah,
sudah beres. Lain kali harus lebih hati-hati ya. Kalau sering jatuh dan banyak
cacatnya, kasihan kulitmu. Cewek kan biasanya cerewet soal bekas luka. Ya
nggak?”
Aku
menganggukkan kepalaku dengan cepat.
“Kenalkan,
namaku Ryu. Tadi kita belum sempat berkenalan di lapangan,” Ryu mengulurkan
tangannya ke arahku.
“Na...
namaku Mae...” jawabku pelan sambil menjabat tangan Ryu yang besar dan halus
itu.
“Boleh
aku duduk di sampingmu?”
Aku
mengangguk dan dia pun langsung duduk di sebelahku. Kami terdiam sejenak, dan bingung
harus memulai percakapan seperti apa. Beginilah aku, hanya bisa seperti orang
bisu jika berada di dekat cowok cakep. Padahal ini termasuk kesempatan yang
langka untuk mengenal lebih dekat dengannya.
“Kenapa
kau bisa ada di sini juga? Sakit?” tanyaku memecah keheningan di antara kami.
Dia
tertawa kecil dengan suaranya yang khas itu. “Skip class. Biasanya aku tidur di ruangan ini. Sstt, ini rahasia
kita ya,” jelas Ryu dengan sangat pelan seakan-akan dia mengatakan rahasia
terbesarnya kepadaku.
“Memangnya
selama ini nggak pernah ketahuan atau dimarah oleh gadis itu?”
“Dia
adikku, namanya Teresa. Dan aku harus merelakan uang jajanku padanya demi tidur
siang setiap mata pelajaran olah raga berlangsung.”
Ternyata cowok berwajah malaikat
ini pun bisa bandel juga. Berikutnya kami pun ngobrol selama berjam-jam tanpa
henti. Dan anehnya lagi, kami ini seperti teman yang sudah kenal lama. Aku
tidak tahu apa dia merasakan hal yang sama denganku. Selain pintar, dia juga
supel. Ada aja topik yang bisa dia bicarakan, dari masalah pelajaran,
guru-guru, anak-anak yang nyentrik di sekolah, perbedaan kehidupan anak zaman
dulu dan sekarang, musik dan terakhir, cinta.
“Jadi... kau belum pernah merasakan cinta sama
sekali? Padahal yang kudengar dari orang-orang itu berbeda dengan pernyataanmu
barusan lho,” kataku santai. Sebenarnya aku tidak berusaha mengorek kehidupan
pribadinya, namun aku penasaran dengan pernyataan Novel yang mengatakan kalau
dia itu playboy.
“Belum,
dan memangnya kata orang-orang tentangku itu apa? Playboy?” dia menaikkan sebelah alisnya.
“Sorry
deh, gosipnya sih seperti itu. Tapi aku mau dengar langsung darimu kok,”
“Pasti
temanmu yang bilang ya?”
Duh, maafkan aku Nov. Padahal
aku nggak bilang yang menyebar gosip itu kau, tapi dia pintar dalam menebak,
batinku dalam hati.
“Aku
memang sering gonta ganti pacar, Mae. Tapi bukan berarti mempermainkan mereka. Cewek
itu aneh, mereka datang memintaku untuk menjadi pacarnya, tapi mereka juga yang
meminta putus dariku,” geramnya.
“Kenapa
kau mengiyakan? Kau menerima mereka karena cinta kan? Lalu mengapa mereka minta
putus kau nggak menolaknya?”
“Aku
nggak pernah mencintai cewek-cewek yang menembakku,” kata Ryu pelan dengan mata
menerawang.
“Lalu
kenapa kau menerima mereka? Jelas saja mereka minta putus, mana ada cewek yang
mau pacaran dengan cowok yang nggak mencintai mereka sama sekali,” protesku.
“Tapi
aku kan menghargai perasaan mereka dengan tulus dan nggak mau menyakiti
perasaan mereka,”
“Tetap
saja itu salah. Itu sih namanya mengasihani orang. Berpacaran tanpa rasa cinta,
seperti makan salad tanpa mayonaise,”
Ryu
pun tertawa keras, dan padahal aku tidak bermaksud bercanda.
“Bagaimana
kalau mayonaise-nya diganti dengan susu?”
Giliran
aku yang tertawa. “Gila. Bahaya itu. Jangan coba-coba ganti resep, deh!” kataku
sambil meninju lengannya.
“Kau manis juga ya kalau
tertawa, Mae...” ujar Ryu lembut sambil tersenyum tepat ke arahku.
Oh
Tuhan, senyuman dan tatapan matanya itu seakan menelanjangi pikiranku. Jujur
aku tidak suka dengan situasi saat ini. Terlalu intim. Ya ampun, jangan sampai
aku jatuh cinta pada cowok ini deh. Aku tidak mau bernasib sama seperti
gadis-gadis yang pernah dia kencani sebelum bertemu denganku.
To
be continue...
No comments:
Post a Comment