28 May, 2012

Gairah Remaja - Part 3 "Malaikatku"


Malaikatku
By : Vincentia Natalia

Ternyata cukup cepat aku beradaptasi di sekolah ini.. Tidak sesulit yang kubayangkan. Belum genap sebulan, aku sudah bisa akrab dengan teman-teman sekelasku. Bahkan, bisa masuk ke dalam genk paling populer, FC namanya. Genk yang dibuat oleh seorang gadis bernama Felis, cuma aku belum sempat bertemu dengannya karena dia keburu ke Beijing, anggota lainnya ada Novel yang dijuluki Ratu Drama oleh anak-anak sekolah, dan Vivian si anak jenius.
“Mereka cakep kan, Mae?” tanya Novel sambil memandangi cowok dari kelas kami yang sedang bertanding three on three melawan murid sekolah Saint Paul. Dan, aku tahu yang dia maksud itu pasti Willy dan Wilbert. Dengar-dengar, mereka berdua sedang bersaing mendapatkan Novel.
“Iya, yang satu pintar, yang satunya lagi tajir. Kau beruntung ya, Vel,” ujarku.
“Aku malah seperti makan buah simalakama.”
“Emang ada ya buah kayak gitu? Aku baru denger. Enak?”
“Nggak enak. Setelah makan, kau akan merasakan efek samping dilema berkepanjangan. Serba salah. Dan, jadi pusing.”
“Lha! Kalau gitu mirip Adam dan Hawa dong yang  makan buah terlarang! Efeknya juga gitu!”
“MAE! Pas pelajaran bahasa indonesia, kau ke mana aja sih? Idih. Lemot banget deh,” pekik Novel dengan nyaring.
“Ada, aku ada di bangku kok. Nggak kemana-mana, Vel. Tapi, apa hubungannya buah sikalamakala dengan double W itu?” tanyaku bingung karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang Novel ucapkan.
“Bukan sikalamakala, tapi simalakama. Udah ah, nggak usah diperpanjang. Malas aku jelasinnya. Yang pasti sekarang, aku sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan double W itu,”  kata Novel lantang.
“Mau pacarin dua-duanya?”
“Tumben, pinter. Iya, bisa pacaran dengan dua cowok itu, seperti menjilat es krim dengan  dua rasa. Coklat dan vanilla,” kata Novel sambil menjilat bibirnya.
“Waw. Novel pernah jilat double W ?” tanyaku tak percaya.
“Mae! Ini kan cuma perumpamaan! Gini aja nggak ngerti,” sergah Novel sambil berlalu pergi.
  “Novel, tunggu!” teriakku sambil berlari kecil mengikutinya dari belakang. Namun karena kecerobohanku saat menuruni tangga, kakiku tersangkut oleh kursi penonton dan aku jatuh terjerembab hingga jidatku terjeduk lantai.
            “Aww!! Duh,” teriakku nyaring karena nyerinya luar biasa. Sakit banget.
            “Kau nggak apa apa?” tanya suara lembut itu dari arah sampingku. Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Seharusnya aku meringis karena kesakitan, tapi aku malah merasakan sensasi yang berbeda. Seharusnya keningku nyut-nyutan, tapi ini tidak, kenapa malah jantungku yang cenat-cenut jadinya?
            Ya ampun, cowok itu tampan, dan bening banget. Aku terpesona pada lekukan wajahnya. Mata bulat dan jernih, alisnya lebat, bulu mata yang panjang, bibir kecil merah merona, hidungnya pun mancung bak aktor India, mirip Shah Rukh Khan, cuma yang ini versi Indonesia. Benar-benar mahluk ciptaan Tuhan yang paling sexy. Seperti sihir yang menghipnotisku, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain sampai suara tawa Novel membuyarkan pandanganku.
            “Mae, ngapain cium lantai begitu?” kata Novel sambil tertawa memegang perutnya.
Dunia ini memang kejam .
“Teman jahat, bukannya dibantu malah ditertawakan,” omelku.
Cowok itu pun memapah lenganku karena aku kesusahan untuk berdiri. Lututku lemas, tapi bukan karena sakit, melainkan cowok itu berdiri terlalu dekat denganku, sampai-sampi aku bisa mencium bau keringatnya dan merasakan hembusan napasnya.
“Ma..., makasih.”
It’s alright,” jawabnya sambil tersenyum. Ya ampun, apa ini cowok malaikat yang nyasar ke bumi? atau cuma mimpi? Hei, pembaca, tolong tampar aku dong! Biar aku sadar, ini khayalan atau kenyataan.
Ryu, thanks for helping my friend. Excuse me, i can handle it,” kata Novel ke cowok yang bernama Ryu itu.
Novel pun beranjak mendekatiku dan Ryu pun melepaskan genggaman tangannya. Sekarang ingin rasanya aku memaki-maki Novel yang telah merenggut kebahagiaanku.
“Nggak bisa lihat orang senang yah?” tanyaku ke Novel selepas kepergian Ryu.
“Lho? Jadi kalau jatuh, kau senang? Bukannya itu kesialan?”
Terkadang Novel memang kurang peka terhadap sekelilingnya.
“Maksudku, kau sudah menghancurkan detik-detik kebahagiaanku. Cowok cakep itu Ryu ya namanya?”
“Oh,” Novel mengangguk. “Playboy tuh, jangan dideketin.”
“Hah? Masa iya? Kok tahu?”
“Aku yang duluan sekolah di sini? Atau kau?”
            Aku hanya cengengesan.
            “Ryu itu kakak kelas kita, cuma dia itu terkenal sering mempermainkan wanita. Banyak kok cewek-cewek yang patah hati karena dia. Ketua genk kita pernah jadi korbannya,” terang Novel dengan tampang serius.
            “Beneran? Si Felis bukannya cinta mati dengan Bao?”
            “Sebelum Bao, dia cinta mati dengan Ryu kok. Udah ah, ke kantin yuk. Aku mau kasih selamat ke double W dulu karena udah ngalahin Saint Paul sekalian minta traktir. Mau ikut?” tanya Novel.
“Yauda, aku antarin.”
"Nggak usah, aku bisa sendiri kok."
                                                            ***
“Adududuh... perihnya,” teriakku waktu petugas UKS memncoba mengoleskan betadine ke lukaku. “Pelan-pelan dong, ah. Sakitnya luar binasa, nih.”
“Ya ampunnn!! Kesabaranku ada batasnya lho, Mae. Sudah lima belas menit aku berkutat dengan rintihanmu padahal belum kuapa-apakan. Ini pakai sendiri aja, aku mau masuk kelas,” seru cewek judes itu sambil meletakkan obat-obatan itu di tanganku.
“Tapi, aku kan takut melihat da...”
Cewek itu pun meninggalkanku sendirian di ruangan ini sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. Aku tidak berani melirik lututku karena pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan mengenai luka.
Ya, aku takut banget melihat darah, phobia itu kudapatkan sejak masih kecil. Waktu itu aku dibonceng oleh ayahku dengan motor bebeknya dan tanpa sengaja ayahku oleng dan menabrak gerobak sayur. Aku sih selamat karena terlempar jauh ke rumput. Namun aku syok berat karena melihat darah yang mengalir deras dari kepala ayahku dan pingsan berjam-jam setelahnya. Ya, itulah penyebab utamanya. Cuma kalau darah ‘bulanan’, itu tidak termasuk dalam kategori seram sih.
“Sini aku obatin,”
Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan terperangah melihat Ryu ada di sampingku. Sesaat aku seperti tersengat listrik ribuan watt karena dia memegang lututku sambil menyeka lukaku dengan kapas tanpa meminta persetujuan dariku. Kalau bisa, aku mau pingsan saja sekarang. Namun aku tidak bodoh untuk melewatkan sensasi ini sedetik pun dan membiarkan Ryu membalut lukaku dengan perban.
“Takut dengan darah, ya?”
“I... Iya...” jawabku tergagap.
“Lukanya nggak parah, seharusnya nggak terlalu sakit sih,”
“I... Iya...” aku tergagap lagi seperti azis.
Lalu dia berdiri dan tersenyum melihatku.
“Nah, sudah beres. Lain kali harus lebih hati-hati ya. Kalau sering jatuh dan banyak cacatnya, kasihan kulitmu. Cewek kan biasanya cerewet soal bekas luka. Ya nggak?”
Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat.
“Kenalkan, namaku Ryu. Tadi kita belum sempat berkenalan di lapangan,” Ryu mengulurkan tangannya ke arahku.
“Na... namaku Mae...” jawabku pelan sambil menjabat tangan Ryu yang besar dan halus itu.
“Boleh aku duduk di sampingmu?”
Aku mengangguk dan dia pun langsung duduk di sebelahku. Kami terdiam sejenak, dan bingung harus memulai percakapan seperti apa. Beginilah aku, hanya bisa seperti orang bisu jika berada di dekat cowok cakep. Padahal ini termasuk kesempatan yang langka untuk mengenal lebih dekat dengannya.
“Kenapa kau bisa ada di sini juga? Sakit?” tanyaku memecah keheningan di antara kami.
Dia tertawa kecil dengan suaranya yang khas itu. “Skip class. Biasanya aku tidur di ruangan ini. Sstt, ini rahasia kita ya,” jelas Ryu dengan sangat pelan seakan-akan dia mengatakan rahasia terbesarnya kepadaku.
“Memangnya selama ini nggak pernah ketahuan atau dimarah oleh gadis itu?”
“Dia adikku, namanya Teresa. Dan aku harus merelakan uang jajanku padanya demi tidur siang setiap mata pelajaran olah raga berlangsung.”
Ternyata cowok berwajah malaikat ini pun bisa bandel juga. Berikutnya kami pun ngobrol selama berjam-jam tanpa henti. Dan anehnya lagi, kami ini seperti teman yang sudah kenal lama. Aku tidak tahu apa dia merasakan hal yang sama denganku. Selain pintar, dia juga supel. Ada aja topik yang bisa dia bicarakan, dari masalah pelajaran, guru-guru, anak-anak yang nyentrik di sekolah, perbedaan kehidupan anak zaman dulu dan sekarang, musik dan terakhir, cinta.
 “Jadi... kau belum pernah merasakan cinta sama sekali? Padahal yang kudengar dari orang-orang itu berbeda dengan pernyataanmu barusan lho,” kataku santai. Sebenarnya aku tidak berusaha mengorek kehidupan pribadinya, namun aku penasaran dengan pernyataan Novel yang mengatakan kalau dia itu playboy.
“Belum, dan memangnya kata orang-orang tentangku itu apa? Playboy?” dia menaikkan sebelah alisnya.
“Sorry deh, gosipnya sih seperti itu. Tapi aku mau dengar langsung darimu kok,”
“Pasti temanmu yang bilang ya?”
Duh, maafkan aku Nov. Padahal aku nggak bilang yang menyebar gosip itu kau, tapi dia pintar dalam menebak, batinku dalam hati.
“Aku memang sering gonta ganti pacar, Mae. Tapi bukan berarti mempermainkan mereka. Cewek itu aneh, mereka datang memintaku untuk menjadi pacarnya, tapi mereka juga yang meminta putus dariku,” geramnya.
“Kenapa kau mengiyakan? Kau menerima mereka karena cinta kan? Lalu mengapa mereka minta putus kau nggak menolaknya?”
“Aku nggak pernah mencintai cewek-cewek yang menembakku,” kata Ryu pelan dengan mata menerawang.
“Lalu kenapa kau menerima mereka? Jelas saja mereka minta putus, mana ada cewek yang mau pacaran dengan cowok yang nggak mencintai mereka sama sekali,” protesku.
“Tapi aku kan menghargai perasaan mereka dengan tulus dan nggak mau menyakiti perasaan mereka,”
“Tetap saja itu salah. Itu sih namanya mengasihani orang. Berpacaran tanpa rasa cinta, seperti makan salad tanpa mayonaise,”
Ryu pun tertawa keras, dan padahal aku tidak bermaksud bercanda.
“Bagaimana kalau mayonaise-nya diganti dengan susu?”
Giliran aku yang tertawa. “Gila. Bahaya itu. Jangan coba-coba ganti resep, deh!” kataku sambil meninju lengannya.
“Kau manis juga ya kalau tertawa, Mae...” ujar Ryu lembut sambil tersenyum tepat ke arahku.
            Oh Tuhan, senyuman dan tatapan matanya itu seakan menelanjangi pikiranku. Jujur aku tidak suka dengan situasi saat ini. Terlalu intim. Ya ampun, jangan sampai aku jatuh cinta pada cowok ini deh. Aku tidak mau bernasib sama seperti gadis-gadis yang pernah dia kencani sebelum bertemu denganku.

                                                To be continue...

No comments: