13 May, 2012

Gairah Remaja - Part 2 "Bayangan"


Part sebelumnya menceritakan ada seorang gadis unyu yang bernama Novelia -yang dijuluki Ratu Drama di sekolahnya- merasa bahwa Willy dan Wilbert –cowok-cowok yang menyandang predikat tertampan di sekolah- menyukai dirinya. Dengan semangat dia menceritakannya pada temannya, Vivian, yang pada ujungnya ternyata itu hanya rekaan belaka dan membuat Vivian berang, karena mempercayai ceritanya itu. Nah, thats what you’ve missed on GR!


Gairah Remaja
Part 2 – Bayangan
By : Vincentia Natalia

            Tidak masuk akal, sudah kuduga ada yang tidak beres. Mana mungkin dua pangeran itu menyukai cewek narsis kayak Novel begitu. Masih mending aku. Chih.
            “Lagi lamunin aku?” bisik Fredo di telingaku.
            “Nggak mungkin lah yau. Aku lagi mikirin betapa mirisnya kehidupan anak muda zaman sekarang.” Jawabku pelan.
            “Pasti Novel,” tebak Fredo. “Bu Joy, pesen indomie goreng satu ya,” teriaknya ke pemilik kantin di sekolah.
            “Siapa lagi? Anak itu sudah kelewat batas. Bisa-bisanya dia berakting dan membohongiku. Memang pantas julukan Ratu Drama diberikan padanya,” jawabku ketus.
            “Kukira kau pintar, tapi ternyata bisa terkecoh juga olehnya. Memangnya dia ngapain lagi, sih? Kulihat, kau semakin terobsesi dengan dia ya?” tanya Fredo heran.
            “Aku? Yang benar saja,” aku meringis. “Aku cuma memberikan perhatianku pada Marv tersayang.”
            Fredo memutar bola matanya. Dia sering melakukan itu jika mendengar nama Marv. Tidak ada yang tahu alasannya. Tebakanku sih, dia sirik dengan Marv yang mendapat julukan “Prince of Piano” sedang dia hanya mendapat titel “Photographer”, tidak ada embel-embel pangerannya, mungkin karena itu dia merasa tersaingi. Bisa jadi kan?
 Fredo itu sebenarnya manis kalau dia tidak tersenyum, karena pada saat dia memamerkan giginya, aku jadi illfeel pada behelnya yang berwarna pink, tapi overall, dia cakep kok. Dia terkenal di kalangan cewek sekolah kami karena kehebatannya dalam memotret. Dia tahu letak angle yang bagus untuk membidik objeknya, cewek-cewek rela antri panjang demi dijepret oleh Fredo.  Kalau jadi dia, aku pasti akan memungut bayaran.
            Fredo bersendawa dengan keras seusai menghabiskan mienya dalam waktu tiga menit.
            “Kau menjijikkan, sama seperti Novel. Ngomong-ngomong, kau nggak mengunyah makanan yang masuk ke mulutmu ya? Kok cepat banget sih?”
            “Itu normal kok. Lagian, kata orang tua zaman dulu, kalau kita makannya cepat, hidupnya bisa lebih panjang, dan aku percaya dengan mitos itu. By the way,” kata Fredo sambil menyipitkan matanya, “kau juga pernah mengupil di kelas kan, Vi. Jangan pikir aku nggak melihat tindakan kriminalmu itu di kelas ya, kau melakukannya sambil menutupi wajahmu dengan buku, lalu setelah itu kau mengoleskannya di bawah meja untuk menghilangkan bukti” katanya setengah berbisik.
            Kupukul kepalanya dengan buku fisikaku yang tebal itu dengan keras.
            “Ouchh!” teriak Fredo kesakitan.
            “Awas kalau kau memberitahukannya pada orang lain!” ancamku dengan nada marah.  Berani sumpah, waktu itu aku khilaf dan baru pertama kali melakukannya kok.
            “Tenang, saja.” Dia menyilangkan bibirnya dengan jarinya. “Jalan yuk, Vi. Bosen nih di kantin.” Ajak Fredo.
            “Yuk, ikut aku ke ruang kelas musik. Hari ini kan jadwal latihannya Marv.”
            Fredo memutar bola matanya lagi.
                                                                        ***
            Pelajaran pertama di hari senin adalah matematika. Pelajaran paling membosankan yang pernah ada. Sekali lirik saja, aku sudah bisa memecahkan soal di papan tulis itu. Tapi pagi itu berbeda, Ms. County –nama yang cocok dengan bidang yang diajarnya- berhalangan datang karena menghadiri pesta pernikahan adiknya. Aku penasaran dengan kostum yang dikenakan oleh Ms. County, karena wanita itu selalu tampil heboh setiap mengajar, apalagi di saat acara besar begini.
Ms. County selalu mengenakan pakaian semi resmi, baju berpotongan leher rendah, kadang dengan rok belahan tinggi, make up-nya juga menor. Murid-murid cowok sih senang aja melihat bukit kembar yang dia pamerkan atau pun paha mulusnya. Ah, aku rasa dia juga menikmatinya.
             “Aku capek banget. Tulangku mau copot rasanya, Vi. Ahh....” erang Felis.
            “Memangnya kau habis ngapain kemarin?
“Ngurusin visaku.” Dia tersenyum lebar.
“Sudah di approve visa studentnya?” tanyaku ke Felis yang sedang apply visa ke China. Dia berencana melanjutkan sekolahnya di Negeri Panda itu,  dan ingin merealisasikan pepatah yang selalu dia pegang yakni “kejarlah cita-citamu sampai ke negeri China”.
            “Sudah beres dan siap berangkat,” katanya tegas.
            “Kau yakin akan meninggalkan semua sahabatmu di sini?” aku menatap mata teman sebangkuku itu dalam-dalam.
            “Sepertinya ini yang ke seribu kalinya kau tanyakan hal itu padaku, Vi. Dan ya, aku yakin. Seratus persen. Sudahlah, aku nggak lama kok, cuma setahun. Kalau misiku berjalan lancar, aku pasti akan pulang. Doakan saja.” Ucapnya tenang. Dia pasti sedang menghiburku, karena dia tahu, akulah orang pertama yang paling syok dan berduka mendengar rencananya.
            “Ni yi ding hui jia1, Fel.”
            “Fang xin hao la, wo yi ding hui jia. Deng wo2.” Dia memelukku erat dan menepuk punggungku. Aku benci perpisahan, walau aku tahu, cepat atau lambat, dia pasti tetap akan meninggalkan Jakarta. 
            “Kapan kau akan berangkat?”
            “Minggu depan.”
            “Hah?” jantungku hampir copot dibuatnya. Dia memang ahli membuat orang  jantungan. “Secepat itu kah?”
            “Lebih cepat lebih baik. Lusa kita akan adakan farewell party dengan anak-anak FC di rumahku. Bagaimana? Kedengarannya asyik kan?”
            “Aku lebih senang menyebutnya sebagai hari berduka nasional,” aku menghela napas. “Mana mungkin aku bisa bergembira di saat seperti itu!” Jawabku kesal.
            “Novel, benar. Kau itu anak yang nggak bisa menerima kenyataan.” Aku melotot. Bisa-bisanya dia memihak dengan Novel. “Dan tolong, aku nggak suka dipelototin.” Terang Felis.
            “Tapi aku sedih banget sekarang, mana bisa aku merayakan kepergianmu. Ini namanya pembohongan publik!” Protesku.
            “Kita masih bisa berhubungan lewat bbm, fb,  twitter, ym, myspace, skype, msn. Kurang apa lagi?” sergah Felis.
            “Bagaimana kalau kau mendapatkan teman baru, lalu melupakan kami? Terutama aku, hatiku pasti hancur.” Aku membaringkan kepalaku di atas meja.
            “Kan ada Fredo,” ucapnya nyaring. Lalu aku menoleh ke belakang. Fredo pun menyeringai dan kembali menoleh ke arah Felis lagi. “Fredo pasti akan selalu menemanimu. Ya nggak, do?” tanya Felis.
            “Iya, kau nggak perlu khawatir, Fel. Vivian aman selama berada didekatku.” Sahut Fredo cepat. Aku mencibirnya.
            “Udah ah, aku mau keluar dulu. Mau mendinginkan pikiranku. Otakku panas!” Hardikku keras.
            Felis hanya terkekeh saat aku pergi meninggalkan dia di kelas. Aku berjalan melewati lorong kelasku, lalu melintasi lapangan dan sampai di depan ruang kelas musik. Kulirik jam di tanganku. Sudah jam delapan, seharusnya sekarang itu jam latihannya Marv. Alunan musik piano adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini, apalagi yang memainkannya itu Marv. Setidaknya aku bisa sedikit terhibur dan tidak memikirkan Felis yang akan pergi meninggalkanku.
            Kenapa sih dia harus pergi menggapai cita-citanya sejauh itu? Kenapa tidak ke Tegal aja? Purwokerto kek, Jogja kek. Dan mengapa aku merasa, hanya akulah yang mengalami kepedihan yang mendalam atas perpisahan ini? Felis malah sama sekali tidak kelihatan stres atau pun berduka karena berpisah dariku, padahal kan aku sahabatnya sejak kecil.
            “Kau tampak lusuh, Vi. Kayak bukan dirimu aja.” Suara Fredo mengagetkanku.
            “Kelihatan, ya?”
            “Hanya orang buta yang nggak bisa melihat mukamu yang masam dan cemberut itu.  Seperti mau menghadapi hukuman gantung, ” katanya dengan nada mengejek.
            “Iya, terkecuali Felis. Yah, lebih baik kita nggak membicarakannya, hatiku lagi galau. Dan kalau aku murka, aku bisa membantingmu hingga tulangmu patah semua. Oh ya, ngapain kau di sini?”
            Fredo tertawa. “Ganas juga kau, Vi. Oh, itu ya... aku kan stalkernya Vivian.”
            Aku menganggukkan kepala. “Iya, aku baru sadar, kau memang senang mengikutiku kemana-mana. Kenapa?”
            “Apanya yang kenapa?” tanya Fredo mengerutkan dahinya.
            “Kenapa selalu membuntutiku, memangnya nggak ada kegiatan lain? Lagipula dari yang kulihat, kau selalu menenteng kameramu yang berat itu kemana-mana, dan nggak pernah menggunakannya sama sekali saat berada di dekatku. Memangnya aku kurang indah buat dijadikan objek kameramu? Aku tersinggung lho.”
            Fredo tertawa terpingkal-pingkal. Belum pernah aku melihatnya tertawa lepas seperti itu.
            “Kau lucu sekali, Vi. Dengar ya,” katanya pelan sambil bersandar di dinding, “aku berbuat ini karena ingin menjadi bayanganmu. Soal foto, aku pikir kau nggak senang dijepret.”
            “Bayangan? Maksudmu? Aku sama sekali nggak ngerti.”
            “Apa kau sama sekali nggak menyadarinya, Vi? Coba kau ingat-ingat, setiap kita bersama, apa pernah kita berjalan berdampingan? Nggak kan? Pasti aku selalu di belakangmu karena ketika aku berniat berjalan di sampingmu, selalu aja ada alasan darimu yang mengatakan “lorongnya sempit, kau  di belakang aja’ atau kadang ‘jangan berjalan di sampingku, nanti fansmu bisa ngamuk’. Aku juga selalu memilih duduk di belakangmu di saat pergantian tempat duduk di tiap semester. Lama-lama, aku jadi terbiasa berjalan di belakangmu. Mengikutimu kemana-mana, senang bisa menjadi bayanganmu, Vi.” Tuturnya pelan.
            Aku terdiam sejenak dan beusaha mengingat kejadian yang Fredo bilang padaku barusan. Serpihan kejadian itu pun muncul dalam ingatanku, dan Oh my God, dia benar.
            “Ya ampun, Fredo. Kau benar, berarti selama ini aku  hanya menjadi bayangan Felis aja!” pekikku.
            Fredo pun menepuk jidatnya. “Duh, aku kan sedang membicarakan kita, Vivian. Bukan kau dan Felis,” erangnya dengan nada memelas.
            “Aku tahu maksudmu, aku ngerti. Dan ternyata kita merasakan hal yang sama.  Karena kemana pun Felis pergi, aku selalu mengikutinya. Oh ya, dan tentu saja derajatku lebih tinggi dari pada kau yang selalu berjalan di belakangku.”
            “Whatever. So, apa kau tersentuh dengan kata-kataku tadi?” tanya Fredo mendekatiku, dekat sekali.
            “Oh. Kau sedang curcol ya. Aku nggak memaksamu untuk berjalan di belakangku kok, aku hanya nggak kepingin kita menabrak orang-orang yang berlalu lalang di lorong sekolah kita. Kau kan tahu, di sini sempit sekali.”
            “Vivian!!!” teriak Fredo frustasi sambil mencengkram bahuku.
            “Kenapa sih?”
            “Aku ini sedang mengungkapkan isi hatiku! Bukannya curcol! Kau benar-benar nggak peka ya? Otakmu itu selalu dipenuhi dengan teman-temanmu, nggak Novel lah, Felis lah, bahkan Marv! Kalau isi pikiranmu hanya ada teman-teman segenkmu, masih okelah. Tapi kalau Marv? Dia bahkan nggak pernah mengenalimu apalagi melirikmu. Dan aku benci itu. Mengerti kau?” sergahnya.
Lalu dia melepaskan tangannya dengan cepat karena melihatku terdiam mematung. Aku tak menyangka ternyata selama ini Fredo menyimpan perasaannya padaku. Apa yang harus kulakukan? Ini terjadi terlalu tiba-tiba dan aku jadi tidak bisa berpikir dengan normal.
“Tetaplah menjadi bayanganku, Fredo.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku dan mengakibatkan efek yang tidak aku duga sebelumnya. Fredo menundukkan kepalanya dan mengangguk pelan.
“Baiklah, terima kasih ya, Vi.” Katanya pelan tanpa semangat dan berlalu pergi meninggalkanku sendirian di lorong yang telah menjadi saksi bisu kejadian ini.
 Apa aku salah mengatakannya? Seharusnya kan dia senang lalu memelukku, bukannya meninggalkanku seperti ini.  Maksudku kan baik, dengan memperbolehkan dia berada di dekatku terus-terusan. Apa dia salah paham? Gawat.
“FREDO!!” teriakku.
                       
                                                            To  be continue...

1.        Kau harus pulang
2.        Tenang saja. Aku pasti pulang, tunggu aku.

No comments: