Part sebelumnya
menceritakan ada seorang gadis unyu yang bernama Novelia -yang dijuluki Ratu
Drama di sekolahnya- merasa bahwa Willy dan Wilbert –cowok-cowok yang
menyandang predikat tertampan di sekolah- menyukai dirinya. Dengan semangat dia
menceritakannya pada temannya, Vivian, yang pada ujungnya ternyata itu hanya
rekaan belaka dan membuat Vivian berang, karena mempercayai ceritanya itu. Nah,
thats what you’ve missed on GR!
Gairah
Remaja
Part
2 – Bayangan
By
: Vincentia Natalia
Tidak masuk akal, sudah kuduga ada
yang tidak beres. Mana mungkin dua pangeran itu menyukai cewek narsis kayak
Novel begitu. Masih mending aku. Chih.
“Lagi lamunin aku?” bisik Fredo di
telingaku.
“Nggak mungkin lah yau. Aku lagi
mikirin betapa mirisnya kehidupan anak muda zaman sekarang.” Jawabku pelan.
“Pasti Novel,” tebak Fredo. “Bu Joy,
pesen indomie goreng satu ya,” teriaknya ke pemilik kantin di sekolah.
“Siapa lagi? Anak itu sudah kelewat
batas. Bisa-bisanya dia berakting dan membohongiku. Memang pantas julukan Ratu
Drama diberikan padanya,” jawabku ketus.
“Kukira kau pintar, tapi ternyata
bisa terkecoh juga olehnya. Memangnya dia ngapain lagi, sih? Kulihat, kau
semakin terobsesi dengan dia ya?” tanya Fredo heran.
“Aku? Yang benar saja,” aku
meringis. “Aku cuma memberikan perhatianku pada Marv tersayang.”
Fredo memutar bola matanya. Dia
sering melakukan itu jika mendengar nama Marv. Tidak ada yang tahu alasannya.
Tebakanku sih, dia sirik dengan Marv yang mendapat julukan “Prince of Piano” sedang dia hanya
mendapat titel “Photographer”, tidak
ada embel-embel pangerannya, mungkin karena itu dia merasa tersaingi. Bisa jadi
kan?
Fredo itu sebenarnya manis kalau dia tidak
tersenyum, karena pada saat dia memamerkan giginya, aku jadi illfeel pada behelnya yang berwarna
pink, tapi overall, dia cakep kok. Dia
terkenal di kalangan cewek sekolah kami karena kehebatannya dalam memotret. Dia
tahu letak angle yang bagus untuk
membidik objeknya, cewek-cewek rela antri panjang demi dijepret oleh Fredo. Kalau jadi dia, aku pasti akan memungut
bayaran.
Fredo bersendawa dengan keras seusai
menghabiskan mienya dalam waktu tiga menit.
“Kau menjijikkan, sama seperti
Novel. Ngomong-ngomong, kau nggak mengunyah makanan yang masuk ke mulutmu ya?
Kok cepat banget sih?”
“Itu normal kok. Lagian, kata orang
tua zaman dulu, kalau kita makannya cepat, hidupnya bisa lebih panjang, dan aku
percaya dengan mitos itu. By the way,”
kata Fredo sambil menyipitkan matanya, “kau juga pernah mengupil di kelas kan,
Vi. Jangan pikir aku nggak melihat tindakan kriminalmu itu di kelas ya, kau
melakukannya sambil menutupi wajahmu dengan buku, lalu setelah itu kau
mengoleskannya di bawah meja untuk menghilangkan bukti” katanya setengah
berbisik.
Kupukul kepalanya dengan buku fisikaku
yang tebal itu dengan keras.
“Ouchh!” teriak Fredo kesakitan.
“Awas kalau kau memberitahukannya
pada orang lain!” ancamku dengan nada marah. Berani sumpah, waktu itu aku khilaf dan baru pertama
kali melakukannya kok.
“Tenang, saja.” Dia menyilangkan
bibirnya dengan jarinya. “Jalan yuk, Vi. Bosen nih di kantin.” Ajak Fredo.
“Yuk, ikut aku ke ruang kelas musik.
Hari ini kan jadwal latihannya Marv.”
Fredo memutar bola matanya lagi.
***
Pelajaran pertama di hari senin
adalah matematika. Pelajaran paling membosankan yang pernah ada. Sekali lirik
saja, aku sudah bisa memecahkan soal di papan tulis itu. Tapi pagi itu berbeda,
Ms. County –nama yang cocok dengan bidang yang diajarnya- berhalangan datang
karena menghadiri pesta pernikahan adiknya. Aku penasaran dengan kostum yang dikenakan
oleh Ms. County, karena wanita itu selalu tampil heboh setiap mengajar, apalagi
di saat acara besar begini.
Ms.
County selalu mengenakan pakaian semi resmi, baju berpotongan leher rendah,
kadang dengan rok belahan tinggi, make up-nya
juga menor. Murid-murid cowok sih senang aja melihat bukit kembar yang dia
pamerkan atau pun paha mulusnya. Ah, aku rasa dia juga menikmatinya.
“Aku capek banget. Tulangku mau copot rasanya,
Vi. Ahh....” erang Felis.
“Memangnya kau habis ngapain
kemarin?
“Ngurusin
visaku.” Dia tersenyum lebar.
“Sudah
di approve visa studentnya?” tanyaku
ke Felis yang sedang apply visa ke
China. Dia berencana melanjutkan sekolahnya di Negeri Panda itu, dan ingin merealisasikan pepatah yang selalu
dia pegang yakni “kejarlah cita-citamu sampai ke negeri China”.
“Sudah beres dan siap berangkat,” katanya
tegas.
“Kau yakin akan meninggalkan semua
sahabatmu di sini?” aku menatap mata teman sebangkuku itu dalam-dalam.
“Sepertinya ini yang ke seribu
kalinya kau tanyakan hal itu padaku, Vi. Dan ya, aku yakin. Seratus persen.
Sudahlah, aku nggak lama kok, cuma setahun. Kalau misiku berjalan lancar, aku
pasti akan pulang. Doakan saja.” Ucapnya tenang. Dia pasti sedang menghiburku,
karena dia tahu, akulah orang pertama yang paling syok dan berduka mendengar
rencananya.
“Ni
yi ding hui jia1,
Fel.”
“Fang
xin hao la, wo yi ding hui jia. Deng wo2.”
Dia memelukku erat dan menepuk punggungku. Aku benci perpisahan, walau aku
tahu, cepat atau lambat, dia pasti tetap akan meninggalkan Jakarta.
“Kapan kau akan berangkat?”
“Minggu depan.”
“Hah?” jantungku hampir copot
dibuatnya. Dia memang ahli membuat orang jantungan. “Secepat itu kah?”
“Lebih cepat lebih baik. Lusa kita
akan adakan farewell party dengan
anak-anak FC di rumahku. Bagaimana? Kedengarannya asyik kan?”
“Aku lebih senang menyebutnya
sebagai hari berduka nasional,” aku menghela napas. “Mana mungkin aku bisa
bergembira di saat seperti itu!” Jawabku kesal.
“Novel, benar. Kau itu anak yang
nggak bisa menerima kenyataan.” Aku melotot. Bisa-bisanya dia memihak dengan
Novel. “Dan tolong, aku nggak suka dipelototin.” Terang Felis.
“Tapi aku sedih banget sekarang,
mana bisa aku merayakan kepergianmu. Ini namanya pembohongan publik!” Protesku.
“Kita masih bisa berhubungan lewat bbm, fb,
twitter, ym, myspace, skype, msn. Kurang apa lagi?” sergah Felis.
“Bagaimana kalau kau mendapatkan
teman baru, lalu melupakan kami? Terutama aku, hatiku pasti hancur.” Aku membaringkan
kepalaku di atas meja.
“Kan ada Fredo,” ucapnya nyaring. Lalu
aku menoleh ke belakang. Fredo pun menyeringai dan kembali menoleh ke arah
Felis lagi. “Fredo pasti akan selalu menemanimu. Ya nggak, do?” tanya Felis.
“Iya, kau nggak perlu khawatir, Fel.
Vivian aman selama berada didekatku.” Sahut Fredo cepat. Aku mencibirnya.
“Udah ah, aku mau keluar dulu. Mau
mendinginkan pikiranku. Otakku panas!” Hardikku keras.
Felis hanya terkekeh saat aku pergi
meninggalkan dia di kelas. Aku berjalan melewati lorong kelasku, lalu melintasi
lapangan dan sampai di depan ruang kelas musik. Kulirik jam di tanganku. Sudah
jam delapan, seharusnya sekarang itu jam latihannya Marv. Alunan musik piano
adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini, apalagi yang memainkannya itu Marv.
Setidaknya aku bisa sedikit terhibur dan tidak memikirkan Felis yang akan pergi
meninggalkanku.
Kenapa sih dia harus pergi menggapai
cita-citanya sejauh itu? Kenapa tidak ke Tegal aja? Purwokerto kek, Jogja kek. Dan
mengapa aku merasa, hanya akulah yang mengalami kepedihan yang mendalam atas
perpisahan ini? Felis malah sama sekali tidak kelihatan stres atau pun berduka
karena berpisah dariku, padahal kan aku sahabatnya sejak kecil.
“Kau tampak lusuh, Vi. Kayak bukan
dirimu aja.” Suara Fredo mengagetkanku.
“Kelihatan, ya?”
“Hanya orang buta yang nggak bisa
melihat mukamu yang masam dan cemberut itu.
Seperti mau menghadapi hukuman gantung, ” katanya dengan nada mengejek.
“Iya, terkecuali Felis. Yah, lebih
baik kita nggak membicarakannya, hatiku lagi galau. Dan kalau aku murka, aku
bisa membantingmu hingga tulangmu patah semua. Oh ya, ngapain kau di sini?”
Fredo tertawa. “Ganas juga kau, Vi.
Oh, itu ya... aku kan stalkernya Vivian.”
Aku menganggukkan kepala. “Iya, aku
baru sadar, kau memang senang mengikutiku kemana-mana. Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?” tanya Fredo
mengerutkan dahinya.
“Kenapa selalu membuntutiku, memangnya
nggak ada kegiatan lain? Lagipula dari yang kulihat, kau selalu menenteng
kameramu yang berat itu kemana-mana, dan nggak pernah menggunakannya sama
sekali saat berada di dekatku. Memangnya aku kurang indah buat dijadikan objek
kameramu? Aku tersinggung lho.”
Fredo tertawa terpingkal-pingkal.
Belum pernah aku melihatnya tertawa lepas seperti itu.
“Kau lucu sekali, Vi. Dengar ya,”
katanya pelan sambil bersandar di dinding, “aku berbuat ini karena ingin
menjadi bayanganmu. Soal foto, aku pikir kau nggak senang dijepret.”
“Bayangan? Maksudmu? Aku sama sekali
nggak ngerti.”
“Apa kau sama sekali nggak
menyadarinya, Vi? Coba kau ingat-ingat, setiap kita bersama, apa pernah kita
berjalan berdampingan? Nggak kan? Pasti aku selalu di belakangmu karena ketika
aku berniat berjalan di sampingmu, selalu aja ada alasan darimu yang mengatakan
“lorongnya sempit, kau di belakang aja’
atau kadang ‘jangan berjalan di sampingku, nanti fansmu bisa ngamuk’. Aku juga
selalu memilih duduk di belakangmu di saat pergantian tempat duduk di tiap semester.
Lama-lama, aku jadi terbiasa berjalan di belakangmu. Mengikutimu kemana-mana, senang
bisa menjadi bayanganmu, Vi.” Tuturnya pelan.
Aku terdiam sejenak dan beusaha
mengingat kejadian yang Fredo bilang padaku barusan. Serpihan kejadian itu pun
muncul dalam ingatanku, dan Oh my God,
dia benar.
“Ya ampun, Fredo. Kau benar, berarti
selama ini aku hanya menjadi bayangan
Felis aja!” pekikku.
Fredo pun menepuk jidatnya. “Duh,
aku kan sedang membicarakan kita, Vivian. Bukan kau dan Felis,” erangnya dengan
nada memelas.
“Aku tahu maksudmu, aku ngerti. Dan
ternyata kita merasakan hal yang sama. Karena
kemana pun Felis pergi, aku selalu mengikutinya. Oh ya, dan tentu saja
derajatku lebih tinggi dari pada kau yang selalu berjalan di belakangku.”
“Whatever.
So, apa kau tersentuh dengan
kata-kataku tadi?” tanya Fredo mendekatiku, dekat sekali.
“Oh. Kau sedang curcol ya. Aku nggak
memaksamu untuk berjalan di belakangku kok, aku hanya nggak kepingin kita
menabrak orang-orang yang berlalu lalang di lorong sekolah kita. Kau kan tahu,
di sini sempit sekali.”
“Vivian!!!” teriak Fredo frustasi
sambil mencengkram bahuku.
“Kenapa sih?”
“Aku ini sedang mengungkapkan isi
hatiku! Bukannya curcol! Kau benar-benar nggak peka ya? Otakmu itu selalu
dipenuhi dengan teman-temanmu, nggak Novel lah, Felis lah, bahkan Marv! Kalau
isi pikiranmu hanya ada teman-teman segenkmu, masih okelah. Tapi kalau Marv?
Dia bahkan nggak pernah mengenalimu apalagi melirikmu. Dan aku benci itu.
Mengerti kau?” sergahnya.
Lalu
dia melepaskan tangannya dengan cepat karena melihatku terdiam mematung. Aku
tak menyangka ternyata selama ini Fredo menyimpan perasaannya padaku. Apa yang
harus kulakukan? Ini terjadi terlalu tiba-tiba dan aku jadi tidak bisa berpikir
dengan normal.
“Tetaplah
menjadi bayanganku, Fredo.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku dan
mengakibatkan efek yang tidak aku duga sebelumnya. Fredo menundukkan kepalanya
dan mengangguk pelan.
“Baiklah,
terima kasih ya, Vi.” Katanya pelan tanpa semangat dan berlalu pergi
meninggalkanku sendirian di lorong yang telah menjadi saksi bisu kejadian ini.
Apa aku salah mengatakannya? Seharusnya kan dia
senang lalu memelukku, bukannya meninggalkanku seperti ini. Maksudku kan baik, dengan memperbolehkan dia
berada di dekatku terus-terusan. Apa dia salah paham? Gawat.
“FREDO!!”
teriakku.
To be continue...
1.
Kau harus pulang
2.
Tenang saja. Aku pasti pulang, tunggu
aku.
No comments:
Post a Comment