Aku pun mendaftar di
UNPAR, Bandung dan mengambil jurusan Ekonomi. Sangat bertolak belakang dengan
jurusan yang mau kuambil di The Hague. Papa yang menyuruhku mengambil jurusan
ini, ya kupikir-pikir boleh aja. Toh aku mungkin akan kembali ke Voorburg tahun
depan. Jadi aku tidak peduli dengan jurusan apa yang akan kuambil saat ini. Aku
udah kelewat kangen dengan Lindsey dan yang lainnya. Aku hanya tinggal menunggu
izin dari Papa aja sambil merayunya.
“Gimana, Ran? Beres?”
tanya Dimas padaku, karena sedari tadi dia menemaniku registrasi.
“Beres. Jim dan yang
lain dimana? Kok nggak kelihatan?”
“Mereka ada di aula,
lagi pada lihat audisi gitu.” Jawab Dimas singkat.
“Audisi apa?” tanyaku.
“Mencari bakat gitulah,
macem-macem. Ada tari, musik, drama.” Dimas menjelaskan.
“Ayo, kita kesana.
Daripada bosan disini. Pengen lihat juga.”
“Ogah, malas ah. Kamu
sendiri aja kesana. Aku mau ke markas. Udah ditungguin sama anak-anak.” Dimas menolak.
Lupa aku, si Dimas mana mau nonton acara beginian. Lalu Dimas pun berpamitan
dan aku menuju ke aula yang dimaksud oleh Dimas.
Hingar bingar suara
dari aula terdengar dari jauh. Aula sudah padat dipenuhi orang-orang yang
kelihatannya sangat antusias. Yang pasti sangat heboh karena teriakan penonton
yang memekakkan telinga.
Aku mencoba untuk mencari
Jimmy, Bil dan Windi dari kerumunan disini. Aku nggak mendapatkan mereka
dimanapun walau aku sudah mencoba menerobos keramaian orang.
Acara ini benar-benar
niat banget deh dibuatnya. Ada panggung, alat-alat musik yang sudah disediakan
seperti keyboard, gitar, bass, drum, sound sistem dan mic. Terlihat seorang
pembawa acara sedang berbicara dan didepan panggung kecil itu terdapat 3 orang
juri yang kelihatan sedang menikmati ajang tersebut.
Didepanku sekarang, berdiri
sekumpulan cewek yang sedang memperlihatkan keahliannya di bidang menari diatas
panggung. Berikutnya ada grup band yang beraliran rock, lalu ada yang menyanyi
solo jazz juga, dan sinden. Bahkan ada sekolompok anak yang membawakan drama
komedi yang sangat kocak. Tak terlewatkan pula, ada 3 gadis cantik yang sangat
seksi, mereka menari dan menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama musik
arabian. Belly dance memang sangat eksotis dan menarik. Karena dari yang
kulihat, para pria disini terpukau dan terpesona dengan tarian itu. Termasuk
aku. Berani bertaruh, jika Jim melihat tarian ini, dia pasti meneteskan air
liurnya.
Lalu MC kembali ke atas
panggung hendak memanggil nama peserta berikutnya. “Billy Tan.” Terdengar
MC-nya berbicara.
“Hah? Billy?’ Aku
berbicara pada diriku sendiri. Ya, benar. Itu Bil, dia naik ke atas panggung
dengan kostum khas breaker ala gothic serta topi dan sarung tangannya. Wah,
jangan-jangan dia..
“Panggil aku, Bil. Aku akan
menghibur kalian semua.” Setelah Bil memperkenalkan diri, MC tersebut turun.
Aku melihat Bil membungkukkan badan dan saat itu juga terdengar alunan lagu Taio cruz feat Ludacris – Break Your Heart
yang berdentum dari sound system.
Bil langsung menari
dengan gerakan yang rumit, break dance
yang dia bawakan sangat atraktif dan berlangsung cepat. Dia melakukan gerakan Handstand1
yaitu
menumpukan tubuhnya dengan satu tangan saja dalam posisi tubuh yang terbalik
dilanjutkan tarian lagi lalu Headstand2 yang kali ini
meletakkan kepalanya dibawah menyentuh lantai dan memutar-mutar tubuhnya dengan
kedua tangannya. Bil menari lagi Sesaat aku bisa merasakan ketegangan disaat
Bil melakukan freeze3
selama 1 menit. Berani taruhan, breaker mana yang dapat bertahan selama itu.
Bil melakukan gerakan Turtle4
diakhir pertunjukkan. Bil bisa menghipnotis penonton di aula ini hanya dalam
waktu 4 menit tarian yang dia persembahkan.
Semua penonton bertepuk tangan
untuk Bil. Bahkan, juri juga memberikan standing
applause buat dia dan memberi komentar. Tidak jelas aku mendengar komentar
dari juri dikarenakan teriakan histeris dari para penonton.
Aku langsung menyerbu
Bil saat dia turun dari panggung.
“Bil !!” teriakku. Bil
menoleh kebelakang dan melihatku. Dia ngos-ngosan.
“Randi?” Bill
mengernyitkan dahi plus ekspresi kaget. “Ngapain kamu disini?” sergah Bil
sarkastis.
“Aku tadi singgah
kesini untuk mencarimu dan yang lain, tahu-tahu aku mendapati seorang breaker yang
sangat piawai dalam membawakan tariannya, dan sepertinya menjadi peserta
favorit deh.” Jawabku dengan penuh pujian berharap dia melupakan kejadian
kemarin di cafe.
“Mereka ada
dibelakang.” Bil menjawab dengan singkat dan langsung pergi ke arah belakang
panggung, aku pun mengikutinya.
Aku melihat Windi dan
Jim sedang mengobrol dengan asyik, dan tidak menyadari kedatanganku.
“Hai, Kim.. Jim.” Aku
menyapa. Mereka menoleh. Bil duduk disamping Kim, dan Jim menghampiriku.
“Wah, kok bisa ada
disini? Baru datang loe?” tanya Jim.
“Nggak juga. Udah dari tadi.
Belly dancer nya hot banged, ” Aku
dan Jim pun tertawa. Kim dan Bil tetap diam. Mereka menganggapku seperti orang
asing.
“Aku tadi mendaftar ke
sekretariat dengan Dimas. Katanya,
kalian ada disini. Yaudah, aku nyusul aja. Oh ya, Bil, tadi tarianmu keren
juga. Sudah banyak kemajuan.”
“Iya, thanks.” Jawab Bil singkat tanpa
ekspresi. Benar kata Jim, suasananya sudah tidak menyenangkan dibanding dulu.
“Sebentar lagi, giliran
Windi yang maju.” Kata Jim memecah keheningan.
“Maju? Win, kamu ikut
audisi juga?” tanyaku, aku tidak berani memanggilnya Kim jika teringat dengan
peristiwa ‘ngambek’nya dia di airport. Dia hanya membalasku dengan anggukan
saja.
“Wahh, nari juga Win?”
“Nari? Kamu kan tahu
dari dulu kalau aku cuma minat di olah vokal, bukan dancing.” Dia menggerutu
kesal.
“Oh sorry, aku lupa. Hehehe.”
Aku hanya tertawa bodoh. Dalam hatiku, aku tidak lupa, aku hanya tidak ingin
mengingatnya.
“Iya, kamu memang sudah
melupakan segalanya.” Kata Bil,
“Maksudmu? Melupakan
segalanya bagaimana?” aku bertanya.
“Well, kamu tahu maksudku, Ran. Jangan berpura-pura bodoh. Apa
maksud kedatanganmu kesini lalu seolah-olah sangat menikmati acara ini? Apa kamu
sedang bernostalgia? Atau jangan-jangan hanya sekedar ingin menertawakan tindakan
kami?” tukas Bil.
“Bil, bisa tidak kamu
nggak usah mengungkit masa lalu. For
Godsake, kenapa sih skeptis banget sama aku, Bil. Aku kira kamu udah ngerti
dengan kesepakatan yang kita buat dulu. Bahwa kita akan menjalani kehidupan
kita dengan cara masing-masing.” Bisikku marah. “Dan aku juga sudah melupakan
impian bodohku dari dulu. Ngerti, kamu?”
“Impian bodoh, katamu,
Ran? Perasaan, kamu dulu yang paling semangat, paling antusias, hasratmu bahkan
lebih menggebu-gebu dari kami. Tapi, apa? APA?! Kamu pergi dan meninggalkan kami!
Dan sekarang kembali dan berani menghina bahwa menggapai impian itu bodoh.
Pikir pakai otak, bro!” teriak Bil.
“Sudah..sudah sudah.
CUKUP!!” teriak Kim tak kalah hebatnya. “Jangan menghilangkan mood aku, okay??
Bil, sudahlah, tidak ada gunanya kamu ungkit lagi hal yang sudah lewat. Dia
bukan Randi yang dulu lagi, harusnya kamu bisa terima kenyataan.” Pinta Kim
dengan nada memelas.
“Bil, aku sudah cukup
tersiksa dengan kejadian 3 tahun lalu, jangan membuat aku lebih merasa bersalah
lagi. Aku tahu aku salah, tapi cobalah mengerti. Ini untuk kebaikan kita
bersama. Aku saja sudah pasrah, dan..”
“I don’t care! Bagi aku, kamu nggak lebih dari pengecut!” Bil
mencela perkataanku. “Kalau kamu sampai berani mencampuri urusanku dan Windi.
Aku hajar kamu sampe mampus.” Ancam Bil pelan, namun nadanya begitu dingin
sampai-sampai aku terguncang mendengarnya. Dia pun pergi sesudahnya.
“Kenapa jadi begini?”
tanya Jim. “Bukannya kalian sudah sepakat dan baikan?” tanya Jim.
“Aku tidak tahu Jim..”
Aku bengong. Mereka hanya memandangiku. Lalu terdengar suara MC yang memanggil
nama Windy Widjaja. Kim pun tersentak kaget dan buru-buru naik ke atas
panggung.
“Veel geluk!*” Teriakku dari bawah, Kim pun tersenyum dan
mengangguk.
Kim akan membawakan
lagu Apologize, Timbaland. Aku tidak
menyangka dia membawakan lagu itu. Mendengar liriknya saja sudah membuat hatiku
perih, tiba-tiba saja dadaku terasa sangat sakit dan sesak. Aku merasa Kim
menyuarakan isi hatinya, apa benar jika seseorang melakukan kesalahan lalu
tidak ada kata maaf untuknya? Suara Kim yang lembut sangat menyayat hatiku. Dan
membuatku teringat kejadian 3 tahun yang lalu..
***
I’m holding
on your rope..
Got me ten
feet off the ground..
And i’m
hearing what you say..
But I just
can’t make a sound
You tell me
that you need me
Then you go
dan cut me down
But wait...
You tell me
that you’re sorry
Didn’t think
I’d turn around and say..
That it’s too
late to apologize, it’s too late
I said it’s
too late to apologize, it’s too late
I’d take
another chance, take a fall, take a shot for you
And I need
you like a heart needs a beat
***
3 tahun yang lalu..
“Kim,
Bil..!!” teriakku, aku berlari menuju studio musik disekolahku.
“Ya, ada apa
Ran?” jawab Kim “Kenapa lari-lari kayak gitu?” tanya Kim bingung.
“Papa sudah mengetahui
kalau aku ikut audisi MABI ( Musik Anak Bangsa Indonesia).” Jawabku
ngos-ngosan, karena aku berlari dari rumah ke sekolah. Jaraknya tidak jauh.
“Waduh, bisa
gawat nih. Kok Papa mu bisa tahu, Ran. Tahu darimana?” tanya Bil cemas.
“Dia melihat
lembar pendaftaran diatas meja belajarku waktu aku sedang mandi dan bertanya
“ini apa?” aku langsung jawab ini punyamu, Bil. Dia bilang kalau sampai berani
aku ikutan audisi, dia akan memotong kakiku” Jawabku gemetaran.
“Damn, lalu
kamu langsung kabur kesini gitu?” tanya Bil was-was. Kim hanya berdiri diam dan
wajahnya pucat. Aku mengangguk kepalaku dengan lemas. Aku merosot ke lantai.
“Matilah,
gimana nih? Mana audisinya tinggal 3 jam lagi.” Bil ikut-ikutan lemas.
“Jangan down
dong. Kita tetap ikut audisi, ayo kita pergi sekarang. Aku rasa kita nggak
perlu latihan lagi. Kita sudah cukup oke kok. Soal Papamu, tenang aja lah Ran,
mana ada orangtua yang akan memotong kaki anaknya. Dia hanya mengancammu saja.”
Kata Kim berusaha menenangkan kami.
“Tapi, Kim..
Papaku orangnya nekat. Kamu kan tahu tabiatnya. Masih teringat dibenakku waktu
aku berusia 7 tahun. Aku dilarang memelihara anjing, dan dia mengancam akan
membunuhnya jika aku berani menentang perintahnya. Dia betul-betul melakukannya
ketika aku diam-diam memelihara anjingku didalam gudang.” Aku merinding ngeri kalau
memikirkannya lagi.
“Ahh, sudahlah.
Kita nekat aja. Jangan jadi pengecut, Ran. Kita kan nggak buat salah. Masa sudah
berusaha selama 2 bulan, kamu mau sia-siain usaha kita? Nggak kan?” Billy pun bangkit
dan menarik tubuhku untuk berdiri.
“Betul juga
katamu Kim, Bil. Kita nggak boleh putus asa dan menyerah. Ayo kita pergi!” Aku
senang melihat mereka tersenyum lagi, walaupun firasatku tiba-tiba terasa nggak
enak.
***
Kami pun tiba
ditempat audisi dan langsung mengantri untuk mendapatkan nomor peserta. Sejam
kemudian, kami sudah bersiap-siap dibangku penonton. Maklum, lomba kali ini
diadakan di GOR lapangan basket C-tra Arena, Bandung.
Sekitar 15
menit lagi kami akan tampil. Kami akan membawakan lagu I Got a Feeling, by
Black Eyed Peas. Aku dan Kim sudah berlatih vokal mati-matian selama 2 bulan.
Kami juga sempat ikut kursus menari dengan koreografer di sanggar dekat sekolah.
Bil juga mendapat bagian nge-rap dan memberikan suguhan break dance di akhir
lagu.
Ya, ini
adalah impianku, menjadi seorang entertainer. Aku senang bernyanyi dan menari
mengikuti gerakan irama. Kim tiba-tiba menggenggam tanganku.
“Jangan
tegang, kalau kamu gugup. Bisa-bisa kamu mati gaya di depan nanti.” Dia pun
tersenyum. Sesaat tubuhku terasa hangat. Aku paling suka dengan senyuman Kim,
sangat menenangkan hati. Tiba-tiba Bil datang dari arah depan. Kim pun
tersentak menjauh.
“SIALLLANN!!”
teriak Bil berang memandangi kami.
“Ada apa,
Bil?” Aku terlonjak dari tempat dudukku.
“Acara ini
ditayangkan Live di Tv !” Bil menggertakkan giginya. Astaga, aku pikir dia
marah karena melihat kami berpegangan tangan.
“Memangnya
kenapa kalau ditayangin di TV? Bagus donk!!”
“Bagus
kepalamu? Emang kamu nggak takut Papamu akan nonton di Tv hari ini, Ran?” Aku
pun langsung membeku.
“Mampus,” Aku
menepuk jidatku. “Jadi gimana donk? Tapi.. Akhhh, sudahlah, terlanjur basah.
Kita sudah disini, tidak peduli dia lihat atau nggak. Aku nggak mau menyerah
sebelum berperang!” Bil dan Kim pun terlihat lega dan tersenyum. Ya, aku harus
bisa!
***
Kami pulang
dengan tangan hampa dan perasaan kecewa, kami dinyatakan gagal. Dikarenakan Bil
sempat jatuh saat membawakan gerakan Freeze dan aku sempat salah lirik. Kami
tidak saling menyalahkan, wajar. Ini audisi pertama kami.
Aku pun pulang dengan
perasaan was-was. Ketika aku diruang tamu, aku dikagetkan dengan Papa dan Mama
yang sedang duduk disofa. Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi terlihat dari
ekspresi wajah Papa yang kaku.
“Angkat kaki
dari rumah ini,” Kata Papa sambil menunjuk kearah koper disampingnya. “Jangan
dipikir aku tak mengetahui kelakuanmu diluar sana!”
“Tapi, Pa..
Ini impianku. Aku mohon, beri kesempatan Randi untuk menjelaskan. 15 menit
saja, ah tidak, 5 menit saja,” aku memohon. Papa dan Mama hanya diam.
“Menjadi
seorang entertainer adalah impianku, Pa.. Ma.. Setiap aku bernyanyi, aku
merasakan kebahagiaan. Aku merasa sangat bebas seperti burung yang terbang di angkasa.
Biarkan aku yang memilih dan menjalani masa depanku, dan Papa tidak berhak
mengatur hidupku.”
“Tidak berhak
katamu? Aku orangtuamu! Aku berhak mengaturmu untuk hidup seperti apa! Bernyanyi
tidak akan mengenyangkan perutmu, Randi. Dan tidak bisa memberimu kehidupan yang
layak seperti sekarang ini, percayalah.” Kata Papa sinis.
“Aku tau, Pa.
Tapi aku berjanji tidak akan mengecewakan Papa dan Mama. Beri waktu agar aku
bisa membuktikannya. Aku pasti bisa menjadi seorang Entertainer yang sukses.”
“Baiklah,”
Papa mengangguk. Tidak mungkin secepat ini Papa setuju, pasti ada apa-apanya.
“Buktikan dalam waktu 3 bulan, kau dan teman-teman cecurutmu itu keluar menjadi
seorang pemenang di sebuah audisi dan tampil Live di Tv.” Aku melongo. Gilak,
ini mana mungkin terjadi, sama mustahilnya dengan mencari jarum ditumpukan
jerami.
“Tapi, Pa.
Mana mungkin secepat itu, 3 bulan adalah waktu yang terlalu singkat!” protesku.
“Kau meminta
kesempatan, dan aku memberikannya. Dan ingat, aku tidak sudi kamu tinggal
dirumahku selama 3 bulan itu. Jika kau menang, kau berhak melakukan apapun
sesuai kehendakmu. Jjika gagal, aku berjanji, aku tidak akan pernah
membiarkanmu menyentuh dunia biadab itu lagi!” Papa berteriak. Dia beranjak
dari sofa dan langsung masuk kekamar.
“Randi..
seharusnya kamu tidak usah menentang Papa, meminta maaf lah. Lupakan dunia yang
tidak jelas itu. Lagian kamu tidak punya tempat tinggal diluar sana. Mama tidak
mau kamu sakit, nak. Kamu satu-satunya anak Mama” Kata Mama membujukku sambil
menangis.
“Tidak, Ma.
Akan aku buktikan bahwa kalian salah. Tenang saja, Ma, dalam waktu 3 bulan aku
akan pulang dengan membawa senyum kemenangan. Mama tidak usah khawatirkan aku.
Kan kita masih bisa bertemu. Ok?”
Aku pun
mengucapkan selamat tinggal pada Mama sambil menyeret koperku. Aku tau ini
gila, tapi aku harus mengambil tantangan ini demi masa depanku. Aku tidak boleh
kalah dari Papa.
***
Aku
mendatangi kost-kostan Bil, dan menelpon
Kim untuk kesini. Aku menceritakan semua kejadian pada mereka. Mereka panik.
“Aku
berencana tinggal disini 3 bulan, sambil menggapai impian kita. Bolehkan, Bil?”
“Bolehlah,
Bro. Asal kamu betah aja, sudah bisa lihat kan? Kamar kecil. Hanya muat untuk
tidur saja, toilet diluar pula. Dan.. maaf, aku tidak punya banyak uang untuk
membiayai hidupmu.”
“Tenang saja,
aku akan mencoba part time. Yang penting kalian tetap ada disampingku, dan
tidak meninggalkan aku. Aku sudah bersyukur kok.” Kami bertiga pun berpelukan.
“Heiii!!”
Jim menepuk bahuku. Aku pun tersentak kaget.
“Astaga. Sialan. Bikin kaget aja.” Lamunanku pun
buyar seketika.
“Ngapain ngelamun? Mikirin belly dancer yaaa?” Jim
menggodaku.
“Parah, emang kamu?” Jim pun tertawa.
“Eh, suara Kim makin bagus ya? Masih ingat nggak
waktu kalian ikut audisi dulu? Suaranya sekarang makin merdu, bro. Memangnya
loe ga kepengen nyanyi lagi?” Jim memandangku.
“By the way, aku pulang dulu ya Jim. Lagi ada
urusan nih.”
“Lho, memangnya, nggak mau nunggu sampai selesai?
Tanggung nih, kan Windi masih di komentarin.”
“Ntar kamu kabarin aja, oke?”
Aku pun pamit. Sebetulnya
aku menghindari pertanyaan Jimmy. Aku tidak sanggup berdiri disini terlalu
lama. Situasi ini mengingatkanku pada kejadian masa lalu yang terlalu kelam
untuk diingat lagi..
To be
continued..
*Veel Geluk ; berarti Semoga berhasil dalam bahasa
Belanda.
No comments:
Post a Comment