03 February, 2012

Liefde, Love ( Part 3 )

Aku duduk dan menyimpan headphone yang sedari tadi aku pakai. Aku benar-benar tidak menemukan Kim. Wajar sih, airportnya terlalu luas.


“Ma, tadi aku ketemu Windi,” aku menceritakan pertemuanku dengan Windi di dalam pesawat tapi Mama diam saja. “Kok nggak ada respon?” tanyaku penasaran. Diantara semua temanku, mama paling dekat dengan Windi. Mungkin karena Windi anak teman SMA nya dan rada bawel.


“Mama udah tahu kok.” Dia menjawab singkat sambil membetulkan seat belt.
“Hah? Tahu dari mana?” aku kaget.
“Ituu, dia duduk di barisan agak depan,” dia menunjuk ke arah depan dengan bibirnya yang di monyong-monyongin. “Tadi kan Windi menyapa pas Mama masuk duluan, kamu masih diluar kayaknya. Memangnya tadi kamu lewat nggak melihat dia duduk didepan?” dia memoleskan body lotion ke tangannya dan menyodorkannya padaku. “Mau?” aku menggeleng-geleng. Aneh, dia tak menegurku, dan tidak kelihatan juga. Sudahlah biarkan saja, toh nanti juga akan sering ketemu dia.


“Ma, tukeran tempat duduk yuk?” aku bertanya karena aku kurang suka kalau naik pesawat duduk disebelah Papa, dia sering mengorok. Giliran Mama yang menggeleng. Detik itu juga terdengar suara orang mengorok.“Arghhhhh!” geramku. “Belum juga boarding dia nya udah tidur aja. Papa bener-bener deh!!” Aku mendengar Mama mengikik. Menyebalkan.

###


“Jim ! Where are you, bud??” aku menelpon teman SMP ku, Jimmy.
“Who is this??” Oh iya, jelas dia tidak tahu siapa aku.
“Aku Randi, Jim. Aku di Bandung sekarang!” dengan antusias aku memberitahunya.
“F**k. Dari kapan, bro? Dimana lo sekarang? Gue kesana!” ternyata dia lebih berambisi dariku. Aku tertawa.

 
###


Aku reuni dengan teman-teman SMP ku, kami berempat kumpul di Sierra lounge & café yang terletak di daerah Dago Pakar. Dahulu ini menjadi tempat nongkrong favorit kami, dikarenakan tempatnya yang elite dan elegant. Selain itu, kita bisa melihat pemandangan kota Bandung secara keseluruhan.


Mereka semua berubah, terutama dari segi penampilan. Jimmy si Penggoda yang memakai kemeja rapi serta celana skinny berwarna beige dengan style bak eksekutif muda. Lalu ada Billy si Street dancer dengan kaos hitam dan celana tanggung selutut berwarna merah cerah, tak lupa dengan topinya, hanya sekarang dia memakai behel di giginya. Dan ada Dimas si Rider yang bergaya seperti pembalap sejati dengan brewoknya dan pakaian ala kadarnya. Yeah, ku akui mereka makin tampan sekarang.


“Gilak, nggak nyangka gue kalo elu sampe pulang ke Indo. Udah 3 tahun ya?” cetus Jimmy sambil menghisap rokoknya. Dia nekat merokok,  padahal ada tulisan”Non Smoking Area” di dinding.
“Iya, 3 tahun benar-benar nggak kerasa.” Sahut Dimas kalem.
To the point aja, ngapain pulang, Ran?” Billy bertanya dengan nada ketus. Akhirnya dia bersuara karena sedari tadi dia hanya diam. Senyum pun tidak, dan aku tahu penyebab dia merengut sedari tadi. Aku rasa Jim yang menyeretnya datang kesini.
“Ayahku dimutasi ke Indo lagi. Di rolling, mau nggak mau ya aku pulang lagi. Kenapa tanya begitu Bil, kita disini untuk ngumpul kayak dulu lagi kan? Atau.. kau masih marah karna masalah sepele itu?” aku tertawa.
“Sepele katamu, Ran? Brengsek!” teriak Bil, dia pun berdiri dan mendorong kursinya dengan keras. Dia marah, terlihat dari alisnya yang menyatu dan nafasnya yang menggebu-gebu. Dia selalu emosi dan pendendam dari dulu, tidak berubah.
Heyy, calm down, my man!!” tegur Jim. “Duduk, dan lupakan masa lalu.” Lanjut Jim mencoba mencairkan suasana. Billy memandang Jim dan aku lalu memandang Jim lagi seakan ini adalah perbuatan gila.
“Duduk dan lupakan?” dia setengah berteriak. “Hah!! Seenak jidatmu aja kalau ngomong, Jim! Nggak ingat waktu dia meninggalkan aku begitu saja?” Bil menatap Jim dan berbicara dengan keras tapi aku tahu semua kekesalan itu ditujukan padaku. “Ohh iyaa. Ha ha. Meninggalkan kita semua kalau aku tidak lupa.” Dia tersenyum menyunggingkan bibirnya. Tanpa pamit, Bil pun langsung mengambil kunci mobil diatas meja dan keluar dari cafe. Tidak ada yang mencegahnya, baik Jim ataupun Dimas. Aku juga malas meladeninnya. Kupikir dia sudah melupakan masalah 3 tahun yang lalu, ternyata dia masih menyimpan dendam padaku. Benar-benar tidak masuk akal. Shitt!


“Sia-sia gue bujuk dia kesini,” Jim menghisap rokok dan mengeluarkan asap itu dari hidungnya. “Waktu  gue ajak dia kesini, dia nggak semarah itu. Apa mungkin karena ngeliat wajah elu yang menyebalkan itu dia jadi naik darah,bro. Uda kayak banteng ngeliat kain merah aja, pengen langsung diseruduk gitu” Jim dan Dimas tertawa terpingkal-pingkal. Aku hanya tersenyum saja.
 
“Jim, udah dong ngerokoknya. Mbak itu udah cemberut dari tadi ngeliatin kita, jangan buat perkara deh.” Dimas menegur Jim. Jim pun menoleh ke belakang untuk melihat waitress yang berdiri seperti manekin itu. Bukannya mematikan rokok, dia malah main mata dengan waitress nya. Aku tertawa, Dimas hanya geleng-geleng saja. 


“Oh ya, by the way, kalian pada kuliah dimana?” aku memandang mereka berdua.
“Kami di UNPAR. Daftar gih, paling kamu jadi adik kelas kami aja,” Dimas tersenyum. “Ada aku, Jim, Bil dan Windi disana. Pasti asyik banget.” Kedengarannya boleh juga. Aku mengangguk
“Please deh, mana seru lagi?? Liat aja tadi si Billy, baru 10 menit ketemu dia,” sambil menunjukku, “Udah kayak mau nerkam mangsa gitu. Apalagi Windi, udah jutek sekarang. Payah.” terlihat Jim mengibaskan tangannya.
“Tenang aja, Bil tadi cuma emosi sedikit kok. Nanti juga baik lagi.” Kataku. Lalu aku pun menceritakan kehidupanku di Belanda dan pertemuanku dengan Windi di airport.
“Ohh, iya iya.. Windi ada bilang liburan semester kali ini mau ke Belanda. Mau ketemu temannya juga kalau gak salah.” Dimas menceritakan.
“Alaghh, Windi mah cuma menghibur diri karna habis patah hati. Makanya berlibur ke sono. Liburan kok ke Eropa? Jauh banget, harusnya cari gue, biar bisa gue hibur.” Kata Jim yang sejauh ini sudah menghisap 5 puntung rokok.
“Patah hati? Kok aku baru tahu dia punya pacar? Dia nggak pernah menyinggungnya waktu kita email-an dulu.” Aku berpikir keras untuk mengingat isi-isi email yang pernah Kim kirim dulu. Setauku memang Kim tidak pernah bilang kalau dia punya pacar.
“Mana mau dia bilang ke elu, kalo lagi pacaran ama Billy?” ceplos Jim.
“Hah? Mereka pacaran? Berapa lama? Sejak kapan?” aku pun tercengang dan memandang ke arah Jim.
“Nggak tau tuh persisnya kapan. Yang pasti mereka pacarannya lama juga, setaonan gitu. Ya nggak sih?” Dia melirik Dimas. Dimas mengangguk. Kaget pasti itu reaksi pertamaku. Kok bisa ya? Heran juga. Belum sempat aku bertanya lagi, waitress cafe Nine sedang berjalan ke arah kami. 


“Maaf, Pak. Dilarang merokok diruangan ini,” tegur Mbak itu disaat Jim mau menyalakan rokoknya yang ke 6. “Disini ruangan ber-AC, dan itu sangat menganggu tamu-tamu kami yang lain pak. Bapak bisa pindah ke ruangan merokok di sebelah sana.” Dia menunjuk ke ruangan yang dikelilingi oleh kaca yang bertuliskan “Smoking Room”
 “Okehh, kami pindah, tapi mbak..” Jim tiba-tiba berdiri disamping waitress itu dan berkata dengan pelan seakan berbisik “Minta nomor telponnya dong? Pulang jam berapa nih?” Jim menyengir dan terlihat wajah waitress itu memerah dan langsung pergi tanpa basa-basi lagi. Aku dan Dimas tertawa. Sifat Jim memang tidak pernah berubah, “Pi el ei way bi ou way” celetuk Dimas. 



Nb : sekian ceritanya, di tunggu part yang ke 4 yaa ~
*Luv Rangga Moela SM*SH. He's inspire me to make this story

Ini adalah Sierra Cafe yang dikunjungi Randi dkk ^^. Indah bukan?

No comments: