Aku duduk dan menyimpan
headphone yang sedari tadi aku pakai. Aku benar-benar tidak menemukan Kim.
Wajar sih, airportnya terlalu luas.
“Ma, tadi aku ketemu
Windi,” aku menceritakan pertemuanku dengan Windi di dalam pesawat tapi Mama
diam saja. “Kok nggak ada respon?” tanyaku penasaran. Diantara semua temanku,
mama paling dekat dengan Windi. Mungkin karena Windi anak teman SMA nya dan
rada bawel.
“Mama udah tahu kok.”
Dia menjawab singkat sambil membetulkan seat belt.
“Hah? Tahu dari mana?”
aku kaget.
“Ituu, dia duduk di
barisan agak depan,” dia menunjuk ke arah depan dengan bibirnya yang di
monyong-monyongin. “Tadi kan Windi menyapa pas Mama masuk duluan, kamu masih
diluar kayaknya. Memangnya tadi kamu lewat nggak melihat dia duduk didepan?”
dia memoleskan body lotion ke tangannya dan menyodorkannya padaku. “Mau?” aku
menggeleng-geleng. Aneh, dia tak menegurku, dan tidak kelihatan juga. Sudahlah
biarkan saja, toh nanti juga akan sering ketemu dia.
“Ma, tukeran tempat
duduk yuk?” aku bertanya karena aku kurang suka kalau naik pesawat duduk
disebelah Papa, dia sering mengorok. Giliran Mama yang menggeleng. Detik itu
juga terdengar suara orang mengorok.“Arghhhhh!” geramku. “Belum juga boarding
dia nya udah tidur aja. Papa bener-bener deh!!” Aku mendengar Mama mengikik.
Menyebalkan.
###
“Jim
! Where are you, bud??” aku menelpon teman SMP ku, Jimmy.
“Who
is this??” Oh iya, jelas dia tidak tahu siapa aku.
“Aku
Randi, Jim. Aku di Bandung sekarang!” dengan antusias aku memberitahunya.
“F**k.
Dari kapan, bro? Dimana lo sekarang? Gue kesana!” ternyata dia lebih berambisi
dariku. Aku tertawa.
###
Aku reuni dengan
teman-teman SMP ku, kami berempat kumpul di Sierra lounge & café yang terletak di daerah
Dago Pakar. Dahulu ini menjadi tempat nongkrong favorit kami, dikarenakan tempatnya
yang elite dan elegant. Selain itu, kita bisa melihat pemandangan kota Bandung
secara keseluruhan.
Mereka semua berubah,
terutama dari segi penampilan. Jimmy si Penggoda yang memakai kemeja rapi serta
celana skinny berwarna beige dengan style bak eksekutif muda. Lalu ada Billy si
Street dancer dengan kaos hitam dan celana tanggung selutut berwarna merah
cerah, tak lupa dengan topinya, hanya sekarang dia memakai behel di giginya. Dan
ada Dimas si Rider yang bergaya seperti pembalap sejati dengan brewoknya dan
pakaian ala kadarnya. Yeah, ku akui mereka makin tampan sekarang.
“Gilak, nggak nyangka
gue kalo elu sampe pulang ke Indo. Udah 3 tahun ya?” cetus Jimmy sambil
menghisap rokoknya. Dia nekat merokok, padahal ada tulisan”Non Smoking Area” di dinding.
“Iya, 3 tahun
benar-benar nggak kerasa.” Sahut Dimas kalem.
“To the point aja, ngapain pulang, Ran?” Billy bertanya dengan nada
ketus. Akhirnya dia bersuara karena sedari tadi dia hanya diam. Senyum pun
tidak, dan aku tahu penyebab dia merengut sedari tadi. Aku rasa Jim yang
menyeretnya datang kesini.
“Ayahku dimutasi ke
Indo lagi. Di rolling, mau nggak mau ya aku pulang lagi. Kenapa tanya begitu
Bil, kita disini untuk ngumpul kayak dulu lagi kan? Atau.. kau masih marah
karna masalah sepele itu?” aku tertawa.
“Sepele katamu, Ran?
Brengsek!” teriak Bil, dia pun berdiri dan mendorong kursinya dengan keras. Dia
marah, terlihat dari alisnya yang menyatu dan nafasnya yang menggebu-gebu. Dia
selalu emosi dan pendendam dari dulu, tidak berubah.
“Heyy, calm down, my man!!” tegur Jim. “Duduk, dan lupakan masa
lalu.” Lanjut Jim mencoba mencairkan suasana. Billy memandang Jim dan aku lalu
memandang Jim lagi seakan ini adalah perbuatan gila.
“Duduk dan lupakan?”
dia setengah berteriak. “Hah!! Seenak jidatmu aja kalau ngomong, Jim! Nggak
ingat waktu dia meninggalkan aku begitu saja?” Bil menatap Jim dan berbicara
dengan keras tapi aku tahu semua kekesalan itu ditujukan padaku. “Ohh iyaa. Ha
ha. Meninggalkan kita semua kalau aku tidak lupa.” Dia tersenyum menyunggingkan
bibirnya. Tanpa pamit, Bil pun langsung mengambil kunci mobil diatas meja dan
keluar dari cafe. Tidak ada yang mencegahnya, baik Jim ataupun Dimas. Aku juga
malas meladeninnya. Kupikir dia sudah melupakan masalah 3 tahun yang lalu,
ternyata dia masih menyimpan dendam padaku. Benar-benar tidak masuk akal. Shitt!
“Sia-sia gue bujuk dia
kesini,” Jim menghisap rokok dan mengeluarkan asap itu dari hidungnya.
“Waktu gue ajak dia kesini, dia nggak
semarah itu. Apa mungkin karena ngeliat wajah elu yang menyebalkan itu dia jadi
naik darah,bro. Uda kayak banteng ngeliat kain merah aja, pengen langsung
diseruduk gitu” Jim dan Dimas tertawa terpingkal-pingkal. Aku hanya tersenyum
saja.
“Jim, udah dong
ngerokoknya. Mbak itu udah cemberut dari tadi ngeliatin kita, jangan buat
perkara deh.” Dimas menegur Jim. Jim pun menoleh ke belakang untuk melihat
waitress yang berdiri seperti manekin itu. Bukannya mematikan rokok, dia malah
main mata dengan waitress nya. Aku tertawa, Dimas hanya geleng-geleng saja.
“Oh ya, by the way,
kalian pada kuliah dimana?” aku memandang mereka berdua.
“Kami di UNPAR. Daftar
gih, paling kamu jadi adik kelas kami aja,” Dimas tersenyum. “Ada aku, Jim, Bil
dan Windi disana. Pasti asyik banget.” Kedengarannya boleh juga. Aku mengangguk
“Please deh, mana seru
lagi?? Liat aja tadi si Billy, baru 10 menit ketemu dia,” sambil menunjukku, “Udah
kayak mau nerkam mangsa gitu. Apalagi Windi, udah jutek sekarang. Payah.”
terlihat Jim mengibaskan tangannya.
“Tenang aja, Bil tadi
cuma emosi sedikit kok. Nanti juga baik lagi.” Kataku. Lalu aku pun
menceritakan kehidupanku di Belanda dan pertemuanku dengan Windi di airport.
“Ohh, iya iya.. Windi
ada bilang liburan semester kali ini mau ke Belanda. Mau ketemu temannya juga
kalau gak salah.” Dimas menceritakan.
“Alaghh, Windi mah cuma
menghibur diri karna habis patah hati. Makanya berlibur ke sono. Liburan kok ke
Eropa? Jauh banget, harusnya cari gue, biar bisa gue hibur.” Kata Jim yang
sejauh ini sudah menghisap 5 puntung rokok.
“Patah hati? Kok aku
baru tahu dia punya pacar? Dia nggak pernah menyinggungnya waktu kita email-an
dulu.” Aku berpikir keras untuk mengingat isi-isi email yang pernah Kim kirim
dulu. Setauku memang Kim tidak pernah bilang kalau dia punya pacar.
“Mana mau dia bilang ke
elu, kalo lagi pacaran ama Billy?” ceplos Jim.
“Hah? Mereka pacaran?
Berapa lama? Sejak kapan?” aku pun tercengang dan memandang ke arah Jim.
“Nggak tau tuh
persisnya kapan. Yang pasti mereka pacarannya lama juga, setaonan gitu. Ya
nggak sih?” Dia melirik Dimas. Dimas mengangguk. Kaget pasti itu reaksi
pertamaku. Kok bisa ya? Heran juga. Belum sempat aku bertanya lagi, waitress
cafe Nine sedang berjalan ke arah kami.
“Maaf, Pak. Dilarang
merokok diruangan ini,” tegur Mbak itu disaat Jim mau menyalakan rokoknya yang
ke 6. “Disini ruangan ber-AC, dan itu sangat menganggu tamu-tamu kami yang lain
pak. Bapak bisa pindah ke ruangan merokok di sebelah sana.” Dia menunjuk ke ruangan
yang dikelilingi oleh kaca yang bertuliskan “Smoking
Room”
“Okehh, kami pindah,
tapi mbak..” Jim tiba-tiba berdiri disamping waitress itu dan berkata dengan
pelan seakan berbisik “Minta nomor telponnya dong? Pulang jam berapa nih?” Jim
menyengir dan terlihat wajah waitress itu memerah dan langsung pergi tanpa
basa-basi lagi. Aku dan Dimas tertawa. Sifat Jim memang tidak pernah berubah,
“Pi el ei way bi ou way” celetuk Dimas.
Nb : sekian ceritanya, di tunggu part yang ke 4 yaa ~
*Luv Rangga Moela SM*SH. He's inspire me to make this story
![]() |
Ini adalah Sierra Cafe yang dikunjungi Randi dkk ^^. Indah bukan? |
No comments:
Post a Comment