27 November, 2013

Virus Alex



VIRUS ALEX
Oleh : Vincentia Natalia - @lia_neyh - Cerpen
*
Semua yang terjadi di kehidupan adalah misteri! Setidaknya itulah yang dicetuskan Felis saat ini. Cinta, bencana, masalah, rasa sakit, semua pasang-surut kehidupan. Tidak ada satu pun yang tahu kapan datangnya. Termasuk rasa sesak yang datang tiba-tiba di dada.
Felis meringkuk di kasur yang berukuran besar, bersembunyi di bawah selimut. Demi menyesuaikan isi hati, lampu kamar dipadamkan, memutar lagu sendu di Ipod berulang-ulang dan menyalakan AC di suhu terendah supaya bisa membekukan hati yang sudah meleleh sejak seminggu lalu.
Felis mendengarkan lagu Lonely – 2ne1 karena merasa suasana hati sangat cocok dengan lirik lagu itu. Kesepian.
Awalnya dia bernyanyi dengan nada rendah, tapi airmata malah ikut mengalir. Menurutnya, menyanyi dengan hati akan rentan terbawa suasana. Kemudian dia bernyanyi keras-keras supaya perasaannya pulih, agar beban ikut terangkat tapi malah dihadiahi bentakan oleh ibunya. Lantas Felis memilih diam tetap mendengarkan lagu itu sambil terisak-isak di bawah selimut.
Merasa gerah, Felis menurunkan selimut setinggi dada. Dia menoleh ke kiri, dan mata sembab beradu ke benda elektronik yang sedari tadi tergeletak anggun di meja kecil samping tempat tidur.
Seakan mengetahui isi pikiran Felis yang menunggu pesan, benda bernama Blackberry itu bergetar pelan. Felis mencomot ponsel itu dengan gerakan cepat mengalahkan kecepatan tangan ninja. Baru saja jantungnya berdetak kencang mengira ada pesan dari seseorang yang dia tunggu, ternyata itu hanya pesan yang berisi “test contact”. Felis memaki pelan dan mengutuk orang yang sudah mengacaukan imajinasi indahnya.
Alih-alih meletakkan ponsel kembali ke tempat semula, dia membuka akun twitter “Alex III” yang entah ke berapa kali hanya untuk dalam kurun waktu dua jam dan mencari tanda-tanda kehidupan, namun nihil.
Felis berbaring terlentang. Menatap langit-langit kamar tapi tidak ada yang bisa dilihat selain kegelapan dan masuknya cahaya bulan dari jendela yang belum ditutup.
Seakan terobsesi, dia mulai mengingat-ingat, kapan terakhir Sang Mulia  - begitu Felis menjuluki Alex karena Felis merasa bahwa pasangan Ratu adalah Raja -  alias gebetannya ini menghubungi.
165 jam, hitungnya.
165 jam tanpa kabar dari Alex membuat Felis uring-uringan, galau, hampir depresi, lelah, dan rasa di dalam dada makin memberontak. Jika rasa sakit kepala bisa diredam dengan ponstan, jika rasa perih di luka bisa disembuhkan dengan betadine. Bagaimana dengan rasa ini? batinnya. Apa yang bisa membuat rasa sesak ini hilang untuk sementara atau berkurang kadarnya. Karena semakin hari, rasa sesak ini datang semakin intens dan terkadang nyeri menusuk sampai ke tulang hingga membuatnya menangis berurai airmata.
Felis takut, dia benar-benar takut  jika rasa ini dipendam lebih lama lagi, malah akan menyakiti dirinya sendiri lalu rasa ini mati begitu saja karena terkekang di dalam. Tapi ada alasan kuat di balik semua rasa yang terpasung. Dia memilih diam karena takut dikecewakan jika Alex tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Perasaan yang hilir mudik selama seminggu ini.
Felis mendesah, dia duduk di tepi kasur, menyalakan lampu dalam rangka mengusir kelam  dan meletakkan tangan di kening. Panas.
Apa otak ini sudah tercemar oleh Alex? Teror macam apa ini? Ini lelucon, bagaimana mungkin saat menutup mata pun, dia merasa sanggup mendengar samar suara angin yang membisikkan nama Alex di telinga? Gumam Felis dalam hati.
Jadi dia memutuskan bahwa ini adalah perasaan yang terlarang. Perasaan selalu ingin bersama dengan Alex tapi dia tahu jika selalu memaksakan Alex terus berada di sampingnya, kemungkinan cowok itu akan risih.
Felis setuju dengan pepatah yang menyebutkan bahwa cinta itu seperti heroin atau narkotika. Euforia saat pertama merasakannya begitu komplit sehingga keesokan hari, kita ingin merasakannya lagi. Mungkin saat itu kita belum kecanduan, namun kita suka sensasinya dan berpikir “Ah, aku masih bisa mengontrolnya.” Tapi seiring intensnya pertemuan, semakin terbiasa dengannya, kita mulai bergantung pada mereka. Saat orang itu tidak ada di sana, kita seperti pecandu yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Itulah yang dirasakan Felis sekarang juga. Kecanduan Alex. Perasaan sangat ingin bertemu.
Felis menggeleng-gelengkan kepala. Dahi ikut berkerut. Dia bangkit dan menutup jendela seakan melarang angin masuk dan tidak menambah beban kehidupannya lagi. Setelah itu, dia menoleh ke arah ponsel yang lagi-lagi tergolek tak berdaya di atas bantal. Felis benci harus berkutat dengan benda itu. Semua waktu dan energi habis hanya untuknya.
Dengan tatapan mengancam, dia pun melakukan kesepakatan dengan Tuhan lewat Blackberry, kontrak penuh perhitungan dan pengorbanan. Dia menawarkan hidupnya, dan berjanji akan menjadi anak rajin, menyisihkan setengah gaji untuk ibunya selama setahun penuh, dan mencuci pakaian seluruh anggota keluarga jika Alex menghubunginya duluan sekarang. Meskipun dengan berat hati melakukan barter seperti itu, Felis rela melakukan apa saja demi meredakan beban rasa di dalam benak.
Sepuluh menit berlalu, Felis merasa Tuhan tidak menyukai ide soal pertukaran tadi. Mungkin kurang menggiurkan walaupun sebenarnya itu penawaran tertinggi.
Felis mondar-mandir di dalam kamar, berusaha merangkum semua kejadian minggu lalu. Baik pembicaraan terakhir di telepon, kencan di hari sebelumnya di kafe dan saat Felis mengajak Alex nonton film horor Conjuring di bioskop. Semua lancar-lancar saja. Berjalan normal. Bahkan Felis sangat yakin Alex selalu menyentuhnya di dalam studio di setiap kesempatan.
Seakan mendapat petunjuk, Felis berpikir, apa mungkin ini ulah dia yang memaksa untuk ikut menonton saat Alex bermain futsal? Felis mengakui, dia memang bertingkah sedikit kekanak-kanakan dengan cara ngambek saat Alex melarangnya. Bukan hal besar seharusnya jika memang itu yang membuat Alex cuek dengan Felis berhari-hari.
Mungkin, mungkin cuma ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini, batin Felis.
Cara untuk mengembalikan akal sehat, membuang beban di benak jiwa, meredakan gairah menggebu, mengubah rasa pahit menjadi manis lagi saat mengenang setiap momen, mengubur pilu dalam kubur dan kembali merasakan ketentraman saat  membayangkan wajah Alex.
Yaitu dengan menghubunginya.
Mencarinya.
Mengajaknya bertemu.
Tentu saja semua harus bisa dilakukan setelah melepas semua gengsi, meluruhkan ego, dan menanggalkan semua pikiran negatif. Harga diri memang penting, tapi kewarasan lebih diutamakan karena Felis merasa otaknya sudah terserang virus “Alex".
Maka Felis mengusap Blackberry. Menarik napas, menghembuskan lewat mulut. Berkali-kali hingga dirasa-rasa si jantung sudah berdetak normal. Tidak berdentum-dentum kencang lagi.
Felis menutup mata, dia belum pernah ketakutan seperti ini. Dia bingung, tidak tahu harus berkata apa jika panggilannya disambut dan hampir batal menelepon. Tapi mau tak mau, dia harus bersikap seperti pemberani. Jika bukan sekarang, besok atau lusa batin akan semakin tertekan. Felis jera.
Jadi dia memutuskan untuk menekan nomor telepon Alex yang sudah hapal di luar kepala, bahkan melebihi nomor telepon orangtuanya sendiri. Dan baru saja dia mau menekan tombol “panggil”, sebuah BBM masuk menggangu konsentrasinya.
Suasana hatinya langsung berubah saat membaca BBM dari Alex.
Lagi di rumah enggak? Aku ke sana, ya. Pengen ketemu. J
Wajah gadis itu langsung diliputi kebahagiaan tak terkira. Senyumnya melebar dan mengikik sendirian seperti orang idiot.
Felis mengamati jarum jam di dinding, berharap waktu lebih cepat berputar. Memang itu permohonan yang konyol, tapi saat ini dia merasa super bahagia karena Alex ingin bertemu. Mungkin itu memang bukan ungkapan rasa sayang, atau pernyataan cinta. Bahkan tanpa diucapkan sama sekali. Tapi setidaknya, Alex merasakan hal yang sama dengannya.
Saat ini, Felis merasa ada koneksi di antara mereka berdua, entah itu rasa yang dalam atau dangkal. Felis tidak peduli.
Pokoknya, malam ini Felis merasa beruntung. Seberuntung semua gadis yang merasakan rasa “terlarang” ini dan dia rela mencandu seumur hidupnya.
Fin

2 comments:

Unknown said...

Sepertinya aku tahu betul apa yang yang dirasakan si Felis ini ._.

Lia Chan said...

Pengalaman, Is? >.<