VIRUS
ALEX
Oleh : Vincentia Natalia - @lia_neyh - Cerpen
*
Semua
yang terjadi di kehidupan adalah misteri! Setidaknya itulah yang dicetuskan
Felis saat ini. Cinta, bencana, masalah, rasa sakit, semua pasang-surut
kehidupan. Tidak ada satu pun yang tahu kapan datangnya. Termasuk rasa sesak
yang datang tiba-tiba di dada.
Felis
meringkuk di kasur yang berukuran besar, bersembunyi di bawah selimut. Demi
menyesuaikan isi hati, lampu kamar dipadamkan, memutar lagu sendu di Ipod
berulang-ulang dan menyalakan AC di suhu terendah supaya bisa membekukan hati
yang sudah meleleh sejak seminggu lalu.
Felis
mendengarkan lagu Lonely – 2ne1 karena merasa suasana hati sangat cocok dengan
lirik lagu itu. Kesepian.
Awalnya
dia bernyanyi dengan nada rendah, tapi airmata malah ikut mengalir. Menurutnya,
menyanyi dengan hati akan rentan terbawa suasana. Kemudian dia bernyanyi
keras-keras supaya perasaannya pulih, agar beban ikut terangkat tapi malah
dihadiahi bentakan oleh ibunya. Lantas Felis memilih diam tetap mendengarkan
lagu itu sambil terisak-isak di bawah selimut.
Merasa
gerah, Felis menurunkan selimut setinggi dada. Dia menoleh ke kiri, dan mata
sembab beradu ke benda elektronik yang sedari tadi tergeletak anggun di meja
kecil samping tempat tidur.
Seakan
mengetahui isi pikiran Felis yang menunggu pesan, benda bernama Blackberry itu
bergetar pelan. Felis mencomot ponsel itu dengan gerakan cepat mengalahkan
kecepatan tangan ninja. Baru saja jantungnya berdetak kencang mengira ada pesan
dari seseorang yang dia tunggu, ternyata itu hanya pesan yang berisi “test contact”. Felis memaki pelan dan
mengutuk orang yang sudah mengacaukan imajinasi indahnya.
Alih-alih
meletakkan ponsel kembali ke tempat semula, dia membuka akun twitter “Alex III”
yang entah ke berapa kali hanya untuk dalam kurun waktu dua jam dan mencari
tanda-tanda kehidupan, namun nihil.
Felis
berbaring terlentang. Menatap langit-langit kamar tapi tidak ada yang bisa
dilihat selain kegelapan dan masuknya cahaya bulan dari jendela yang belum
ditutup.
Seakan
terobsesi, dia mulai mengingat-ingat, kapan terakhir Sang Mulia - begitu Felis menjuluki Alex karena
Felis merasa bahwa pasangan Ratu adalah Raja - alias gebetannya ini menghubungi.
165
jam, hitungnya.
165
jam tanpa kabar dari Alex membuat Felis uring-uringan, galau, hampir depresi,
lelah, dan rasa di dalam dada makin memberontak. Jika rasa sakit kepala bisa
diredam dengan ponstan, jika rasa perih di luka bisa disembuhkan dengan
betadine. Bagaimana dengan rasa ini?
batinnya. Apa yang bisa membuat rasa sesak ini hilang untuk sementara atau
berkurang kadarnya. Karena semakin hari, rasa sesak ini datang semakin intens
dan terkadang nyeri menusuk sampai ke tulang hingga membuatnya menangis berurai
airmata.
Felis
takut, dia benar-benar takut jika rasa
ini dipendam lebih lama lagi, malah akan menyakiti dirinya sendiri lalu rasa
ini mati begitu saja karena terkekang di dalam. Tapi ada alasan kuat di balik
semua rasa yang terpasung. Dia memilih diam karena takut dikecewakan jika Alex
tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Perasaan yang hilir mudik selama
seminggu ini.
Felis
mendesah, dia duduk di tepi kasur, menyalakan lampu dalam rangka mengusir kelam
dan meletakkan tangan di kening. Panas.
Apa otak ini sudah tercemar oleh Alex?
Teror macam apa ini? Ini lelucon, bagaimana mungkin saat menutup mata pun, dia
merasa sanggup mendengar samar suara angin yang membisikkan nama Alex di
telinga? Gumam Felis dalam hati.
Jadi
dia memutuskan bahwa ini adalah perasaan yang terlarang. Perasaan selalu ingin
bersama dengan Alex tapi dia tahu jika selalu memaksakan Alex terus berada di
sampingnya, kemungkinan cowok itu akan risih.
Felis
setuju dengan pepatah yang menyebutkan bahwa cinta itu seperti heroin atau
narkotika. Euforia saat pertama merasakannya begitu komplit sehingga keesokan
hari, kita ingin merasakannya lagi. Mungkin saat itu kita belum kecanduan,
namun kita suka sensasinya dan berpikir “Ah, aku masih bisa mengontrolnya.”
Tapi seiring intensnya pertemuan, semakin terbiasa dengannya, kita mulai
bergantung pada mereka. Saat orang itu tidak ada di sana, kita seperti pecandu
yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Itulah
yang dirasakan Felis sekarang juga. Kecanduan Alex. Perasaan sangat ingin
bertemu.
Felis
menggeleng-gelengkan kepala. Dahi ikut berkerut. Dia bangkit dan menutup
jendela seakan melarang angin masuk dan tidak menambah beban kehidupannya lagi.
Setelah itu, dia menoleh ke arah ponsel yang lagi-lagi tergolek tak berdaya di
atas bantal. Felis benci harus berkutat dengan benda itu. Semua waktu dan
energi habis hanya untuknya.
Dengan
tatapan mengancam, dia pun melakukan kesepakatan dengan Tuhan lewat Blackberry,
kontrak penuh perhitungan dan pengorbanan. Dia menawarkan hidupnya, dan
berjanji akan menjadi anak rajin, menyisihkan setengah gaji untuk ibunya selama
setahun penuh, dan mencuci pakaian seluruh anggota keluarga jika Alex
menghubunginya duluan sekarang. Meskipun dengan berat hati melakukan barter
seperti itu, Felis rela melakukan apa saja demi meredakan beban rasa di dalam
benak.
Sepuluh
menit berlalu, Felis merasa Tuhan tidak menyukai ide soal pertukaran tadi.
Mungkin kurang menggiurkan walaupun sebenarnya itu penawaran tertinggi.
Felis
mondar-mandir di dalam kamar, berusaha merangkum semua kejadian minggu lalu.
Baik pembicaraan terakhir di telepon, kencan di hari sebelumnya di kafe dan
saat Felis mengajak Alex nonton film horor Conjuring di bioskop. Semua
lancar-lancar saja. Berjalan normal. Bahkan Felis sangat yakin Alex selalu
menyentuhnya di dalam studio di setiap kesempatan.
Seakan
mendapat petunjuk, Felis berpikir, apa mungkin ini ulah dia yang memaksa untuk
ikut menonton saat Alex bermain futsal? Felis mengakui, dia memang bertingkah
sedikit kekanak-kanakan dengan cara ngambek saat Alex melarangnya. Bukan hal
besar seharusnya jika memang itu yang membuat Alex cuek dengan Felis
berhari-hari.
Mungkin,
mungkin cuma ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini, batin Felis.
Cara
untuk mengembalikan akal sehat, membuang beban di benak jiwa, meredakan gairah
menggebu, mengubah rasa pahit menjadi manis lagi saat mengenang setiap momen,
mengubur pilu dalam kubur dan kembali merasakan ketentraman saat membayangkan wajah Alex.
Yaitu
dengan menghubunginya.
Mencarinya.
Mengajaknya
bertemu.
Tentu
saja semua harus bisa dilakukan setelah melepas semua gengsi, meluruhkan ego,
dan menanggalkan semua pikiran negatif. Harga diri memang penting, tapi
kewarasan lebih diutamakan karena Felis merasa otaknya sudah terserang virus “Alex".
Maka
Felis mengusap Blackberry. Menarik napas, menghembuskan lewat mulut.
Berkali-kali hingga dirasa-rasa si jantung sudah berdetak normal. Tidak
berdentum-dentum kencang lagi.
Felis
menutup mata, dia belum pernah ketakutan seperti ini. Dia bingung, tidak tahu
harus berkata apa jika panggilannya disambut dan hampir batal menelepon. Tapi
mau tak mau, dia harus bersikap seperti pemberani. Jika bukan sekarang, besok
atau lusa batin akan semakin tertekan. Felis jera.
Jadi
dia memutuskan untuk menekan nomor telepon Alex yang sudah hapal di luar
kepala, bahkan melebihi nomor telepon orangtuanya sendiri. Dan baru saja dia
mau menekan tombol “panggil”, sebuah BBM masuk menggangu konsentrasinya.
Suasana
hatinya langsung berubah saat membaca BBM dari Alex.
Lagi di rumah enggak? Aku ke sana, ya.
Pengen ketemu. J
Wajah
gadis itu langsung diliputi kebahagiaan tak terkira. Senyumnya melebar dan
mengikik sendirian seperti orang idiot.
Felis
mengamati jarum jam di dinding, berharap waktu lebih cepat berputar. Memang itu
permohonan yang konyol, tapi saat ini dia merasa super bahagia karena Alex
ingin bertemu. Mungkin itu memang bukan ungkapan rasa sayang, atau pernyataan
cinta. Bahkan tanpa diucapkan sama sekali. Tapi setidaknya, Alex merasakan hal
yang sama dengannya.
Saat
ini, Felis merasa ada koneksi di antara mereka berdua, entah itu rasa yang
dalam atau dangkal. Felis tidak peduli.
Pokoknya,
malam ini Felis merasa beruntung. Seberuntung semua gadis yang merasakan rasa “terlarang”
ini dan dia rela mencandu seumur hidupnya.
Fin
2 comments:
Sepertinya aku tahu betul apa yang yang dirasakan si Felis ini ._.
Pengalaman, Is? >.<
Post a Comment