Felis menarik napas, lalu
menghembuskannya dari mulut berulang-ulang. Dia berusaha menetralkan udara di
rongga paru-paru supaya tidak terkontaminasi oleh ribuan zat kimia yang dihirup
tadi.
“Merokok di dalam ruangan ber-AC. Tolol
banget, sih,” omel Felis sendirian.
Mood
gadis itu semakin buruk saat dia berdiri di balkon demi mengincar udara bersih.
Dia lupa kalau biasanya langit malam di Jakarta berkabut dikarenakan asap
kendaraan. Kali ini tebalnya bertambah dua kali lipat diakibatkan kembang api. Jangankan
melihat bintang dari lantai 42 di Apartemen Season City, lampu mobil di jalan
saja terlihat seperti lampu lima watt, buram.
Old
and new di Jakarta memang selalu begini dari tahun ke tahun.
Kembang api, petasan, bunyi terompet, suara tawa, pasangan yang jadian, sampai
yang putus juga banyak.
“Tahun baru, pakaian baruuu, dan status
baruu!” teriak Felis sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi sambil
memejamkan mata.
Alih-alih lega, teriakan barusan
membuatnya tambah galau.
“Yang barusan diteriakin resolusi baru,
ya?”
Felis menoleh ke arah suara yang barusan
dia dengar. Dia menurunkan tangannya pelan dan terkejut melihat seorang cowok
berselonjor di lantai.
Alex?!!
Jerit Felis dalam hati.
Felis mengenal cowok itu dari Facebook
dan Twitter. Hanya sebatas itu. Dia tidak menyangka Alex juga diundang ke pesta
tahun baru yang digelar Lia.
“Alex ... k-kok ... kamu bisa ada di
sini?”
Alex tertawa mendengar pertanyaan aneh
tersebut. “Tentu saja karena aku diundang Lia. Aku bukan penyusup.”
“Bukan begitu maksudku!” Sahut Felis
cepat.
Dalam hatinya, dia masih bingung. Bagaimana
bisa Alex mengenal Lia?
“Duduk sini, deh,” ajak Alex sambil
menunjuk ke arah sampingnya dengan dagu.
Felis melirik sekeliling dan tidak
mendapatkan seorang pun yang bisa menemaninya, jadi dia memilih menuruti
keinginan Alex.
“Enggak empuk di sini,” protes Felis.
“Nikmatin aja, daripada kamu megap-megap
di dalam.”
“Kok tahu?”
“Teriakanmu itu bisa kedengaran sampai
ke basement, lho.”
Felis menghadiahkan Alex lirikan tajam
yang bahkan tidak dipedulikannya.
“Kuliahmu gimana, Lex? Lancar.
Denger-denger, kamu mau ambil S1 di Canada, ya?”
“Wah. Tahu dari mana?”
“Timeline.
Baca percakapanmu dengan ... Anton. Tetanggaku itu. Kenal, kan?”
”Oooh.” Alex membulatkan bibirnya. “Iya.
Baru rencana.”
Felis ingin bertanya lebih lanjut atau
minimal menyinggung tentang Anton, teman baik Alex, yang saat ini juga sedang
bersarang di otak Felis selama berhari-hari tapi dia mengurungkan niatnya. Dia
takut Alex menganggapnya kepo, mau
tahu urusan orang begitu.
“Kenapa menyendiri di sini, Lex? Anton
mana?” Felis celingukan mencari sosok yang dia tanyakan barusan, hanya tidak
terlalu kentara.
“Aku datang sendiri. Bentar lagi mau
cabut.”
Felis manggut-manggut dan sedikit
kecewa, dia baru saja sampai dan berharap bisa menemukan seseorang yang enak
diajak ngobrol malah bakalan ditinggal. Apalagi Felis berencana untuk mengorek-ngorek
keberadaan Anton yang sudah seminggu ini hilang dari peredaran galaksinya. Dia
berharap bisa mendapatkan sedikit informasi dari cowok yang duduk di
sampingnya.
“Udah lama kenal sama Anton?” tanya Alex
tiba-tiba.
Seakan mendapat pencerahan, buru-buru
Felis menjawab, “Iya. Jadi tetanggaan sih udah setahunan. Tapi ya gitu, deh.”
“Gitu apanya?” tanya Alex bingung
kemudian menyengir setelah melihat respon Felis yang menunduk malu-malu. Dia
lalu melanjutkan pernyataannya. “Status baru yang dijadiin resolusi tadi
ditujukan buat Anton, ya?”
Dang! Felis seakan tercekik. Dia menoleh
cepat ke arah Alex dengan raut muka syok. Dia tak menyangka Alex bisa secepat
itu menebak jalan pikirannya. Cengiran Alex pun makin lebar, lantas dia
buru-buru menghapus senyum penuh kemenangannya demi menjaga ‘kehormatan’ Felis.
“Yang tadi itu memang sejenis resolusi,
sih. Tapi ketiganya berada di urutan terbawah,” bohong Felis. Dia tidak mau
terlihat terlalu menyedihkan di mata cowok itu. Resolusi tahun baru harusnya
mengejar impian, bukannya malah meributkan masalah status. Jaim!
Alex mengangguk-angguk. Dia tahu persis
Felis menyembunyikan sesuatu kemudian mengusilinya lagi. “Kalau mau ubah
status, dimulai dari cari gebetan dulu. Perlu aku kasih tutorial, nggak?”
“Ih. Enggak perlu. Lagi males sama species bernama cowok,” dustanya lagi.
Alex kelihatan tertarik dengan
pernyataan yang dilontarkan Felis barusan hingga dia mengubah posisi duduknya,
ke arah Felis. “Oh, ya? Tapi tadi, mengubah status ... masuk ke resolusi entah
ke berapa, kan? Berarti masih berniat mencari yang baru, dong?”
“Iya, sih. Cuma lagi males aja. Cowok ya
gitu-gitu aja, semuanya sama.”
Alex menaikkan sebelah alisnya lalu
menyengir. “Tunggu, tunggu. Jadi aku dan Robert Pattinson sebelas-dua belas
gitu?”
Felis mendengus lagi. “Bukan gitu.
Maksudku, cara berpikirnya. Cara para cowok memperlakukan cewek. Kerjaannya cuma
nge-PHP-in cewek doang. Seneng gitu kasih harapan ke cewek.”
Alex mengelus pipi kanannya. “Jadi
korban, ya?”
“Enggak gitu juga!” seru Felis. Dia
menegakkan posisi duduknya yang tadinya menyandar tembok. “Coba tanya diri kamu
sendiri, deh. Kenapa senang ngasih harapan ke cewek yang lagi deket ama kamu?”
“Aku sih enggak pernah kasih harapan ke
cewek. I’m just being nice. Emangnya
salah? Coba tanya diri kamu sendiri, deh. Apa bukan kalian para cewek yang cuma
kege-eran?”
Felis melotot. Dia kelihatan ingin
menyembur amarah kemudian menahannya demi menjaga gengsi. Alex tetap terlihat
santai.
“Gini, deh. Si cowok dan cewek saling
chat, dan mention-mention-an di twitter
secara rutin. Itu termasuk intim, nggak?”
“Enggak.”
Felis mendengus ketiga kalinya. “Tapi
menurutku malah intim. Cowok mana yang mau ngabisin waktunya buat bales mention ke cewek yang enggak dia suka?
Itu udah pasti karena dia peduli, makanya dia balas chat dan mention, kan?”
jelasnya tanpa henti.
Alex tertawa terpingkal-pingkal hingga akhirnya
berhenti karena melihat wajah Felis yang memerah. “Sorry, sorry. Abis kamu lucu banget. Dapat pemikiran itu dari mana?”
“Ya ... pemikiranku, lah. Memang begitu,
kan?”
“Dengar ya gadis manis, itu cuma chat, saling mengirim pesan. Kita berteman,
lalu mengobrol. Kayak kita sekarang. Memangnya kalau kamu ajak ngobrol akunya
diam aja? Cowok itu ada nelepon kamu enggak?”
Felis menggeleng muram.
“Nah, berarti dia enggak suka sama
kamu.”
“Tapi dia suka kasih greeting! Met malam ... kadang selamat
pagi. Like status atau foto di
Facebook. Itu kan hal-hal yang manis.” ujar Felis mempertahankan pendapatnya.
Alex mengeluarkan ekspresi datar. “Denger
baik-baik. Kenapa para cewek senang mengait-ngaitkan hal-hal kecil yang
dilakukan cowok lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang, entahlah,
mengada-ngada?”
“Bukan seperti itu juga, sih ...,” jawab
Felis lemah.
“Intinya kalau dia suka, dia bakalan
nelepon dan ajak kamu ngedate.
Titik.”
“Gimana kalau dia malu? Gimana kalau dia
kaku saat berbicara? Mungkin dia sibuk belajar, atau mungkin bokek jadi enggak
ada uang buat traktir aku dating?”
“Omong kosong. Kamu jangan mengisi
pikiran dengan hal-hal seperti itu. Jika mereka cuek, berarti mereka tidak
peduli. Tidak ada alasan.”
Felis langsung diam. Tenggelam dalam
pikirannya. Seolah ditampar oleh kenyataan.
“Memangnya cowok selalu begitu?”
“Selalu seperti itu,” jawab Alex tenang.
Sementara itu, Alex malah merasa sedikit
bersalah melihat Felis kembali murung. Padahal dia sudah berkata jujur dan
membuka pikiran cewek di sampingnya ini. Alex hanya merasa dia perlu mengajarnya
agar tidak menjadi korban pemikiran tololnya sendiri.
Alex lalu mengubah topik, membicarakan
hal-hal yang lucu, kejadian-kejadian yang sedang marak di media sosial. Tapi tidak
dari semua topik itu membuat Felis bersemangat. Setidaknya saat Felis bercerita
soal Anton, sahabatnya, yang kemungkinan gebetan Felis, gadis itu terlihat
ceria. Alex kehilangan ide dan mencoba diam.
Sesekali dia menoleh ke arah Felis yang
kelihatan sendu. Tapi Felis bergeming. Tubuhnya di sini, tapi pikirannya entah
melayang ke mana.
Alex memikirkan sesuatu. “Tunggu di sini
sebentar,” perintahnya ke Felis.
Felis langsung berdiri dan melihat
punggung Alex menghilang dari balik pintu besi di atap gedung ini. Kemudian
Felis kembali merana, mencoba menatap langit tanpa berkedip. Sebanyak-banyaknya
letusan kembang api tidak membuat hati Felis senang juga, tidak bisa
mengalihkan pikirannya dari Anton.
Felis membatin, “Apa Alex tahu kalau
gebetan yang aku maksud si Anton, ya? Kalau dia kasih tahu Anton, gimana? Mati
dong, akunya? Duh.”
Felis menggigit bibir. Dia merutuk kesal
karena terlalu ceroboh dan ceplas-ceplos pada Alex, yang jelas-jelas tidak
akrab dengannya. Biarpun menyebalkan, setidaknya Alex sudah berkata jujur, dia
memberikan opini dari sisi cowok dan setidaknya sudah membuka mata hatinya.
Mendadak Felis menyadari sesuatu. Selama
ini, Felis yang sering menghubungi Anton duluan, belum lagi pesannya juga lama
dibalas, selalu bersikap baik dengan semua temannya di media sosial dan tidak
merasa spesial sedikit pun. Felis menutup mukanya, dan mengerang kesal. Dia
merasa seperti orang bodoh.
Kurang dari lima menit, Alex kembali
dengan dua botol kaleng cola, sekantong popcorn, dan menggenggam puluhan
kembang api.
“Aku batal pulang. Mari kita rayakan old and new di sini saja,” ucap Alex
setelah melihat jam tangan. Dia merasa harus menghibur Felis karena sekarang
wajah cewek di hadapannya kelihatan tambah masam.
“Masih dua menit lagi. Ngomong-ngomong, thanks ya, Lex,” ujar Felis dengan nada
serak saat menerima uluran sebotol minuman dan beberapa kembang api yang belum
disulut. Felis kikuk, dia takut tadi Alex mendengar erangannya.
Alex mengangguk. Tanpa peringatan, dia
melihat sekeliling, seakan sedang mencari sesuatu. Baru saja Felis mau
bertanya, Alex sudah menemukan barang yang dia butuhkan. Alex menancapkan tiga petasan
mirip roket di pot bunga anggrek bulan yang hampir layu dan entah milik siapa.
“Resolusimu di tahun 2014 apa, Lex?”
tanya Felis basa-basi, memecahkan keheningan di antara mereka.
“Enggak ada. Aku cuma menjalani
kehidupanku seperti biasa. Menurutku, kalau mau mengubah atau mengejar impian,
enggak perlu nunggu tahun baru, sih.”
Alex merogoh-rogoh saku celananya dan
mengeluarkan pemantik api. “Kamu mau main kembang api sparkles dulu?”
Felis menggeleng. Alex langsung jongkok
dan membakar sumbu petasan pertama. Beberapa detik kemudian, petasan itu
meluncur pesat dan meledak di udara.
“Ini untuk menghilangkan kegalauan
Felis!” teriak Alex berbarengan dengan letusan kembang api itu. Felis
terperangah. Belum selesai menetralkan rasa terkejutnya, Alex membakar sumbu
kedua dan menengadah lagi.
Kali ini Alex berteriak lagi, “Semoga
Felis menemukan gebetan baruu!”
Felis langsung memukul bahu Alex. Saat
Alex meringis dan menoleh ke arahnya. Felis langsung menyemburkan tawa. Respon
itu sungguh di luar dugaan Alex. Dia senang Felis bisa tertawa selepas itu.
“Norak, ah! Gila deh kamu, Lex!” Felis
masih belum berhenti tertawa dan memegangi perut karena kesakitan.
“Yang ketiga, mau aku yang ucapin atau
kamu aja?” tawar Alex sambil mengulurkan pemantik api.
Tanpa pikir panjang, Felis meraih
pemantik itu dan menyulut petasan ketiga. Buru-buru dia mundur dan dua detik
kemudian, dia berteriak.
“Semoga aku dan Alex bahagiaaa!” pekik
Felis sekencang-kencangnya.
Hati dan pikiran Felis terasa lega
setelah berteriak tadi. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Alex tersenyum
dengan tulus. Alex menghampirinya dan berkata “Thank you” tanpa bersuara.
Mereka berdua menatap langit yang
bertabur jutaan warna. Berharap kembang api bisa menyampaikan keinginan mereka
pada langit, dan juga menjadi alasan bagi mereka untuk menorehkan kenangan manis lalu menyimpannya
dalam kotak bernama memori.
Mereka berdua sama-sama berharap dalam
diam, berharap bahwa semoga untuk ke depannya, semua akan berjalan baik-baik
saja.
Semoga.
6 comments:
keren ceritanya, lanjutkanlah... semoga ada cinta dalam diri mereka berdua :)
Hiyaaa. Kisah mereka berakhir sampai di sini saja. Enggak boleh dilanjut lg.
Keren cerpennya :))
sumpah kereennn :)
Ceritanya bagus tapi aku belum baca hingga akhir, lanjut besok deh. Tulis lagi ya. http://unyukk.blogspot.com
Hahaa wuuu.. Keren kereeeennn >_<
Post a Comment