23 September, 2013

Move On



Felis menarik napas, lalu menghembuskannya dari mulut berulang-ulang. Dia berusaha menetralkan udara di rongga paru-paru supaya tidak terkontaminasi oleh ribuan zat kimia yang dihirup tadi.
“Merokok di dalam ruangan ber-AC. Tolol banget, sih,” omel Felis sendirian.
Mood gadis itu semakin buruk saat dia berdiri di balkon demi mengincar udara bersih. Dia lupa kalau biasanya langit malam di Jakarta berkabut dikarenakan asap kendaraan. Kali ini tebalnya bertambah dua kali lipat diakibatkan kembang api. Jangankan melihat bintang dari lantai 42 di Apartemen Season City, lampu mobil di jalan saja terlihat seperti lampu lima watt, buram.
Old and new di Jakarta memang selalu begini dari tahun ke tahun. Kembang api, petasan, bunyi terompet, suara tawa, pasangan yang jadian, sampai yang putus juga banyak.
“Tahun baru, pakaian baruuu, dan status baruu!” teriak Felis sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi sambil memejamkan mata.
Alih-alih lega, teriakan barusan membuatnya tambah galau.
“Yang barusan diteriakin resolusi baru, ya?”
Felis menoleh ke arah suara yang barusan dia dengar. Dia menurunkan tangannya pelan dan terkejut melihat seorang cowok berselonjor di lantai.
Alex?!! Jerit Felis dalam hati.
Felis mengenal cowok itu dari Facebook dan Twitter. Hanya sebatas itu. Dia tidak menyangka Alex juga diundang ke pesta tahun baru yang digelar Lia.
“Alex ... k-kok ... kamu bisa ada di sini?”
Alex tertawa mendengar pertanyaan aneh tersebut. “Tentu saja karena aku diundang Lia. Aku bukan penyusup.”
“Bukan begitu maksudku!” Sahut Felis cepat.
Dalam hatinya, dia masih bingung. Bagaimana bisa Alex mengenal Lia?
“Duduk sini, deh,” ajak Alex sambil menunjuk ke arah sampingnya dengan dagu.
Felis melirik sekeliling dan tidak mendapatkan seorang pun yang bisa menemaninya, jadi dia memilih menuruti keinginan Alex.
“Enggak empuk di sini,” protes Felis.
“Nikmatin aja, daripada kamu megap-megap di dalam.”
“Kok tahu?”
“Teriakanmu itu bisa kedengaran sampai ke basement, lho.”
Felis menghadiahkan Alex lirikan tajam yang bahkan tidak dipedulikannya.
“Kuliahmu gimana, Lex? Lancar. Denger-denger, kamu mau ambil S1 di Canada, ya?”
“Wah. Tahu dari mana?”
Timeline. Baca percakapanmu dengan ... Anton. Tetanggaku itu. Kenal, kan?”
”Oooh.” Alex membulatkan bibirnya. “Iya. Baru rencana.”
Felis ingin bertanya lebih lanjut atau minimal menyinggung tentang Anton, teman baik Alex, yang saat ini juga sedang bersarang di otak Felis selama berhari-hari tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut Alex menganggapnya kepo, mau tahu urusan orang begitu.
“Kenapa menyendiri di sini, Lex? Anton mana?” Felis celingukan mencari sosok yang dia tanyakan barusan, hanya tidak terlalu kentara.
“Aku datang sendiri. Bentar lagi mau cabut.”
Felis manggut-manggut dan sedikit kecewa, dia baru saja sampai dan berharap bisa menemukan seseorang yang enak diajak ngobrol malah bakalan ditinggal. Apalagi Felis berencana untuk mengorek-ngorek keberadaan Anton yang sudah seminggu ini hilang dari peredaran galaksinya. Dia berharap bisa mendapatkan sedikit informasi dari cowok yang duduk di sampingnya.
“Udah lama kenal sama Anton?” tanya Alex tiba-tiba.
Seakan mendapat pencerahan, buru-buru Felis menjawab, “Iya. Jadi tetanggaan sih udah setahunan. Tapi ya gitu, deh.”
“Gitu apanya?” tanya Alex bingung kemudian menyengir setelah melihat respon Felis yang menunduk malu-malu. Dia lalu melanjutkan pernyataannya. “Status baru yang dijadiin resolusi tadi ditujukan buat Anton, ya?”
Dang! Felis seakan tercekik. Dia menoleh cepat ke arah Alex dengan raut muka syok. Dia tak menyangka Alex bisa secepat itu menebak jalan pikirannya. Cengiran Alex pun makin lebar, lantas dia buru-buru menghapus senyum penuh kemenangannya demi menjaga ‘kehormatan’ Felis.
“Yang tadi itu memang sejenis resolusi, sih. Tapi ketiganya berada di urutan terbawah,” bohong Felis. Dia tidak mau terlihat terlalu menyedihkan di mata cowok itu. Resolusi tahun baru harusnya mengejar impian, bukannya malah meributkan masalah status. Jaim!
Alex mengangguk-angguk. Dia tahu persis Felis menyembunyikan sesuatu kemudian mengusilinya lagi. “Kalau mau ubah status, dimulai dari cari gebetan dulu. Perlu aku kasih tutorial, nggak?”
“Ih. Enggak perlu. Lagi males sama species bernama cowok,” dustanya lagi.
Alex kelihatan tertarik dengan pernyataan yang dilontarkan Felis barusan hingga dia mengubah posisi duduknya, ke arah Felis. “Oh, ya? Tapi tadi, mengubah status ... masuk ke resolusi entah ke berapa, kan? Berarti masih berniat mencari yang baru, dong?”
“Iya, sih. Cuma lagi males aja. Cowok ya gitu-gitu aja, semuanya sama.”
Alex menaikkan sebelah alisnya lalu menyengir. “Tunggu, tunggu. Jadi aku dan Robert Pattinson sebelas-dua belas gitu?”
Felis mendengus lagi. “Bukan gitu. Maksudku, cara berpikirnya. Cara para cowok memperlakukan cewek. Kerjaannya cuma nge-PHP-in cewek doang. Seneng gitu kasih harapan ke cewek.”
Alex mengelus pipi kanannya. “Jadi korban, ya?”
“Enggak gitu juga!” seru Felis. Dia menegakkan posisi duduknya yang tadinya menyandar tembok. “Coba tanya diri kamu sendiri, deh. Kenapa senang ngasih harapan ke cewek yang lagi deket ama kamu?”
“Aku sih enggak pernah kasih harapan ke cewek. I’m just being nice. Emangnya salah? Coba tanya diri kamu sendiri, deh. Apa bukan kalian para cewek yang cuma kege-eran?”
Felis melotot. Dia kelihatan ingin menyembur amarah kemudian menahannya demi menjaga gengsi. Alex tetap terlihat santai.
“Gini, deh. Si cowok dan cewek saling chat, dan mention-mention-an di twitter secara rutin. Itu termasuk intim, nggak?”
“Enggak.”
Felis mendengus ketiga kalinya. “Tapi menurutku malah intim. Cowok mana yang mau ngabisin waktunya buat bales mention ke cewek yang enggak dia suka? Itu udah pasti karena dia peduli, makanya dia balas chat dan mention, kan?” jelasnya tanpa henti.
Alex tertawa terpingkal-pingkal hingga akhirnya berhenti karena melihat wajah Felis yang memerah. “Sorry, sorry. Abis kamu lucu banget. Dapat pemikiran itu dari mana?”
“Ya ... pemikiranku, lah. Memang begitu, kan?”
“Dengar ya gadis manis, itu cuma chat, saling mengirim pesan. Kita berteman, lalu mengobrol. Kayak kita sekarang. Memangnya kalau kamu ajak ngobrol akunya diam aja? Cowok itu ada nelepon kamu enggak?”
Felis menggeleng muram.
“Nah, berarti dia enggak suka sama kamu.”
“Tapi dia suka kasih greeting! Met malam ... kadang selamat pagi. Like status atau foto di Facebook. Itu kan hal-hal yang manis.” ujar Felis mempertahankan pendapatnya.
Alex mengeluarkan ekspresi datar. “Denger baik-baik. Kenapa para cewek senang mengait-ngaitkan hal-hal kecil yang dilakukan cowok lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang, entahlah, mengada-ngada?”
“Bukan seperti itu juga, sih ...,” jawab Felis lemah.
“Intinya kalau dia suka, dia bakalan nelepon dan ajak kamu ngedate. Titik.”
“Gimana kalau dia malu? Gimana kalau dia kaku saat berbicara? Mungkin dia sibuk belajar, atau mungkin bokek jadi enggak ada uang buat traktir aku dating?”
“Omong kosong. Kamu jangan mengisi pikiran dengan hal-hal seperti itu. Jika mereka cuek, berarti mereka tidak peduli. Tidak ada alasan.”
Felis langsung diam. Tenggelam dalam pikirannya. Seolah ditampar oleh kenyataan.
“Memangnya cowok selalu begitu?”
“Selalu seperti itu,” jawab Alex tenang.
Sementara itu, Alex malah merasa sedikit bersalah melihat Felis kembali murung. Padahal dia sudah berkata jujur dan membuka pikiran cewek di sampingnya ini. Alex hanya merasa dia perlu mengajarnya agar tidak menjadi korban pemikiran tololnya sendiri.
Alex lalu mengubah topik, membicarakan hal-hal yang lucu, kejadian-kejadian yang sedang marak di media sosial. Tapi tidak dari semua topik itu membuat Felis bersemangat. Setidaknya saat Felis bercerita soal Anton, sahabatnya, yang kemungkinan gebetan Felis, gadis itu terlihat ceria. Alex kehilangan ide dan mencoba diam.
Sesekali dia menoleh ke arah Felis yang kelihatan sendu. Tapi Felis bergeming. Tubuhnya di sini, tapi pikirannya entah melayang ke mana.
Alex memikirkan sesuatu. “Tunggu di sini sebentar,” perintahnya ke Felis.
Felis langsung berdiri dan melihat punggung Alex menghilang dari balik pintu besi di atap gedung ini. Kemudian Felis kembali merana, mencoba menatap langit tanpa berkedip. Sebanyak-banyaknya letusan kembang api tidak membuat hati Felis senang juga, tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Anton.
Felis membatin, “Apa Alex tahu kalau gebetan yang aku maksud si Anton, ya? Kalau dia kasih tahu Anton, gimana? Mati dong, akunya? Duh.”
Felis menggigit bibir. Dia merutuk kesal karena terlalu ceroboh dan ceplas-ceplos pada Alex, yang jelas-jelas tidak akrab dengannya. Biarpun menyebalkan, setidaknya Alex sudah berkata jujur, dia memberikan opini dari sisi cowok dan setidaknya sudah membuka mata hatinya.
Mendadak Felis menyadari sesuatu. Selama ini, Felis yang sering menghubungi Anton duluan, belum lagi pesannya juga lama dibalas, selalu bersikap baik dengan semua temannya di media sosial dan tidak merasa spesial sedikit pun. Felis menutup mukanya, dan mengerang kesal. Dia merasa seperti orang bodoh.
Kurang dari lima menit, Alex kembali dengan dua botol kaleng cola, sekantong popcorn, dan menggenggam puluhan kembang api.
“Aku batal pulang. Mari kita rayakan old and new di sini saja,” ucap Alex setelah melihat jam tangan. Dia merasa harus menghibur Felis karena sekarang wajah cewek di hadapannya kelihatan tambah masam.
“Masih dua menit lagi. Ngomong-ngomong, thanks ya, Lex,” ujar Felis dengan nada serak saat menerima uluran sebotol minuman dan beberapa kembang api yang belum disulut. Felis kikuk, dia takut tadi Alex mendengar erangannya.
Alex mengangguk. Tanpa peringatan, dia melihat sekeliling, seakan sedang mencari sesuatu. Baru saja Felis mau bertanya, Alex sudah menemukan barang yang dia butuhkan. Alex menancapkan tiga petasan mirip roket di pot bunga anggrek bulan yang hampir layu dan entah milik siapa.
“Resolusimu di tahun 2014 apa, Lex?” tanya Felis basa-basi, memecahkan keheningan di antara mereka.
“Enggak ada. Aku cuma menjalani kehidupanku seperti biasa. Menurutku, kalau mau mengubah atau mengejar impian, enggak perlu nunggu tahun baru, sih.”
Alex merogoh-rogoh saku celananya dan mengeluarkan pemantik api. “Kamu mau main kembang api sparkles dulu?”
Felis menggeleng. Alex langsung jongkok dan membakar sumbu petasan pertama. Beberapa detik kemudian, petasan itu meluncur pesat dan meledak di udara.
“Ini untuk menghilangkan kegalauan Felis!” teriak Alex berbarengan dengan letusan kembang api itu. Felis terperangah. Belum selesai menetralkan rasa terkejutnya, Alex membakar sumbu kedua dan menengadah lagi.
Kali ini Alex berteriak lagi, “Semoga Felis menemukan gebetan baruu!”
Felis langsung memukul bahu Alex. Saat Alex meringis dan menoleh ke arahnya. Felis langsung menyemburkan tawa. Respon itu sungguh di luar dugaan Alex. Dia senang Felis bisa tertawa selepas itu.
“Norak, ah! Gila deh kamu, Lex!” Felis masih belum berhenti tertawa dan memegangi perut karena kesakitan.
“Yang ketiga, mau aku yang ucapin atau kamu aja?” tawar Alex sambil mengulurkan pemantik api.
Tanpa pikir panjang, Felis meraih pemantik itu dan menyulut petasan ketiga. Buru-buru dia mundur dan dua detik kemudian, dia berteriak.
“Semoga aku dan Alex bahagiaaa!” pekik Felis sekencang-kencangnya.
Hati dan pikiran Felis terasa lega setelah berteriak tadi. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Alex tersenyum dengan tulus. Alex menghampirinya dan berkata “Thank you” tanpa bersuara.
Mereka berdua menatap langit yang bertabur jutaan warna. Berharap kembang api bisa menyampaikan keinginan mereka pada langit, dan juga menjadi alasan bagi mereka  untuk menorehkan kenangan manis lalu menyimpannya dalam kotak bernama memori.
Mereka berdua sama-sama berharap dalam diam, berharap bahwa semoga untuk ke depannya, semua akan berjalan baik-baik saja.
Semoga.
FIN





6 comments:

RD. Rengganis said...

keren ceritanya, lanjutkanlah... semoga ada cinta dalam diri mereka berdua :)

Lia Chan said...

Hiyaaa. Kisah mereka berakhir sampai di sini saja. Enggak boleh dilanjut lg.

Kevin Anggara said...

Keren cerpennya :))

auliza said...

sumpah kereennn :)

Unknown said...

Ceritanya bagus tapi aku belum baca hingga akhir, lanjut besok deh. Tulis lagi ya. http://unyukk.blogspot.com

Unknown said...

Hahaa wuuu.. Keren kereeeennn >_<