Dear Pacar,
Aku tak pernah menyukai suasana di bandara, sama
seperti rumah sakit. Ada kesedihan terlampau perih untuk terungkapkan, ada
kebahagiaan tak terhingga sampai tak mampu berkata-kata.
Ya, benar. Bandara dan rumah sakit sama-sama
membuat mata orang berkaca-kaca.
Ada bau perpisahan mencekam antara suami dan
istri, ada suara tawa anak-anak yang ingin berlibur, ada suara teriakan dari para sopir
taksi yang menawarkan jasa, ada isak tangis sang nenek berpisah dari cucu, ada
pelukan erat sepasang kekasih seakan tak ingin berpisah namun harus, ada
tatapan kosong dari seorang kakek yang sedang menunggu.
Ada banyak kisah, termasuk diriku yang tertawa
palsu saat mengantarmu sampai gerbang keberangkatan. Ciuman yang tak ingin
kuterima lantaran kau seakan menyogokku supaya aku tak marah karena
meninggalkanku sendiri.
Pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya aku
melihat punggungmu?
Ya, aku jadi harus menahan tangis
sejadi-jadinya, mengepalkan kedua tangan di dalam jaket, menutup mulutku rapat,
mengatupkan rahang sekuat mungkin, berkedip berkali-kali supaya air mata tak
jadi luruh, dan memaksakan diri bernapas panjang berulang-ulang.
Pergilah , Sayang. Pergilah untuk kembali.
Mari berpisah untuk
bertemu lagi.
Aku akan menunggumu di sini, dan kumohon kelak
genggam aku selalu agar bisa bersamamu. Kemanapun kau pergi, bawa aku, supaya aku
tak perlu berjauhan se-inchi pun denganmu.
Aku akan menunggumu di
sini, dan tak akan pergi kemanapun supaya kau dapat menemukanku secepat
mungkin.
Aku akan menunggumu di
sini, dan kutandai hari-hari dimana kau tidak di sampingku, dan menagihmu
dengan bayaran pelukan sepanjang hari.
Berjanjilah kau akan
pulang dengan selamat dan bahagia, serta ingin melepas rindu yang membuncah
selama kau tak melihatku.
Baiklah, sampai di
sini saja suratku, karena aku akan segera tidur dan memimpikanmu.
Salam buat orangtua
dan keluargamu.
Dari Lia yang
ditinggal mudik selama lima hari. xoxo
No comments:
Post a Comment