Aku berdiri
mematung, bersandar di meja kerja, memandang punggung kedua orangtuaku yang
keluar dari ruangan. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana mungkin setelah empat
belas tahun berpisah, kini kami bertemu kembali?
Apa ini yang
disebut takdir? Ah, entahlah.
Membantah rindu
juga percuma, karena memang ini yang kurencanakan dari awal. Pemilihan hari grand
opening Mouse Rabbit Coffee dan promo gratis untuk para pengunjung. Siapa lagi kalau
bukan untuk Im Hyunah yang tengah berdiri di hadapanku, sekarang.
“Apa kabar?”
Kudengar sapaan ragu Hyunah memecah hening di antara kami.
Aku tak langsung
menjawab, butuh waktu sepersekian detik untuk menetralkan degup jantungku yang
berpacu maraton. Sial, perasaan ini muncul lagi, persis seperti
ketika aku menyadari perasaanku padanya dulu.
“Sangat baik!
Bagaimana denganmu?” balasku sembari menyunggingkan senyum terbaik, menyamarkan
rasa gelisah.
“Baik,” jawabnya
singkat, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi ruangan.
Sunyi
menyelinap di antara kami. Belum pernah aku sekikuk ini ketika menghadapi
seorang gadis. Biasanya dengan lancar aku akan memulai
pembicaraan dan bercanda. Ya, mungkin ini karena kami sudah lama tak bertemu,
kecanggungan sudah pasti tak terelakkan.
Nada
dering ponsel milik Hyunah menolong situasi tak nyaman ini. Ia mengeluarkan
ponsel dari tas selempang lalu membacanya cepat. Ekspresi datar menghiasi
wajahnya. Ia kelihatan tidak berniat membalas pesan singkat itu, tidak terlalu
penting mungkin. Hyunah meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja, di
samping tasnya. Aku berdeham palsu untuk menarik perhatian Hyunah. Benar saja,
gadis itu mengangkat sedikit kepalanya, memandangku.
“Selamat
ulang tahun,” ujarku dengan nada ceria, berusaha rileks namun gagal. Apa
wajahku terlihat kaku? Kenapa Hyunah malah mengerutkan dahi?
Ah, mungkin ia tidak menyangka bahwa aku masih mengingat ulang tahunnya. Tiba-tiba
benakku melayang ke masa ulang tahunnya yang ke tiga belas.
Sungguh, aku merindukan masa-masa itu. Ketika perasaan kami masih polos, tidak
ternoda dan seputih kapas.
“Ah...
iya, terima kasih,” balasnya singkat seraya menebar senyum sungkan. “Selamat
atas pembukaan kafe barumu.”
“Iya.
Aku tidak menyangka kau akan datang.” Aku terdiam sejenak, lalu
tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, bodoh sekali aku! Kau bahkan belum
menerima pesananmu, ya?! Sebentar, akan kuambilkan untukmu.”
“Tidak.
Tidak perlu!” tolak Hyunah. “Aku masih ada keperluan lain. Aku pergi dulu,”
pamitnya seraya bangkit dari sofa dan menyambar tas dari meja.
Mataku melebar,
terkesiap tak percaya ketika melihat Hyunah pergi begitu saja. Padahal masih
banyak yang ingin kubicarakan padanya. Mungkin aku tidak tahu hendak berbicara
apa, tapi bagiku itu tidak masalah asalkan bisa mendengar suaranya.
Tiba-tiba
saja pandanganku teralihkan pada benda yang berbentuk persegi panjang
berwarna putih, tergeletak manis di atas meja. Aku terkekeh, rasa senang
membuncah di dada. Walaupun tak sempat menanyakan alamat atau pun nomor
kontaknya, ternyata Tuhan memberiku jalan lain untuk kembali menjalin hubungan
dengannya.
Perlahan, kudekati
meja pendek itu dan duduk di sofa - tempat yang diduduki Hyunah - lalu meraih
ponsel touch screen milik gadis itu.
“Kita pasti akan
bertemu lagi, Hyunah.”
***
“Hah!
Capek sekali!” seru Jongjin kemudian membanting tubuhnya ke ranjangku
semena-mena.
Aku mendelik. “Apa
yang kau
lakukan di sini? Kalau mau beristirahat jangan di
kamarku.”
Dengan gerak
refleks, Jongjin bangkit dari kasur lalu menghampiriku yang sedang berdiri
menghadap jendela. Ia menyengir
sembari menatap curiga. Meneliti setiap jengkal wajahku. Dimajukannya wajah tembamnya itu
hingga menyisakan jarak kira-kira sepuluh senti. Ia seakan mendengus bau keganjilan pada diriku. Sepertinya aku tahu apa yang akan dibicarakannya.
“Hyeong, apa benar dia
gadis yang pernah kau ceritakan itu?” tanya Jongjin penasaran.
“Apa maksudmu?” tanyaku, pura-pura tak mengerti.
“Kau jangan pura-pura. Eomma bilang, gadis bernama Hyunah itu
adalah tetangga kita di Cheonan dan teman masa kecilmu. Apa dia Noona yang biasa bersamamu ke
rumah pohon itu?” tanya Jongjin lagi.
“Iya,” jawabku
seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana trainingku. Tanpa menoleh.
“Benarkah? Huah! Aku tak menyangka, Noona
menjadi secantik itu!” seru Jongjin sambil mengalungkan lengannya ke pundakku. Aku
hanya diam, berpura-pura bahwa embun yang melekat di jendelaku lebih menarik
daripada ocehannya.
"Jadi... Apa kau berencana mendekatinya?” Kini aku benar-benar menoleh ke JongJin yang sedang
menyengir lengkap dengan ekspresi aegyo-nya.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam otaknya sekarang.
Hanya dengan satu
gerakan memutar, aku melepaskan lengan Jongjin.
“Gila kau.” Sialnya, ucapan dan tingkahku tidak sinkron. Aku yakin, Jongjin langsung menangkap gelagatku yang kikuk.
“Hahaha. Aku curiga, jangan-jangan
pemilihan tanggal grand opening dan
promo ini ada hubungannya dengan gadis itu!” tuduh Jongjin sembari
menyunggingkan senyum miringnya.
Aku mendengus. “Bukankah pemilihan tanggal opening ini adalah kesepakatan kita
bersama? Kenapa kau malah mencurigaiku?”
“Bukan begitu. Seingatku, kau sangat antusias ketika mengajukan tanggal ini. Padahal waktu itu kupikir akan lebih keren jika kita buka pada tanggal 12 desember,”
serang Jongjin, lengkap
dengan tatapan meneror.
“Ah! Sudahlah... Untuk apa aku
menjelaskan terlalu detil
padamu,” elakku.
Kulirik sekilas Jongjin yang merenggut tak puas. Aku
yakin, anak itu akan tertawa penuh kemenangan jika ia tahu hal yang
sebenarnya. Jadi,
lebih baik menghindari anak jail itu jika tak ingin menjadi bulan-bulanannya.
“Hyeong! Kau tahu, kau tidak bisa berbohong dariku!” seru Jongjin sambil
tertawa.
Aku berusaha tidak mengacuhkannya dan berjalan
santai ke arah kamar mandi. Astaga, apa aku begitu mudah ditebak? Apa mungkin perasaan ini masih ada setelah semua yang
pernah ia lakukan padaku?
***
Kukeringkan rambutku yang basah dengan handuk sambil
berjalan menuju ruang makan. Wangi kimchi
jjigae, makanan favoritku, mulai menyusup ke hidung. Sudah lama rasanya tidak mencicipi makanan itu. Sepertinya aku harus batal diet hari ini. Masakan ibu
terlalu menggugah selera.
Terlihat ibu sedang menata meja makan dengan senyum
merekah menghiasi wajahnya, karena kami jarang sekali berkumpul seperti ini. Salahkan
pekerjaanku sebagai selebriti yang menyita waktu. Makanya - sebisa mungkin -
setiap ada libur, aku menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Ayah sudah duduk
di meja makan dengan tenang, menanti Jongjin dan aku duduk bersamanya.
“Jongwoon-a, usiamu sudah mendekati tiga puluh...,” kata
ibu di sela
makan kami sambil menyumpitkan sepotong daging kecap lalu meletakkannya di
mangkuk nasiku. Tanganku yang terulur langsung berhenti ketika mendengar
kalimat ibu.
“Ne...,”
“... kurasa, sebaiknya kau mulai mencari pasangan hidup,” lanjutnya sembari melirik ke arah ayah.
Ayah mengangguk kecil sambil memasukkan sesumpit nasi ke
mulutnya.
“Apa perlu Abeoji memperkenalkan anak temanku?" tawar ayah sembari melirikku.
Aku terkekeh. "Eomma,
Abeoji... Kalian tidak perlu repot-repot menjodohkanku. Di luar
sana, ada ribuan gadis cantik yang sedang menunggu anakmu ini,” jawabku ringan seraya menyengir.
Ibu memukul
kepalaku. Tidak sakit, karena aku tahu itu semacam tanda sayang darinya. “Cara
pikirmu harus diubah. Atau... jangan-jangan kau sudah mempunyai pilihanmu?” tanya ibu.
“Ada! Ada! Hyeong sudah punya pilihannya!” seru Jongjin penuh semangat.
Aku tersedak. Buru-buru Jongjin menyodorkan segelas air, yang dengan cepat kuteguk hingga habis.
“Siapa?” tanya ayah pada Jongjin.
“Abeoji, jangan dengar perkataannya.
Jongjin, lebih baik kau diam sebelum sumpit ini tertancap di keningmu!”
Jongjin menyunggingkan senyum miringnya kemudian
melirikku sekilas. Kupelototi anak itu, namun sialnya ia
tak menggubris.
Jongjin memajukan tubuhnya mendekati ibu dan ayah lalu berbisik keras, sengaja
agar aku mendengarnya. “Kurasa pemilihan hari grand opening dan promo gratis untuk yang berulang tahun adalah
cara Hyeong menemukan
pasangannya."
Entah kenapa
tiba-tiba suhu di ruangan ini berubah panas. Tahu-tahu saja ayah,
ibu dan Jongjin melirikku penuh arti.
"Jadi...," kata mereka kompak, menggodaku.
“Whoa,
Eomma. Bolehkah aku menghabiskannya?
Makanan ini enak sekali!” seruku, berusaha mengalihkan pembicaraan sambil
menyumpit nasi dan kimchi jjigae bersamaan tanpa memandang ke arah mereka. Aku yakin tiga pasang
mata itu masih belum melepaskan pandangannya dariku. Menuntut jawaban lebih.
“Waeyo?” teriakku frustrasi.
“Mengakulah, Hyeong!”
Aishh... jinjja! omelku dalam hati. “Sungguh. Hari ini bertemu Hyunah hanya kebetulan semata!” semburku cepat, nyaris
memuncratkan semua isi makanan di mulutku. Kusesali respon yang terlalu berlebihan.
“Sudahlah... Benar atau tidaknya, hanya Hyeong-mu yang tahu,” kata ibu,
menyelamatkan suasana. Setidaknya aku tak terus dihimpit godaan meresahkan itu.
“Tapi, jika itu benar... Jongwoon-a, Eomma
pasti akan sangat bahagia.”
“Eommaaa!” rengekku. Mereka langsung tergelak melihat ekspresi
gugupku. Walau aku senang
dengan dekatnya hubungan di antara kami, tetapi untuk urusan seperti ini,
rasanya jadi aneh jika membicarakannya secara terang-terangan, apalagi digoda
seperti ini.
***
Kantuk
sudah menyerangku sejak satu jam yang lalu, tapi mata ini susah sekali diajak
bekerja sama. Akhirnya, dari tadi aku hanya bisa berguling-guling di atas kasur
dan bermain dengan Kkoming - anjing pomeranian hitam - kesayanganku. Pikiranku
menerawang ke kejadian tadi siang, dan berbagai spekulasi muncul dalam otakku.
“Kkoming-a, menurutmu mengapa tadi siang ia
begitu terburu-buru meninggalkan kafe? Apa ia sedang ada urusan penting? Atau menghindariku? Kira-kira, apa yang
sedang dilakukan gadis itu sekarang, ya? Apa kau bisa menerawang, Kkoming?”
Kkoming diam.
“Tidak tahu? Kau
payah. Aku rasa ia sudah tidur sekarang, atau mungkin... ia sedang kencan? Apa mungkin
selarut ini ia masih berkencan? Ngomong-ngomong, menurutmu apa sudah ada orang lain yang sudah menetap di hatinya?”
Kkoming
menggonggong sekali, sebelum akhirnya menjulurkan lidah.
Bibirku tersenyum begitu saja ketika teringat sesuatu. Aku beranjak dari
tempat tidur dan meraih sesuatu dari dalam laci meja. Menenteng ponsel yang
tanpa sengaja ditinggalkan oleh gadis itu di kafe tadi. Kutatap benda mati itu
sepuas-puasnya. Ada sekelumit hasrat, sejumput harapan bahwa Hyun ah masih sendiri dan
merindukanku. Hyunah-ya... pernahkah kau
merindukanku?
Tiba-tiba
terbersit dalam pikiranku untuk melihat isi ponsel Hyunah. Bahkan sebelum
membukanya saja, aku geli membayangkan isi dalamnya. Pasti akan ada beribu-ribu foto selca
di foldernya. Seingatku, Hyunah
senang difoto. Kebiasaannya
yang kini malah tertular padaku. Tunggu... bisa jadi di dalamnya
ada foto mesra Hyunah bersama si pacar. Siapkah mentalku untuk menerima segala
konsekuensi ini? Tapi aku penasaran sekali! Membaca smsnya kurasa tak apa.
Bukankah biasa
aku juga diam-diam membuka ponsel Siwon, Donghae dan
yang lainnya? Yah
walau dengan konsekuensi diomeli karena sudah melanggar
privasi seseorang.
Tapi,
bagaimana kalau Hyunah tahu dan ia marah besar? Tidak, tidak, tidak. Aku belum
siap untuk yang ini. Kami baru saja bertemu, dan aku tidak mau memulai hubungan
ini dengan pertengkaran. Image-ku bisa hancur. Tapi Jongwoon... kata hatiku yang lain lagi, Hyunah tidak akan pernah tahu kau membaca
isi ponselnya selama kau tidak melapornya. Kau kan pintar berakting!
Aku menoleh ke Kkoming yang menyalak keras. Ia terlihat marah, seakan bisa
membaca pikiran dan melarangku untuk membuka ponsel Hyunah. Kugelengkan
kepalaku dengan keras.
“Tenang saja, Kkoming. Oppa tahu gadis ini berbeda dari yang
lainnya. Makanya Oppa mengurungkan
niat membuka ponselnya. Tahukah kau bahwa ia termasuk gadis yang tempramental?”
Kkoming menyalak lagi. “Ya... itu dulu sih, sekarang ia terlihat lebih tenang
dan kalem, tidak berandalan seperti dulu, yang senang memanjat pohon dan lomba
lari denganku. Monyet manis, julukanku untuknya.” Kkoming menyalak berkali-kali, menimbulkan suara berisik.
“Kau marah? Cemburu, ya? Bukankah
sudah kubilang kalau kau tetap gadisku satu-satunya?” Kucium hidung Kkoming
yang basah, ekornya bergoyang. Ia senang bila aku menciumnya.
Sudahlah,
aku menyerah. Mungkin ada baiknya untuk tidak bertingkah menyebalkan sementara
ini. Hanya yang menjadi pikiranku sekarang adalah bagaimana cara
mengembalikannya? Atau ada baiknya menunggu Hyun ah menghubungi ponsel ini saja? Ia tidak
mungkin lupa dengan ponselnya sendiri, kan? Karena kulihat, ponselnya masih
hidup, tidak kehabisan baterai, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Apa ia tidak punya teman yang menghubunginya?
“Hah...
kenapa aku harus bertemu denganmu lagi?” gumamku pelan seraya menggosok
punggung Kkoming yang hampir terlelap.
- To Be Continue -
Vincentia Natalia
3 comments:
cihaaaaaaa~ ceritanya semakin bikin penasaran~ ada apa dengan mereka berdua? XD~ lanjut ya eon :p
hahaha... sip sip. Part berikutnya akan segera dipost...
Follow @lia_neyh dan @delafh3424 buat tahu kabarnya ^^
sipp dehhh :D~ Hwaiting!! XD
Post a Comment