20 November, 2012

Dear You #1

Aku menekan tombol hijau di ponselku dengan malas kemudian menempelkannya ke telinga.
Jagiya, saengil chukhae!” seru suara di seberang sana.
Kusunggingkan senyum kecil saat mendengar suaranya. Tetapi ketika mengingat dirinya yang tak di sisiku, aku kembali menarik kedua sudut bibir ke posisi semula.
“Terima kasih,” jawabku datar, sengaja membiarkannya tahu bahwa aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk menerima telepon darinya. Apa dia tidak mengerti bahwa di hari ulang tahun, aku menginginkannya di sisiku, bersamaku merayakan hari istimewa ini?
“Kau kenapa?” tanyanya heran. “Jagiya, maafkan aku karena tidak bisa merayakan ulang tahunmu di Seoul. Proyek di Busan tidak bisa ditunda.”
“Iya. Kau memang selalu ada urusan di Busan setiap kali aku ulang tahun!” sahutku ketus.
Pria itu menghela napas. “Bukan begitu. Kuharap kau mengerti. Aku bekerja keras sekarang juga untuk masa depan kita. Benar kan? Apa kau tidak ingin menikah denganku?” rayunya.
“Iya… Iya…,” jawabku malas. “Kututup ya. Aku ada janji dengan Minah.”
“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik ya. Aku mencintaimu,” katanya lembut sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon.
Selalu saja begini! Kekasihku, Changsun, selalu memiliki berjuta alasan untuk tidak berada bersamaku, di hari ulang tahunku. Aku tidak tahu, apa memang benar proyeknya harus ditinjau TEPAT di hari ulang tahunku atau bukan. Yang kutahu, selama lima tahun menjalin hubungan, sudah tiga kali ia tidak dapat merayakannya bersamaku. Mungkin terdengar kekanak-kanakan karena di usia ke dua puluh sembilan, aku masih mengharapkan perayaan ulang tahun. Tetapi perubahan sikap Changsun yang belakang menjadi sangat manis jika berada di Seoul dan makin intensnya jadwal kerja di Busan membuatku curiga. Apakah ia tidak mengerti kalau aku sengaja kembali ke Seoul demi dirinya?
“Kurasa kau harus waspada. Bisa saja Changsun ternyata memiliki kekasih lain di Busan,” kata Minah, sahabatku, beberapa hari yang lalu saat kuceritakan padanya tahun ini Changsun tidak bisa merayakan ulang tahunku lagi.
Aku segera menggelengkan kepala. Changsun tidak mungkin mengkhianatiku. Aku harus memercayainya. Yah, aku tidak boleh banyak menuntut seperti ketika masih remaja.
*
“Astaga! Kenapa malah ke tempat begini?!” pekikku frustrasi ketika tiba di depan sebuah café bernama Mouse Rabbit Coffee, yang dikerumuni puluhan – atau mungkin ratusan – gadis remaja.
Aku segera mendelik kesal ke arah Minah. Seharusnya ia tahu aku tidak suka dengan keramaian, kecuali–
“Hari ini grand opening Mouse Rabbit Coffee. Kudengar dari adikku, pemiliknya memberikan promo gratis khusus untuk yang berulang tahun di hari ini! Kau pasti suka kan?” jawab Minah sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Mataku membesar. Berbinar. Harus kuakui, Minah memang sahabat yang paling mengerti aku.
Namun, kukerutkan dahi saat menyadari keanehan lain. “Apa semua orang-orang ini berulang tahun hari ini?” tanyaku polos sembari mengedarkan pandangan pada puluhan gadis yang rela mengantri di cuaca dingin begini.
Minah berdecak sebal sambil menggelengkan kepalanya. “Kau ini! Kita mungkin sudah tidak dalam usia mengidolakan artis, tapi apa kau tidak tahu kalau pemilik café ini adalah Yesung Super Junior?”
Aku menggeleng pelan. “Pantas saja seheboh ini!”
Minah melirikku sembari menyunggingkan senyum miringnya. “Jadi? Apa kau akan menyerah?”
“Tentu saja tidak! Demi promo GRATIS, akan kukalahkan puluhan gadis remaja itu!” seruku seraya menyingsingkan kedua lengan mantelku. Dan dingin segera merayapi kulit. Dengan cepat kuturunkan lengan mantelku lagi dan menyengir ke arah Minah.
“Kau bawa kartu identitasmu kan?”
Aku mengangguk semangat. “Tenang saja, akan kutraktir pesananmu.”
Minah memekik girang. “Sudah kutahu, mengajakmu ke sini adalah ide brilian! Hahaha.”
Tak memedulikan lirikan bingung gadis-gadis remaja di depan kami, aku dan Minah ikut mengantri. Mungkin mereka berpikir, mengapa ada para-calon-Ajumma ikut mengekor mereka.
Seperti yang sangat dipahami Minah, aku memang tipe orang yang sangat perhitungan. Walau saat ini pekerjaanku sebagai customer service di sebuah bank swasta memberikan gaji yang lumayan, tetapi selalu ada kepuasan tersendiri jika aku berhasil membeli sesuatu yang didiskon besar-besaran, apalagi promo gratis seperti ini. Bahkan blog tempat aku menceritakan kepuasanku setiap kali berhasil berburu produk promo dengan harga super miring, sangat ramai pengunjung.
Kulirik arloji di tangan kiriku kemudian bersorak gembira. Lima menit lagi! Katanya pukul sebelas, pintu akan segera dibuka. Aku sungguh tidak sabar menikmati menu yang ditawarkan café ini, apalagi dengan bonus bertemu Yesung Super Junior.
Ah! Walau aku tidak tahu yang mana member Super Junior yang bernama Yesung – karena jumlah member boyband tersebut menyaingi tim sepak bola – tapi aku yakin, ia pasti sangat tampan! Dan akan menjadi postingan yang keren di blog jika aku dapat berfoto dengan salah satu member boyband terkenal negeri ini.
Sungguh tidak sabar!
Tiba-tiba Minah menarik lengan mantelku cepat-cepat, mengalihkan fokusku pada layar ponsel yang sedang membaca komentar pengunjung blogku.
“Pintunya dibuka!” seru Minah.
Mataku segera berbinar.
“Selamat datang di Mouse Rabbit Café!” sapa seorang pria dengan wajah yang sangat cute.
“Apa dia yang namanya Yesung?” tanyaku pada Minah.
Minah yang juga tidak menghafal member Super Junior segera melirik ponselnya. “Bukan. Dia Jongjin, adik Yesung,” jawab Minah sembari memperlihatkan foto pria bernama Jongjin yang dikirim adiknya lengkap dengan keterangan namanya. Dahiku berkerut saat mendengar nama Jongjin, nama yang tidak asing. “Lalu ini yang namanya Yesung.” Minah menggeser layar touch screen ponselnya.
Tampan dan cute. Itu dua kata pertama yang muncul di benakku saat melihat foto member Super Junior yang bernama Yesung itu. Tetapi… tunggu… mengapa aku sepertinya tidak asing dengan wajahnya ya? Apa aku pernah bertemu dengannya? Kapan? Di mana?
Aku berusaha mengingat, tetapi tidak mendapatkan petunjuk sama sekali.
Bodoh! Tentu saja wajahnya tidak asing! Aku kan pernah melihat poster besar Super Junior di iklan produk SPAO!
“Seperti janji kami, Mouse Rabbit akan memberikan promo gratis untuk yang berulang tahun di hari ini dengan menunjukkan kartu identitas,” kata Jongjin sembari menebar senyum manisnya, membuat para gadis remaja di depan dan belakangku segera menjerit histeris. Tak ingin ketinggalan, aku langsung merogoh tas slempangku, dan mengeluarkan kartu identitas dari dompet – memastikan kartu penting ini siap untuk memberiku hidangan gratis.
“Di hari spesial ini, Yesung Hyeong akan memberikan layanan secara langsung untuk pengunjung yang berulang tahun,” jelas Jongjin yang langsung membuat semua gadis di sekitarku berteriak makin histeris. Beberapa terlihat nyaris menangis, kurasa karena tidak berulang tahun di hari ini.
Oh! Aku termasuk orang yang beruntung!
“Sudah menyiapkan kartu identitas kalian?” tanya Jongjin.
Ne!” jawab kami – yang berulang tahun – penuh semangat.
“Silakan membuat baris baru di sebelah sini,” katanya sambil menunjuk ke arah kiri barisan.
Dengan cepat, aku dan sekitar belasan gadis remaja membentuk baris baru. Hm, cukup baik, aku berada di baris ke tujuh dari depan – meninggalkan Minah yang masih di baris belakang.
Kutekan dada kiri ketika tiba-tiba merasakan detaknya berpacu tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aneh! Ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan promo harga miring – bahkan gratis – juga bukan merupakan fans dari Yesung. Bagiku, sangat aneh menjerit histeris hanya karena melihat seseorang-yang-kebetulan-dianugerahi-suara-bagus-dan-menjadi-penyanyi. Karena menurutku, setiap orang adalah istimewa, baik itu artis mau pun orang biasa seperti kami.
Tapi mengapa jantungku berdebar tak keruan begini? Rasanya seperti remaja yang baru menemukan cinta. Ah, sudah berapa lama aku tidak merasakan debaran ini. Rutinitas bersama Changsun, apalagi dengan masa pacaran yang telah menginjak lima tahun membuat kami telah terbiasa satu sama lain.
Sembari menanti giliran, kuedarkan pandangan ke sekeliling café. Hm, desain interior yang bernuansa putih, lengkap dengan berbagai pose Yesung – yang memang menjadi daya tarik café ini – yang ditempel di hampir setiap sudut ruangan. Mereka yang tidak sedang berulang tahun, berbaris rapi di counter sebelah, dengan Jongjin yang melayani.
Ketika mataku menemukan pria bernama Yesung tengah berdiri di depan counter, bersiap menerima pesanan, jantungku berlompat semakin cepat. Astaga, apa aku mulai tertular virus para gadis remaja itu?
“Mau pesan apa?” tanya Yesung saat akhirnya giliranku tiba. Ia masih sibuk dengan komputer di depannya, terlihat bingung – mungkin belum terbiasa dengan sistem komputernya.
“Hm, cappuccino, waffle dan sandwich masing-masing satu.”
Yesung mengangkat kepalanya, menatap manik mataku. Entah hanya perasaanku atau bukan, kurasa ia sedikit terkejut melihatku. Apa ia tidak menyangka ada wanita berusia nyaris tiga puluh masih ikut mengantri bersama para remaja demi bertemu idola atau mungkin makanan gratis?
Seperti berhasil mengendalikan keterkejutannya, Yesung menebar senyum ramah yang seketika membuat dadaku berdesir aneh. Senyuman itu… terasa  begitu menenangkan. Rasanya tidak asing.
“Baiklah. Akan segera disiapkan,” katanya sembari kembali berfokus pada komputer di depannya.
“Jongwoon-a, apa para orangtua member lainnya sudah datang?” tanya seseorang, membuatku melirik ke sumber suara.
Mataku segera membelalak ketika melihat wanita paruh baya dengan rambut pendek bergelombang, mengenakan celemek berwarna biru muda, muncul dari balik punggung Yesung. Debaran yang sedari tadi berdegup kencang, rasanya nyaris berhenti berdetak ketika melihat wajah wanita itu. Aku mengenalnya. Terlebih, nama Jongwoon…
“Belum, Eomma,” jawab Yesung – ah, Jongwoon – sopan. Tetapi ibunya tidak merespon. Matanya telah menangkapku sebelum aku sempat mengalihkan pandangan.
Aku membeku di depan counter pemesanan itu. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Hyunah? Im Hyunah, benar kan?” seru ibunya dengan mata berbinar sembari menepuk tangannya satu kali.
Aku mengangguk dengan sebentuk senyum canggung menghiasi wajahku. “Kau tidak mengenali Hyunah?” tanyanya pada Jongwoon. Pria itu segera memberi kode pada ibunya, mungkin meminta ibunya untuk tidak membahas hal ini di depan fansnya.
“Kemari… kemari…,” kata ibu Jongwoon sembari melambaikan tangan dan membuka pintu pembatas counter, memintaku untuk masuk.
Dengan canggung, aku berjalan masuk ke area counter dan mengikuti ibu Jongwoon berjalan melewati dapur menuju ruang duduk, sementara Jongwoon tetap melayani pelanggan lain. Aku tentu tidak dapat menolak tawaran wanita itu. Karena, tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya. Dan mungkin hanya perasaanku saja, rasanya punggungku memanas akibat tatapan tajam penggemar Jongwoon.
Sekujur tubuhku kaku ketika ibunya mempertemukanku dengan suaminya – ayah Jongwoon – yang tadi sedang di dapur mengawasi pekerjaan anak buahnya, dan menyusul ke ruang duduk. Dengan cepat ayah Jongwoon mengenaliku dan merangkul bahuku dengan sayang. Sejak kecil, aku memang sangat dekat dengan keluarga ini. Aku tidak tahu, ternyata waktu empat belas tahun tidak membuat mereka melupakanku.
Abeonim, Eommonim, apa kabar?” tanyaku sembari menyunggingkan sebentuk senyum.
“Baik! Baik! Di mana orangtuamu sekarang?” tanya ayah Jong Woon.
Appa dan Eomma sekarang di Jepang. Kebetulan Appa ditugaskan di sana. Aku pun baru satu tahun ini kembali ke Seoul,” jawabku cepat. Ayah dan ibu Jongwoon langsung mengangguk-angguk.
“Jadi kau tinggal bersama siapa di sini?” tanya ibunya.
“Aku dan sahabatku, Minah, menyewa apartemen bersama. Oh ya, aku tidak menyangka ternyata Jongjin sudah dewasa sekarang. Aku bahkan tidak mengenalinya tadi.”
“Benarkah? Ah! Jangankan Jongjin, kenapa kau bahkan tidak mengenali Jongwoon?” tanya ibunya lagi.
Aku menggigit bibir. Mendengar nama Jongwoon menimbulkan desiran aneh di dadaku. Sesuatu yang membuat rasa rindu dan perih bercampur menjadi satu. Sebuah kenangan manis yang ingin kukubur dalam-dalam.
Jujur saja, aku pangling dengan penampilannya sekarang. Ia banyak berubah. Mungkin karena dandanan, gaya rambut, atau entahlah… yang kuingat hanya senyum pria itu yang tidak pernah berubah. Nama Yesung membuatku tidak menaruh curiga padanya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa aku akan bertemu dengannya lagi.
“Nama Yesung dan penampilannya yang sangat berbeda membuatku tak mengenalinya,” jelasku sembari menundukkan sedikit kepala.
Ibu Jongwoon mengangguk kecil. “Untung saja aku masih mengenalimu. Hahaha. Mata besar dan belahan dagumu adalah petunjuknya. Kau tidak berubah banyak, Hyunah! Eommonim sangat senang bisa bertemu denganmu lagi!”
Aku tersenyum canggung.
Eomma…,” panggil Jongwoon yang ternyata menyusul masuk ke ruang istirahat.
Spontan, kami menoleh ke arah sumber suara. Napasku kemudian tercekat ketika melihat pria itu berjalan mendekati kami. Kurasa, udara di sekitarku menyempit drastis. Jantungku melonjak panik saat Jongwoon menatapku dalam, kemudian tersenyum canggung.
“Ehm… Yeobo, kurasa di luar sangat ramai. Lebih baik kita membantu Jongjin,” kata ayah Jongwoon sembari berdehem palsu kemudian memberi kode pada istrinya untuk segera menyingkir dari ruang istirahat.
Kakiku nyaris tak mampu menopang tubuhku ketika ayah dan ibu Jongwoon meninggalkan ruangan. Menyisakan aku dan Jongwoon.
- To Be Continue -
Delia Angela 
 
 
----------------------------------------------------
 
NB : Ini adalah POV Hyunah, yang akan ditulis oleh teman saya, Delia Angela. Dan saya akan menulis POV Yesung (Wai I Es Yu En Ji)
Cerita ini akan dipost di dua blog, yakni blog saya dan blog Delia ( http://www.delafh.com/ )
So... happy reading...

No comments: