Aku menekan tombol hijau di
ponselku dengan malas kemudian menempelkannya ke telinga.
“Jagiya, saengil chukhae!” seru suara di seberang sana.
Kusunggingkan senyum kecil saat
mendengar suaranya. Tetapi ketika mengingat dirinya yang tak di sisiku, aku
kembali menarik kedua sudut bibir ke posisi semula.
“Terima kasih,” jawabku datar,
sengaja membiarkannya tahu bahwa aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk menerima telepon darinya. Apa dia tidak
mengerti bahwa di hari ulang tahun, aku menginginkannya di sisiku, bersamaku
merayakan hari istimewa ini?
“Kau kenapa?” tanyanya heran. “Jagiya, maafkan aku karena tidak bisa
merayakan ulang tahunmu di Seoul. Proyek di Busan tidak bisa ditunda.”
“Iya. Kau memang selalu ada urusan di
Busan setiap kali aku ulang tahun!” sahutku ketus.
Pria itu menghela napas. “Bukan
begitu. Kuharap kau mengerti. Aku bekerja keras sekarang juga untuk masa depan
kita. Benar kan? Apa kau tidak ingin menikah denganku?” rayunya.
“Iya… Iya…,” jawabku malas.
“Kututup ya. Aku ada janji dengan Minah.”
“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik ya.
Aku mencintaimu,” katanya lembut sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon.
Selalu saja begini! Kekasihku,
Changsun, selalu memiliki berjuta alasan untuk tidak berada bersamaku, di hari
ulang tahunku. Aku tidak tahu, apa memang benar proyeknya harus ditinjau TEPAT
di hari ulang tahunku atau bukan. Yang kutahu, selama lima tahun menjalin
hubungan, sudah tiga kali ia tidak dapat merayakannya bersamaku. Mungkin
terdengar kekanak-kanakan karena di usia ke dua puluh sembilan, aku masih
mengharapkan perayaan ulang tahun. Tetapi perubahan sikap Changsun yang
belakang menjadi sangat manis jika berada di Seoul dan makin intensnya jadwal
kerja di Busan membuatku curiga. Apakah ia tidak mengerti kalau aku sengaja
kembali ke Seoul demi dirinya?
“Kurasa
kau harus waspada. Bisa saja Changsun ternyata memiliki kekasih lain di
Busan,” kata Minah, sahabatku, beberapa hari yang lalu saat kuceritakan
padanya tahun ini Changsun tidak bisa merayakan ulang tahunku lagi.
Aku segera menggelengkan kepala.
Changsun tidak mungkin mengkhianatiku. Aku harus memercayainya. Yah, aku tidak
boleh banyak menuntut seperti ketika masih remaja.
*
“Astaga! Kenapa malah ke tempat
begini?!” pekikku frustrasi ketika tiba di depan sebuah café bernama Mouse
Rabbit Coffee, yang dikerumuni puluhan – atau mungkin ratusan – gadis remaja.
Aku segera mendelik kesal ke arah
Minah. Seharusnya ia tahu aku tidak suka dengan keramaian, kecuali–
“Hari ini grand opening Mouse Rabbit Coffee. Kudengar dari adikku, pemiliknya
memberikan promo gratis khusus untuk yang berulang tahun di hari ini! Kau pasti
suka kan?” jawab Minah sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Mataku membesar. Berbinar. Harus
kuakui, Minah memang sahabat yang paling mengerti aku.
Namun, kukerutkan dahi saat menyadari
keanehan lain. “Apa semua orang-orang ini berulang tahun hari ini?” tanyaku
polos sembari mengedarkan pandangan pada puluhan gadis yang rela mengantri di
cuaca dingin begini.
Minah berdecak sebal sambil
menggelengkan kepalanya. “Kau ini! Kita mungkin sudah tidak dalam usia
mengidolakan artis, tapi apa kau tidak tahu kalau pemilik café ini adalah
Yesung Super Junior?”
Aku menggeleng pelan. “Pantas saja
seheboh ini!”
Minah melirikku sembari menyunggingkan
senyum miringnya. “Jadi? Apa kau akan menyerah?”
“Tentu saja tidak! Demi promo
GRATIS, akan kukalahkan puluhan gadis remaja itu!” seruku seraya menyingsingkan
kedua lengan mantelku. Dan dingin segera merayapi kulit. Dengan cepat
kuturunkan lengan mantelku lagi dan menyengir ke arah Minah.
“Kau bawa kartu identitasmu kan?”
Aku mengangguk semangat. “Tenang
saja, akan kutraktir pesananmu.”
Minah memekik girang. “Sudah
kutahu, mengajakmu ke sini adalah ide brilian! Hahaha.”
Tak memedulikan lirikan bingung
gadis-gadis remaja di depan kami, aku dan Minah ikut mengantri. Mungkin mereka
berpikir, mengapa ada para-calon-Ajumma
ikut mengekor mereka.
Seperti yang sangat dipahami Minah, aku memang tipe orang yang sangat perhitungan. Walau saat ini pekerjaanku
sebagai customer service di sebuah
bank swasta memberikan gaji yang lumayan, tetapi selalu ada kepuasan tersendiri
jika aku berhasil membeli sesuatu yang didiskon besar-besaran, apalagi promo
gratis seperti ini. Bahkan blog tempat aku menceritakan kepuasanku setiap kali
berhasil berburu produk promo dengan harga super miring, sangat ramai
pengunjung.
Kulirik arloji di tangan kiriku
kemudian bersorak gembira. Lima menit lagi! Katanya pukul sebelas, pintu akan
segera dibuka. Aku sungguh tidak sabar menikmati menu yang ditawarkan café ini,
apalagi dengan bonus bertemu Yesung Super Junior.
Ah! Walau aku tidak tahu yang mana
member Super Junior yang bernama Yesung – karena jumlah member boyband tersebut menyaingi tim sepak
bola – tapi aku yakin, ia pasti sangat tampan! Dan akan menjadi postingan yang
keren di blog jika aku dapat berfoto dengan salah satu member boyband terkenal negeri ini.
Sungguh tidak sabar!
Tiba-tiba Minah menarik lengan
mantelku cepat-cepat, mengalihkan fokusku pada layar ponsel yang sedang membaca
komentar pengunjung blogku.
“Pintunya dibuka!” seru Minah.
Mataku segera berbinar.
“Selamat datang di Mouse Rabbit
Café!” sapa seorang pria dengan wajah yang sangat cute.
“Apa dia yang namanya Yesung?”
tanyaku pada Minah.
Minah yang juga tidak menghafal
member Super Junior segera melirik ponselnya. “Bukan. Dia Jongjin, adik
Yesung,” jawab Minah sembari memperlihatkan foto pria bernama Jongjin yang
dikirim adiknya lengkap dengan keterangan namanya. Dahiku berkerut saat mendengar
nama Jongjin, nama yang tidak asing. “Lalu ini yang namanya Yesung.” Minah
menggeser layar touch screen
ponselnya.
Tampan dan cute. Itu dua kata pertama yang muncul di benakku saat melihat foto
member Super Junior yang bernama Yesung itu. Tetapi… tunggu… mengapa aku
sepertinya tidak asing dengan wajahnya ya? Apa aku pernah bertemu dengannya?
Kapan? Di mana?
Aku berusaha mengingat, tetapi
tidak mendapatkan petunjuk sama sekali.
Bodoh!
Tentu saja wajahnya tidak asing! Aku kan pernah melihat poster besar Super
Junior di iklan produk SPAO!
“Seperti janji kami, Mouse Rabbit
akan memberikan promo gratis untuk yang berulang tahun di hari ini dengan
menunjukkan kartu identitas,” kata Jongjin sembari menebar senyum manisnya,
membuat para gadis remaja di depan dan belakangku segera menjerit histeris. Tak
ingin ketinggalan, aku langsung merogoh tas slempangku, dan mengeluarkan kartu
identitas dari dompet – memastikan kartu penting ini siap untuk memberiku
hidangan gratis.
“Di hari spesial ini, Yesung Hyeong akan memberikan layanan secara
langsung untuk pengunjung yang berulang tahun,” jelas Jongjin yang langsung
membuat semua gadis di sekitarku berteriak makin histeris. Beberapa terlihat
nyaris menangis, kurasa karena tidak berulang tahun di hari ini.
Oh! Aku termasuk orang yang
beruntung!
“Sudah menyiapkan kartu identitas
kalian?” tanya Jongjin.
“Ne!” jawab kami – yang berulang tahun – penuh semangat.
“Silakan membuat baris baru di
sebelah sini,” katanya sambil menunjuk ke arah kiri barisan.
Dengan cepat, aku dan sekitar
belasan gadis remaja membentuk baris baru. Hm, cukup baik, aku berada di baris
ke tujuh dari depan – meninggalkan Minah yang masih di baris belakang.
Kutekan dada kiri ketika tiba-tiba
merasakan detaknya berpacu tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aneh! Ini bukan
pertama kalinya aku mendapatkan promo harga miring – bahkan gratis – juga bukan
merupakan fans dari Yesung. Bagiku, sangat aneh menjerit histeris hanya karena
melihat seseorang-yang-kebetulan-dianugerahi-suara-bagus-dan-menjadi-penyanyi.
Karena menurutku, setiap orang adalah istimewa, baik itu artis mau pun orang
biasa seperti kami.
Tapi mengapa jantungku berdebar tak
keruan begini? Rasanya seperti remaja yang baru menemukan cinta. Ah, sudah
berapa lama aku tidak merasakan debaran ini. Rutinitas bersama Changsun,
apalagi dengan masa pacaran yang telah menginjak lima tahun membuat kami telah
terbiasa satu sama lain.
Sembari menanti giliran, kuedarkan
pandangan ke sekeliling café. Hm, desain interior yang bernuansa putih, lengkap
dengan berbagai pose Yesung – yang memang menjadi daya tarik café ini – yang ditempel
di hampir setiap sudut ruangan. Mereka yang tidak sedang berulang tahun,
berbaris rapi di counter sebelah,
dengan Jongjin yang melayani.
Ketika mataku menemukan pria
bernama Yesung tengah berdiri di depan counter,
bersiap menerima pesanan, jantungku berlompat semakin cepat. Astaga, apa aku
mulai tertular virus para gadis remaja itu?
“Mau pesan apa?” tanya Yesung saat
akhirnya giliranku tiba. Ia masih sibuk dengan komputer di depannya, terlihat
bingung – mungkin belum terbiasa dengan sistem komputernya.
“Hm, cappuccino, waffle dan sandwich masing-masing satu.”
Yesung mengangkat kepalanya,
menatap manik mataku. Entah hanya perasaanku atau bukan, kurasa ia sedikit
terkejut melihatku. Apa ia tidak menyangka ada wanita berusia nyaris tiga puluh
masih ikut mengantri bersama para remaja demi bertemu idola atau mungkin makanan
gratis?
Seperti berhasil mengendalikan
keterkejutannya, Yesung menebar senyum ramah yang seketika membuat dadaku
berdesir aneh. Senyuman itu… terasa
begitu menenangkan. Rasanya tidak asing.
“Baiklah. Akan segera disiapkan,”
katanya sembari kembali berfokus pada komputer di depannya.
“Jongwoon-a, apa para orangtua member lainnya sudah datang?” tanya seseorang,
membuatku melirik ke sumber suara.
Mataku segera membelalak ketika
melihat wanita paruh baya dengan rambut pendek bergelombang, mengenakan celemek
berwarna biru muda, muncul dari balik punggung Yesung. Debaran yang sedari tadi
berdegup kencang, rasanya nyaris berhenti berdetak ketika melihat wajah wanita
itu. Aku mengenalnya. Terlebih, nama Jongwoon…
“Belum, Eomma,” jawab Yesung – ah, Jongwoon – sopan. Tetapi ibunya tidak
merespon. Matanya telah menangkapku sebelum aku sempat mengalihkan pandangan.
Aku membeku di depan counter pemesanan itu. Tidak tahu harus
berbuat apa.
“Hyunah? Im Hyunah, benar kan?”
seru ibunya dengan mata berbinar sembari menepuk tangannya satu kali.
Aku mengangguk dengan sebentuk
senyum canggung menghiasi wajahku. “Kau tidak mengenali Hyunah?” tanyanya pada
Jongwoon. Pria itu segera memberi kode pada ibunya, mungkin meminta ibunya
untuk tidak membahas hal ini di depan fansnya.
“Kemari… kemari…,” kata ibu Jongwoon sembari melambaikan tangan dan membuka pintu pembatas counter, memintaku untuk masuk.
Dengan canggung, aku berjalan masuk
ke area counter dan mengikuti ibu
Jongwoon berjalan melewati dapur menuju ruang duduk, sementara Jongwoon tetap
melayani pelanggan lain. Aku tentu tidak dapat menolak tawaran wanita itu.
Karena, tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya. Dan mungkin hanya
perasaanku saja, rasanya punggungku memanas akibat tatapan tajam penggemar Jongwoon.
Sekujur tubuhku kaku ketika ibunya
mempertemukanku dengan suaminya – ayah Jongwoon – yang tadi sedang di dapur
mengawasi pekerjaan anak buahnya, dan menyusul ke ruang duduk. Dengan cepat ayah
Jongwoon mengenaliku dan merangkul bahuku dengan sayang. Sejak kecil, aku
memang sangat dekat dengan keluarga ini. Aku tidak tahu, ternyata waktu empat
belas tahun tidak membuat mereka melupakanku.
“Abeonim, Eommonim, apa
kabar?” tanyaku sembari menyunggingkan sebentuk senyum.
“Baik! Baik! Di mana orangtuamu
sekarang?” tanya ayah Jong Woon.
“Appa dan Eomma sekarang
di Jepang. Kebetulan Appa ditugaskan
di sana. Aku pun baru satu tahun ini kembali ke Seoul,” jawabku cepat. Ayah dan
ibu Jongwoon langsung mengangguk-angguk.
“Jadi kau tinggal bersama siapa di
sini?” tanya ibunya.
“Aku dan sahabatku, Minah, menyewa
apartemen bersama. Oh ya, aku tidak menyangka ternyata Jongjin sudah dewasa
sekarang. Aku bahkan tidak mengenalinya tadi.”
“Benarkah? Ah! Jangankan Jongjin,
kenapa kau bahkan tidak mengenali Jongwoon?” tanya ibunya lagi.
Aku menggigit bibir. Mendengar nama
Jongwoon menimbulkan desiran aneh di dadaku. Sesuatu yang membuat rasa rindu
dan perih bercampur menjadi satu. Sebuah kenangan manis yang ingin kukubur
dalam-dalam.
Jujur saja, aku pangling dengan
penampilannya sekarang. Ia banyak berubah. Mungkin karena dandanan, gaya
rambut, atau entahlah… yang kuingat hanya senyum pria itu yang tidak pernah
berubah. Nama Yesung membuatku tidak menaruh curiga padanya. Aku sama sekali
tidak pernah berpikir bahwa aku akan bertemu dengannya lagi.
“Nama Yesung dan penampilannya yang
sangat berbeda membuatku tak mengenalinya,” jelasku sembari menundukkan sedikit
kepala.
Ibu Jongwoon mengangguk kecil.
“Untung saja aku masih mengenalimu. Hahaha. Mata besar dan belahan dagumu
adalah petunjuknya. Kau tidak berubah banyak, Hyunah! Eommonim sangat senang bisa bertemu denganmu lagi!”
Aku tersenyum canggung.
“Eomma…,” panggil Jongwoon yang ternyata menyusul masuk ke ruang
istirahat.
Spontan, kami menoleh ke arah
sumber suara. Napasku kemudian tercekat ketika melihat pria itu berjalan
mendekati kami. Kurasa, udara di sekitarku menyempit drastis. Jantungku
melonjak panik saat Jongwoon menatapku dalam, kemudian tersenyum canggung.
“Ehm… Yeobo, kurasa di luar sangat ramai. Lebih baik kita membantu Jongjin,”
kata ayah Jongwoon sembari berdehem palsu kemudian memberi kode pada istrinya
untuk segera menyingkir dari ruang istirahat.
Kakiku nyaris tak mampu menopang
tubuhku ketika ayah dan ibu Jongwoon meninggalkan ruangan. Menyisakan aku dan
Jongwoon.
- To Be Continue -
Delia Angela
----------------------------------------------------
NB : Ini adalah POV Hyunah, yang akan ditulis oleh teman saya, Delia Angela. Dan saya akan menulis POV Yesung (Wai I Es Yu En Ji)
Cerita ini akan dipost di dua blog, yakni blog saya dan blog Delia ( http://www.delafh.com/ )
So... happy reading...
No comments:
Post a Comment