01 February, 2012

Liefde, Love ( Part 2 )


“Ma, Randi ngopi dulu bentar ya. Check in kan tiketku juga.” Aku menyodorkan kertas selembar itu.
“Tapi kamu nggak akan kemana-mana kan?” Terlihat wajahnya sedikit cemas.
“Ya, ampun. Tenang saja. Randi gak bakalan kabur kok.” Mama pun mengangguk.
 Hmm, masih ada waktu 1 jam lagi untuk berangkat. Aku duduk dan memesan segelas clover brewed coffee di Starbucks dan langsung meraih ponselku, karena setidaknya aku harus memberi kabar dan pamitan ke Lindsey. Aku juga sudah kangen dengan suaranya. 

Saat ingin menekan tanda “calling” di ponselku, aku merasakan kehadiran seseorang didekatku. Ya, dia berdiri dihadapanku dan menatapku sekarang. Sesaat aku tidak mengenalinya sampai pada saat gadis itu memanggil namaku.
“Randi.. kan?” tanya nya seakan ragu.
“Kim Seo Eun.. ?” Iya, itu dia. Dia pun tersenyum. Senyuman khasnya yang manis, karena disanalah letak daya tariknya.
“Ahh, kok masih memanggilku Kim Seo Eun sih! Windi saja..” dia pun menarik kursi dan langsung duduk di depanku tanpa kita persilahkan, seperti biasanya.
“Ya ampun, aku hampir tidak mengenalimu lho, Kim.” 
“Tidak mengenali bagaimana? Masa iya kita baru berpisah selama 3 tahun dan kau sudah melupakanku. Begitu?” dia tersenyum lagi.
“Iya, soalnya kamu banyak perubahan. Liat saja dari rambut yang sudah panjang, berdandan pula . Tidak bergaya seperti preman lagi,” Aku pun tertawa. Dia tersipu malu dan terlihat ingin membela diri. Tapi tidak jadi. “Oh ya, ngapain kamu ada di Voorburg?” tanyaku penasaran. “Mau mengunjungiku?” aku menggodanya.
“Enak aja, aku lagi holiday tau!” Wajahnya memerah. “Gak nyangka deh ketemu kamu di airport, Ran. Kabarmu dan Mampap gimana? Mau pergi kemana nih ceritanya?” tanyanya beruntun. Dia memanggil ibuku dengan sebutan “Mam” dan ayahku “Pap” lalu jika digabungkan jadi Mampap.
“Aku pulang ke Jakarta.” Reaksi kaget yang berlebihan terpancar dari wajahnya. 
“Hah! Pulang? Gak salah? Waktu pamitan kemarin, kata kamu se-la-ma-nya, sampai aku harus menangisi kepergianmu selama seminggu!” Aku jadi teringat , waktu aku baru pindah dan dia kirim email kepadaku bahwa dia sedih karna harus kehilangan teman seperti aku. Sepintas aku melihat senyuman dibibirnya.
“Lho, seharusnya kamu sekarang senang dong, aku mau pulang ke Indo. Kok kecewa gitu?” 
“Yeah, sia-sia aja rasanya..” dia tiba-tiba termenung.
“Sia-sia bagaimana?” aku bingung dibuatnya. Tiba-tiba saja aku lupa bahwa seharusnya aku menelpon Lindsey dari tadi. “Eh, tunggu bentar ya, Kim. Aku mau menelpon pacarku dulu. Aku belum pamit nih!”
“HAH?! Kamu punya pacar? Sejak kapan? Kok aku gak tahu?” Dia tercengang mendengarnya.
“Sejak kapan aku harus selalu lapor kegiatan pribadiku padamu? Hahaha. Tar yah.” Aku pun pamit dan langsung menghubungi Lindsey yang saat itu juga menangis ditelpon karena tidak rela membiarkanku pergi. Setelah 5 menit berselang, aku pun kembali ke mejaku. Aku mendapati Windi yang sedang melamun.
“Hei, Kim. Kok melamun?” aku menepuk pundaknya, dia pun terperanjat dari kursinya.
“Ahh, kenapa sih kagetin orang? Kebiasaan deh. Lagian, namaku Windi. W-I-N-D-I,” dia mengejanya. “Bukan Kim Seo Eun!!” Dia memprotes dan cemberut. 
“Tapi muka mu mirip dengan dia, gimana dong?  Kim Seo Eun kan cantiiik,” Aku pun mengusilinya lagi. “Aku aja fans beratnya dia.” Aku tertawa keras.
“Gak lucu tahu! Udah dulu, ah. Aku mau masuk ke ruang tunggu aja. See you.” Dia pun beranjak dari kursinya.
“Lho? Marah ya?” aku merasa tidak enak. Aku menatapnya “Kim, het spijt mij, okay?” aku merayunya. “ i’m just kidding.” Sekarang giliran aku yang panik.
Aku membujuknya, tapi dia tetap diam dan berlalu pergi. Aku buru-buru meletakkan pecahan 20€ dimeja dan mengejarnya. Tapi aku tak menemukannya dimanapun. Larinya cepat sekali. Ahh! Sial banget sih hari ini.
___
*Het spijt mij : berarti aku minta maaf dalam bahasa Belanda

No comments: