“Ma, Randi ngopi dulu
bentar ya. Check in kan tiketku juga.” Aku menyodorkan kertas selembar itu.
“Tapi kamu nggak akan
kemana-mana kan?” Terlihat wajahnya sedikit cemas.
“Ya, ampun. Tenang
saja. Randi gak bakalan kabur kok.” Mama pun mengangguk.
Hmm, masih ada waktu 1 jam
lagi untuk berangkat. Aku duduk dan memesan segelas clover brewed coffee di Starbucks dan langsung meraih ponselku,
karena setidaknya aku harus memberi kabar dan pamitan ke Lindsey. Aku juga
sudah kangen dengan suaranya.
Saat ingin menekan
tanda “calling” di ponselku, aku merasakan kehadiran seseorang didekatku. Ya,
dia berdiri dihadapanku dan menatapku sekarang. Sesaat aku tidak mengenalinya
sampai pada saat gadis itu memanggil namaku.
“Randi.. kan?” tanya
nya seakan ragu.
“Kim Seo Eun.. ?” Iya,
itu dia. Dia pun tersenyum. Senyuman khasnya yang manis, karena disanalah letak
daya tariknya.
“Ahh, kok masih
memanggilku Kim Seo Eun sih! Windi saja..” dia pun menarik kursi dan langsung
duduk di depanku tanpa kita persilahkan, seperti biasanya.
“Ya ampun, aku hampir
tidak mengenalimu lho, Kim.”
“Tidak mengenali
bagaimana? Masa iya kita baru berpisah selama 3 tahun dan kau sudah
melupakanku. Begitu?” dia tersenyum lagi.
“Iya, soalnya kamu
banyak perubahan. Liat saja dari rambut yang sudah panjang, berdandan pula . Tidak
bergaya seperti preman lagi,” Aku pun tertawa. Dia tersipu malu dan terlihat
ingin membela diri. Tapi tidak jadi. “Oh ya, ngapain kamu ada di Voorburg?”
tanyaku penasaran. “Mau mengunjungiku?” aku menggodanya.
“Enak aja, aku lagi
holiday tau!” Wajahnya memerah. “Gak nyangka deh ketemu kamu di airport, Ran.
Kabarmu dan Mampap gimana? Mau pergi kemana nih ceritanya?” tanyanya beruntun.
Dia memanggil ibuku dengan sebutan “Mam” dan ayahku “Pap” lalu jika digabungkan
jadi Mampap.
“Aku pulang ke Jakarta.”
Reaksi kaget yang berlebihan terpancar dari wajahnya.
“Hah! Pulang? Gak salah?
Waktu pamitan kemarin, kata kamu se-la-ma-nya, sampai aku harus menangisi
kepergianmu selama seminggu!” Aku jadi teringat , waktu aku baru pindah dan dia
kirim email kepadaku bahwa dia sedih karna harus kehilangan teman seperti aku.
Sepintas aku melihat senyuman dibibirnya.
“Lho, seharusnya kamu
sekarang senang dong, aku mau pulang ke Indo. Kok kecewa gitu?”
“Yeah, sia-sia aja
rasanya..” dia tiba-tiba termenung.
“Sia-sia bagaimana?”
aku bingung dibuatnya. Tiba-tiba saja aku lupa bahwa seharusnya aku menelpon
Lindsey dari tadi. “Eh, tunggu bentar ya, Kim. Aku mau menelpon pacarku dulu.
Aku belum pamit nih!”
“HAH?! Kamu punya
pacar? Sejak kapan? Kok aku gak tahu?” Dia tercengang mendengarnya.
“Sejak kapan aku harus
selalu lapor kegiatan pribadiku padamu? Hahaha. Tar yah.” Aku pun pamit dan
langsung menghubungi Lindsey yang saat itu juga menangis ditelpon karena tidak
rela membiarkanku pergi. Setelah 5 menit berselang, aku pun kembali ke mejaku.
Aku mendapati Windi yang sedang melamun.
“Hei, Kim. Kok
melamun?” aku menepuk pundaknya, dia pun terperanjat dari kursinya.
“Ahh, kenapa sih
kagetin orang? Kebiasaan deh. Lagian, namaku Windi. W-I-N-D-I,” dia mengejanya.
“Bukan Kim Seo Eun!!” Dia memprotes dan cemberut.
“Tapi muka mu mirip
dengan dia, gimana dong? Kim Seo Eun kan
cantiiik,” Aku pun mengusilinya lagi. “Aku aja fans beratnya dia.” Aku tertawa
keras.
“Gak lucu tahu! Udah
dulu, ah. Aku mau masuk ke ruang tunggu aja. See you.” Dia pun beranjak dari
kursinya.
“Lho? Marah ya?” aku
merasa tidak enak. Aku menatapnya “Kim, het
spijt mij, okay?” aku merayunya. “ i’m
just kidding.” Sekarang giliran aku yang panik.
Aku membujuknya, tapi dia
tetap diam dan berlalu pergi. Aku buru-buru meletakkan pecahan 20€ dimeja dan mengejarnya.
Tapi aku tak menemukannya dimanapun. Larinya cepat sekali. Ahh! Sial banget sih
hari ini.
___
*Het
spijt mij : berarti aku minta maaf dalam bahasa Belanda
No comments:
Post a Comment