SANTA UNTUK PERMOHONAN
Oleh Lewi Satriani
FB : Lewi Satriani
(Battle Project for Christmas 2013)
*
Aku menatap kaos kaki merah yang
terpasang di dinding kamar. Kaos kaki berbentuk lucu yang merupakan hiasan yang
biasa dipakai oleh mereka yang merayakan natal. Seumur hidup aku tidak
merayakan itu karena orangtuaku mengenalkanku pada kebajikan, karma, dan
reinkarnasi…bahwa apa yang kulakukan di dunia saat ini nantinya akan mendapat
balasan kehidupan setimpal di kehidupan yang akan datang…karena itulah mami
marah besar saat aku membawa kaos kaki itu, mungkin wanita itu mengira aku akan
berpindah keyakinan…tapi bukan itu yang ada di pikiranku…
Aku mendengar tentang sosok bernama
Santa Claus ini…sosoknya seorang pria bertubuh tambun dengan rambut dan jenggot
lebat seputih salju dan dia punya kebaikan hati untuk mengabulkan permintaan
apapun sebagai hadiah natal. Rasa penasaran pada sosok yang satu itu membuatku bertanya
pada Serafina, sahabatku, tepat setahun lalu di tanggal yang persis sama
seperti hari ini…
“Bagaimana dia bisa masuk ke dalam
rumah?” tanyaku.
“Sebagian besar orang bilang lewat
cerobong asap,” jawab Serafina.
“Tapi bagaimana kalau rumah kita tidak
punya cerobong asap? Rumah di Indonesia mana ada yang punya yang begitu?”
“Ada yang bilang lewat jendela yang
terbuka atau celah apapun yang disediakan rumah kita,” kata Serafina.
“Bagaimana bisa? Badannya kan
gemuk…mana bisa dia lewat?”
“Nggak tahu, deh ! Aku kan bukan Santa
Claus jadi maaf ya kalau nggak bisa jawab pertanyaan elu,” kata Serafina tak
sabaran. “Kenapa sih tiba-tiba elu tertarik sama Santa Claus?”
“Kemarin lihat film natal dan kayaknya
seru aja lihat kalian menggantung kaus kaki lalu menulis permohonan buat Santa
Claus supaya dapat kado…”
“Tradisinya memang begitu. Tapi Santa
Claus hanya legenda.”
“Legenda bagaimana?”
“Tidak ada yang namanya Santa Claus.”
“Jadi tokoh itu hanya buatan orang
Kristen saja?”
“Bukan. Sosok yang sesungguhnya memang
ada, Santo Nicholas yang hidup di Yunani pada abad ke-4 dimana dia memang suka
memberi hadiah buat orang miskin, janda, dan anak-anak. Sosok Santo itu memang
mirip dengan yang kamu bilang, berjenggot tebal dan selalu mengenakan jubah.
Namanya berganti dari Santo Nicholas menjadi Sinterklas lalu Santa Claus pada
abad pertengahan…”
“Aku nggak tertarik sama uraian
sejarah,” kataku memasang tampang mengantuk.
“Hahaha…sorry aku kira…” Serafina jadi
salah tingkah. ”Aku cuma mau kasih tahu kalau sosok yang menginspirasi Santa
Claus itu memang ada...bukan buatan…”
“Nah, berarti dia memang ada kan?”
kataku bergairah.
“Ya ada…nggak maksudnya nggak adanya
itu karena…”
“Sudah, deh ! Kok jadi repot banget
jawab pertanyaan seperti itu? Yang aku ingin tahu apa kamu percaya bahwa Santa
Claus ini memang bisa mengabulkan permintaan?”
Serafina kelihatan bimbang sejenak
namun akhirnya dia tersenyum,”Waktu kecil aku mempercayainya…dia memberikan
kado-kado di bawah pohon natal di rumahku saat malam natal…tapi setelah
dewasa…aku belum pernah mengajukan permintaan lagi…”
“Kenapa? Kamu terlalu sibuk?”
“Nggak, mungkin karena aku mempercayai
yang lain?”
“Mempercayai yang lain? Maksudnya?”
“Ya, mempercayai bahwa aku bisa
mendapatkan sesuatu bila aku berusaha keras. Tidak lagi ingin bergantung pada
satu sosok yang harus ditunggu kedatangannya setahun sekali…”
“Tapi dia tetap datang memberikan
kadonya?”
“Sayangnya tidak. Dia akan hilag
begitu kamu tidak lagi percaya padanya.”
“Aku ingin percaya padanya. Bagaimana
caranya melakukan itu?”
“Maksudnya?”
“Supaya aku mendapat hadiah darinya.”
“Lia, aku…nggak tahu deh…kupikir Santa
Claus itu hanya khayalan di masa kanak-kanak saja…jadi rasanya nggak mungkin…”
“Soal mungkin atau nggak mungkin biar
aku yang pikirin. Jadi bagaimana supaya dia bisa mengabulkan permintaanku?”
“Ada syaratnya…jadi anak baik selama
setahun…”
“Setahun?” aku terbelalak. “Dan harus
apa supaya dia berpendapat aku baik?”
“Melakukan apa yang seharusnya
dilakukan orang-orang baik mungkin…” Serafina mengangkat bahu. “….apapun yang
dilakukan Santo Nicholas.”
“Rasanya setahun tidak cukup untuk melakukan
itu semua…” aku bergumam sendiri. “…tapi itu semua memang yang diajarkan di
agamaku…lalu apa bedanya supaya Santa Claus melihatnya?”
Serafina tersenyum,”Kaos kaki.”
Aku mengangkat alis kebingungan,”Kaos
kaki?”
“Beli kaos kaki, gantung di dinding,
tuliskan permohonanmu di secarik kertas, dan masukan ke dalam kaos kaki. Itu
yang membedakan…”
“Kalau aku melakukan itu…apa aku bisa
mendapat kado yang bukan materi?” tanyaku terus mencecar.
“Misalnya?”
“Peristiwa mungkin? Atau suatu
cita-cita?” aku menjawab dengan berandai-andai. “Apa dia pernah mengabulkan
permintaan misalnya mempertemukan kembali dua saudara yang terpisah sejak kecil
atau menyatukan keluarga yang terpecah?”
Serafina mendesah panjang,”Aku nggak
tahu soal itu, Lia. Yang aku tahu Santa Claus lebih sering memberi kado berupa
barang tapi…mungkin saja sih karena dia disebut pembawa keajaiban natal…jadi
kemungkinan itu tetap ada…”
Oke…kalau memang aku bisa
mendapatkannya maka kaos kaki rasanya tidak sulit…
Jadi aku membeli kaos kaki yang
dimaksud dan menggantungnya di dinding dengan segera. Kupikir aku tidak boleh
buang-buang waktu karena permintaanku tergolong berat dan Serafina mengatakan
kalau Santa Claus lebih senang bila semuanya dimulai sejak awal.
Hampir genap setahun
sudah benda itu menghiasi dindingku namun itu bukan hanya sebagai penghias. Kaos
kaki itu menjadi motivasi dan pengingat supaya aku tetap berusaha melakukan
yang terbaik menjadi ‘anak baik’ seperti yang dikatakan Serafina. Tidak mudah
memang di tengah kekacauan hidup, tapi aku berhasil membujuk perusahaan
rekamanku menyumbangkan sebagian pendapatannya dari penjualan albumku untuk
membantu biaya sekolah beberapa anak panti asuhan, mengajak mami berjalan-jalan
ke negara yang selalu menjadi mimpinya untuk didatangi yakni China, meluangkan
hampir sebagian besar waktuku buat mendengarkan keluh kesah teman-temanku dan
memberikan ucapan motivasi bahwa apa yang mereka alami mungkin tidak seberat
apa yang sedang kuhadapi, bersyukur senantiasa tiap hari dan belajar tidak
mengeluh saat hal-hal buruk terjadi di tiap menitnya…
Aku menikmati itu semua…dan ternyata
orang-orang di sekitarku juga merasakannya… mereka bilang aku berubah…tidak ada
lagi Lia yang tanpa gairah hidup, tidak ada lagi Lia yang suka mengomel, tidak
ada lagi Lia yang manja dan suka mengasihani diri sendiri. Setiap hari yang ada
di pikiran hanya menambah daftar tentang apalagi yang bisa kulakukan buat orang
lain, supaya aku mempertebal kepastian jenjang tingkatan sebagai anak baik
dalam buku versi Santa Claus.
Dan kesemuanya
kulakukan sampai hari ini…jadi hari inilah penentuannya…hari ini aku akan
melihat apakah legenda tentang Santa Claus itu bisa dipercaya. Aku menjadi
bersemangat sekali karenanya, terlebih saat menatap kaus kaki itu dan itu
membuat mami yang sedang masuk ke kamarku jengkel,
“Masih juga kamu
pandangi kaus kaki buluk itu?”
“Itu namanya kaus kaki
harapan ke Santa Claus, mami.”
“Kalau mau berharap
jangan sama tokoh dari budaya asing.”
“Kalau itu bisa
mendatangkan harapan buat kita memangnya kenapa, mami?”
“Itukah yang membuatmu
bersemangat begitu?”
“Kan aku juga tidak
pindah kepercayaan seperti yang mami tuduhkan.”
“Tapi tetap saja kamu
terobsesi dengan benda jelek itu.”
“Sudahlah, kan mami sendiri juga bilang aku
berubah.”
Tiba-tiba mata wanita
itu melembut,”Mami takut kehilangan kamu.”
“Kenyataannya seperti
itu, mam. Tapi semuanya pasti akan berakhir dengan baik.”
“Itukah yang kamu
tulis di dalam kaos kaki itu?”
“Mami boleh melihatnya
setelah aku mendapat kadoku dari Santa Claus.”
Wanita tua itu
mendengus,”Terserahlah…bersiaplah pergi ke gedung konser. Panitia sudah menjemput…”
“Aku sudah siap, mi…”
kataku dengan menenteng tas besar berisi biola dan bersiap-siap keluar dari
kamar.
Sebelum meninggalkan
rumah aku sempat mendengar mami berkata, “Setelah tahun baru kaus kaki buluk
itu akan mami buang. Sudah muak melihatnya menggantung selama setahun di
kamarmu itu.”
Aku hanya diam…
Tetap diam dan
mematung seperti yang kulakukan di dalam gedung konser penuh sesak malam
itu…sekitar 30.000 undangan memenuhi kursi-kursi yang terhampar di depan serta
sisi kiri dan kanan panggung. Aku tidak tahu bagaimana nada-nada biola bisa
memabukan orang-orang untuk datang mendengarkanku. Bukannya tidak mensyukuri
apa yang kudapat namun dulu rasanya lebih masuk akal bila orang-orang datang
untuk mendengarkan penyanyi bersuara merdu daripada hanya seorang penggesek
biola.
Yah, jaman mungkin sudah berubah…
Musisi yang hanya bisa bermain sebuah
alat tanpa kemampuan bernyanyi seperti Yovie Widianto atau Santana pun
pertunjukannya bisa dibanjiri puluhan penonton dan disinilah diriku…berdiri
dengan gaun sutera biru muda yang memendarkan cahaya mengilau di tengah
panggung dengan biola terpasung diantara bahu dan daguku. Lagipula mau dikata
apalagi…. inilah konser tunggalku….sebuah ajang besar sebagai apresiasi
tertinggi dari apa yang sudah kulakukan selama ini…
Lagu kesepuluh usai terlantun dan
lagi-lagi tepukan membahana sebagai pertanda pujian meruah diarahkan padaku.
Seperti boneka yang terlatih aku tersenyum kemudian membungkuk memberi hormat.
Orang-orang ini mencintaiku…dengan segala kekuranganku… dan aku juga mencintai
mereka sehingga di lagu terakhir ini aku ingin memberikan pemuncak yang pantas
mereka dapatkan…
The Neo of Moonlight Sonata…
Aku menggarap sendiri harmoni klasik
karya agung Beethoven ini dengan paduan musik retro dan gamelan bali…hasilnya
album perdanaku Violiane cukup sukses. Sesuatu yang diluar perkiraan
semua pihak, perusahaan rekaman ataupun aku sendiri, sebab aku membuatnya
memang bukan dengan maksud mencari sukses…hanya menyalurkan apa yang membuatku
bahagia…apalagi kalau bukan musik yang bagus.
Dan
di saat jemariku menari-nari diatas senar menemani harmoni yang mengalun
melenakan telinga sekitar 30.000 penonton di depan panggung itu, pikiranku
terhanyut pada semua masalah yang menjadi latar belakang semua ini…satu nama
itu memenuhi benakku… Koko…
Karena dialah aku mendapatkan penyakit
terkutuk ini…HIV Positif…yang berubah menjadi AIDS seiring bulan demi bulan di
saat menjalani perawatan yang tanpa hasil. Untungnya sampai kini aku berhasil
menutupi segala sesuatu dari mami sehingga aku tampak selalu sehat meski aku
tahu dia sudah mulai curiga dengan hilangnya berat badanku secara perlahan.
Meski begitu aku tidak
bisa menyalahkan Koko sepenuhnya. Berkat dia aku masih bernafas sampai saat
ini, hanya dia yang berani mengeluarkanku dari dasar samudera ketika hiu mulai
mengelilingiku. Ketololanku, atau mungkin juga terlalu asyiknya bercanda dengan
teman-teman, yang membuatku lengah sampai ombak menyeretku dan aku nyaris berujung
maut.
Saat itu yang kudengar
hanya teriakan teman-temanku…yang paling keras salah satunya Serafina…tapi
tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk terjun kesana buat
menyelamatkanku sampai lelaki itu datang menghampiriku dan berusaha mengusir
hiu-hiu itu dengan caranya yang sembarangan yang membuat dia juga diserang
habis-habisan. Aku kehilangan kesadaranku saat dia berhasil menarikku ke tepian
dan hanya ingat bahwa tubuhnya bersimbah darah.
Melihatku tidak
bergerak membuatnya panik. Dia menguncang tubuhku berkali-kali dan meneriakan
namaku supaya aku bangun, “LIA…SADAR LIA…” tapi aku tidak bergeming. Di tengah
kekalutan itu entah pikiran darimana Koko bisa memberikan nafas buatan padaku,
dan itu membuatku tersentak kembali dalam dunia nyata…antara tidak terima
seorang lelaki berani menciumku di saat aku tidak berdaya atau nafasnya yang
bau…entahlah, tapi di detik itu juga aku memuntahkan air asin banyak sekali…
Di
saat teman-temanku segera mengerubutiku, sang pahlawan itu justru pergi
diam-diam. Tadinya aku mengira dia malu untuk mengakui di depan umum bahwa dia
menjadi pahlawan buatku…padahal kalau mau jujur aku sama sekali tidak malu buat
mengakuinya bila dia menginginkannya. Hanya saja kenyataan pahit harus kuterima
belakangan. Kenyataan yang kudapati saat memeriksakan diri ke dokter setelah
merasakan banyak hal aneh terjadi padaku sejak peristiwa itu. Jawaban para ahli
kesehatan itu jelas dan pasti…aku positif AIDS !
Aku sangsi AIDS ditularkan lewat air
liur, namun tubuh Koko memang penuh darah, dan dari berita yang kudapati
setahun lalu Koko memang meninggal gara-gara penyakit laknat itu. Aku tidak
berminat mencari tahu bagaimana Koko bisa sampai terjangkit penyakit memalukan
seperti itu…itu sudah tidak penting lagi…yang terpenting bagaimana bertahan
menghadapi penyakit ini.
Dalam pertarungan yang seakan tanpa
ujung dan kelelahan itu akhirnya aku mendengar sosoknya…dimana darinya aku
berharap bisa mendapatkan akhir yang baik dari semua yang telah kulalui. Aku
ingin pulih. Aku ingin seperti sedia kala. Aku ingin normal. Dan aku ingin
lepas dari semua kecemasan yang membelenggu…kecemasan bahwa sewaktu-waktu aku
harus pergi dari dunia ini….meninggalkan keindahannya yang belum kurasakan
untuk sepenuhnya…
Aku sudah melakukan semua kebaikan
yang kamu mau….
Apakah aku sudah menjadi anak yang baik
untukmu?
Tepuk tangan penonton membahana dan
mereka semua berdiri mengelu-elukan. Sekali lagi aku membungkuk dan memberi
hormat sebelum akhirnya pergi menuju ruang ganti. Ketika melangkah menuju ruang
ganti aku tidak merasakan apa-apa sama sekali…
Penyerahan penghargaan atas kegiatan
amal ataupun tepukan pujian atas konser yang berhasil tidak lagi menggetarkan
hatiku seperti kali pertama merasakannya di saat albumku keluar. Satu-satunya
yang membuatku berdebar saat ini mungkin hanya momen yang sebentar lagi akan
datang….momen sehari menjelang natal dimana sosok itu akan datang memberikan
kado dari permintaan yang diberikan kepadanya…
Dan aku melangkah tanpa rasa ke ruang
ganti itu. Duduk termangu selama hampir setengah jam lamanya tanpa melakukan
apapun sampai terdengar ketukan di pintu…
TOK… TOK… TOK…
“Masuk…”
Aku duduk menatap kaca, benda itu
merefleksikan gambar di belakangku sehingga aku bisa melihat pria yang masuk ke
ruang gantiku. Aku tidak mengenalinya pertama-tama, namun dari tatapannya yang jenaka
aku langsung sadar, “Om Karel?”
“Malam Lia…”
Aku
turun dari kursiku dan pergi memeluknya. Dia memang sudah seperti ayah buatku. Om
Karel, boss perusahaan rekamanku inilah yang akhirnya meluluskan permohonanku
untuk mendermakan sebagian uang penjualan albumku. Sudah lama aku tidak
melihatnya, dia memang sibuk bepergian untuk urusan bisnis, maka dari itu aku
tidak langsung mengenalinya sebab perutnya sudah membuncit dan dia membiarkan
janggut tumbuh menghiasi rahang dan dagunya.
“Pertunjukan yang luar biasa,” kata
pria itu seraya menyerahkan karangan bunga mawar yang dibawanya.
“Cantik sekali…makasih om Karel.”
“Dan sekarang apakah kamu siap
menerima kado natalmu?”
Aku mendongak, menatap wajah om Karel
dengan bingung,”Maksud, om?”
Pria itu tersenyum dan menjentikan
jari. Jendela ruangan yang berada di lantai dua itu terbuka dan saat dia
melangkah mendekati jendela tersebut aku melihat sebuah kereta yang ditarik
delapan ekor rusa diluar sana.
“Bagaimana…bagaimana bisa?” aku
terkesiap.
“Kamu yang mengatakan sendiri kalau
ini keajaiban natal?”
“Ya…tapi dari om Karel?”
“Aku bisa datang dari manapun, Lia !
Memangnya orang seperti apa yang kamu harapkan?”
Aku mengangkat bahu,”Entahlah…pria
gendut berjenggot perak?”
“Hohohoho…” om Karel tertawa. “Sepertinya
orang yang kukenal. Tapi kamu pasti lebih suka berada dekat dengan orang yang
wajahnya sudah kamu kenal, bukan?”
“Ya…”
“Kalau begitu ikutlah aku…”
“Kita kemana?” tanyaku masih ragu.
“Untuk mengambil kadomu. Supaya kamu
bebas dari rasa sakitmu.”
Mendengar itu aku tersenyum dan
menyambut uluran tangannya. Aku mengikuti om Karel naik ke kereta itu, yang
ternyata dalam keadaan melayang diluar jendela lantai dua tersebut, sempat
ketakutan aku bermaksud kembali ke ruangan itu namun di saat itulah aku melihat
sosok seperti diriku…tengah duduk termangu menatap kaca, namun dengan posisi
yang aneh karena sepertinya aku sudah….mati…
“Apa yang?”
Om Karel mendesis menyuruhku
diam,”Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu akan mendapat kadomu,
anak baik.”
Lelaki itu menggebah tali kekang
sehingga kedelapan rusa segera berlari… membuat kereta terbang ke langit malam
yang bertabur bintang sementara lonceng di leher para rusa itu pun
berdencing-dencing seakan menyanyikan suatu pujian yang tak asing di telingaku.
Diantara dentang harmoni lagu itu aku bisa melihat wajah mami yang saat itu
tengah mengambil surat dari dalam kaos kaki merah di kamar…aku
tersenyum…akhirnya mengerti…dan mami pasti juga akan mengerti setelah membaca
permohonan yang kutulis disana…
Dear Santa Claus…
Aku
tidak tahu apakah engkau mengabulkan doa dari orang yang agamanya tidak
mengenal engkau seperti aku ini. Tapi dari temanku, aku tahu kalau kamu sama
seperti Budha… mencari kebaikan…dan orang yang mencari kebaikan tentu tidak
akan menolak memberi kebaikan pada orang, bukan?
Dari kebaikan yang kulakukan aku tahu Budha
memberikan kehidupan berikut yang lebih baik tapi kamu memberikan kado natal
darinya. Dan untuk itu boleh aku memintanya darimu?
Semua orang yang mengalami penyakit sepertiku pasti
minta kesembuhan, dan aku bukannya tidak meminta mukjizat itu, tapi aku sadar
aku mungkin tidak akan bertahan lama. Karena itu ijinkan aku melakukan kebaikan
yang kamu inginka selama setahun ini, sebagai imbalan kado natal untukku darimu.
Aku minta kado natal berupa kematian darimu.
Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa aku memintanya
sementara aku melakukan kebaikan sebelumnya. Itu tidak lain karena aku berpikir
uang yang kumiliki sebaiknya kuberikan kepada mami daripada digunakan untuk
pengobatanku yang sudah pasti memakan biaya besar.
Aku sudah
menyiapkan sejumlah dana untuk membeli tanah dan membangun rumah mungil supaya
mami tidak perlu mengontrak-ngontrak lagi, dan rasanya hanya itu yang bisa
kulakukan untuk membalas kebaikan wanita yang sudah membesarkanku dengan
susah-payah itu.
Dengan kematian cepat aku juga tidak perlu
menghancurkan hatinya dengan berbagai praduga soal AIDS yang menggerogoti
tubuhku ini sebab tidak ada yang patut dipersalahkan. Koko hanya menaolongku
dari tenggelam dan kalau hanya seorang penderita AIDS yang bersedia menolongku
dari tenggelam di samudera mungkin itu memang sudah takdir, dan aku tidak mau
Koko dipersalahkan…
Hanya itu kado yang kuminta untuk natal kali ini…dengan
kematian bisa mempercepat langkahku menuju dunia berikutnya yang telah
disiapkan Budha untukku…dan aku percaya Santa Claus bisa memberikannya padaku
sebab engkau itu keajaiban natal…
Salam manis
Lia
1 comment:
bagus
Post a Comment