16 August, 2013

Termotivasi atau Tidak Mau Kalah




Sore yang pengap!
Ketika ditugasi oleh ibuku untuk membeli bakpao, aku bersungut-sungut tanpa jeda.
Inginnya hanya berendam di bak mandi atau menghilangkan gerah di depan kipas angin.

Kuhentikan motor di depan gerobak mini, di dekat jalan Ketapang, langgananku.
Lokasi gerobak tepat di depan hotel yang sedang direnovasi, agak ke kiri sedikit.

"Paman, bakpao manisnya dua, yang asin dua!" perintahku ke bapak-bapak keturunan Tionghoa yang sedang asyik berdiri menghisap rokok di dekat gerobak.

Dengan gaya ogah-ogahan dan memamerkan perut buncitnya yang mencuat, ia berkata, "Aku enggak jual! Tuh, dia yang jual!" tunjuknya ke arah bocah laki-laki dengan dagu lalu melenggang pergi.

Terbengong-bengong menatap kepergian bapak itu, sebuah suara mungil mengejutkanku.

"Mau apa tadi, Kak?" tanya suara pelan itu, hampir tak terdengar.

"Yang manis dua, asin dua," jawabku masih belum sepenuhnya sadar dari kebingungan. Kudekatkan motor ke arah gerobak. Mencoba meneliti anak yang bertubuh mungil itu. Bahkan, gerobak saja jauh lebih tinggi darinya, dua kali lipat mungkin.

Tapi hebatnya, ia bisa menjangkau bakpao di dalam etalase, dan memanaskannya di dalam pemanas dalam gerobak.

"Kamu tahu yang mana manis, yang mana yang asin?" tanyaku terheran-heran karena ia sepertinya masih sibuk memilih-milih bakpao mana yang harus dijual untukku dengan alat penjepitnya.

"Tahu. Yang ada tanda merahnya itu manis, yang tidak ada tanda itu asin," jawabnya masih dengan suara pelan hingga mau tak mau aku harus mendekatkan diri ke arahnya.

Kulemparkan pertanyaan basa-basi saat ia berhasil memasukkan ke empat bakpao itu ke alat pemanas. "Kamu sama siapa di sini? Sendiri?"

"Sama Mama," jawabnya singkat.

"Mamamu mana?"

Ia menunduk dan kelihatan grogi saat akan menjawab pertanyaanku. "Ambil gerobak," tukasnya.

Oke. Lagi-lagi jawaban singkat, padat dan jelas. Memangnya obrolan seperti apa lagi yang kuharapkan dari anak-anak yang baru setinggi lenganku. Pembahasan tentang kehidupan? Pekerjaan? Ha-Ha!

"Umurmu berapa?"

"Delapan."

Seketika itu jantungku mencelos. Apa?! Delapan? Oke. Mungkin pada awalnya aku mengira dia berumur sepuluh dan berpostur kecil, seperti anak-anak kurang gizi atau memang terlahir pendek.

Tapi, aku menanyakannya sekali lagi sekadar untuk memastikan, dan ia menjawabnya dengan jawaban dan nada datar yang sama.

"Kamu masih sekolah?" tanyaku lagi. Ia menghadiahkanku sebuah anggukan pelan. Betapa leganya diriku, karena sempat terpikir bahwa anak-anak yang ditinggal untuk berjualan sendirian adalah tergolong anak-anak yang terancam putus sekolah.

"Sekolah di mana?" lanjutku.

"Bruder."

Gantian aku yang mengangguk-angguk. Not bad, batinku. Ia masih sanggup mengikuti pelajaran di sekolah swasta.
Tidak ada yang perlu kukhawatirkan kalau begitu.

Masih dalam proses menunggu, kukasih lagi satu pertanyaan yang mengganjal pikiran sedari tadi. "Mamamu ke mana, sih?" tanyaku dengan nada pelan, tapi masih terdengar sinis.

"Mama ambil gerobak air. Nanti bawa ke sini."

Aku terdiam. Berusaha mencerna jawabannya, sambil melihat ia yang sedang sibuk mengisi kecap manis dan sambal cair ke dalam plastik bening kecil, dan mengikat ujungnya dengan cekatan.

Ambil gerobak air? gumamku. Ambil ember berisikan air kali, ya? Sempat terbersit pemikiran seperti itu sebelum akhirnya menebak, "Mamamu jualan air minum?"

Anak itu mengangguk lagi dan membungkus bakpao-bakpaoku yang kelihatannya sudah hangat.

"Berapa semuanya?"

"Dua puluh delapan ribu."

Aku menyengir lebar saat ia menyorongkan kantong plastik itu ke arahku. Selain mandiri, pemberani, manis, ternyata ia juga pandai berhitung. Saat itu juga aku jahil dan menguji sedikit kemampuannya.

"Uangku tiga puluh ribu. Jadi kembali berapa?"

Dengan polosnya ia menjawab, "dua ribu, Kak."

Karena ia berhasil membuatku terkagum-kagum dan menyengir aneh sore ini yang pada awalnya berteriak-teriak kegerahan, aku memberinya sebuah hadiah kecil.

"Kembaliannya simpan aja, ya..."

Anak kecil itu mendongak dan tersenyum memamerkan gigi mungil seraya berkata, "Terima kasih."

Saat itu juga rasanya aku ingin berteriak, "Whuaaa! Senyum malaikaaat!"



-End-





NB : Maaf, itu cuma sepenggal cerita bermakna dan simpel yang ingin kubagi dengan kalian.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Di otakku terpatri senyuman anak itu terus-terusan. Alhasil, saya mendapat sebuah pemikiran aneh.

Mengapa ada anak berumur delapan tahun yang sebegitu mandirinya seperti dia?

Mengapa ia begitu berani berjualan?

Mengapa anak sekecil itu saja mampu bekerja membantu ibunya sedangkan banyak di luar sana, orang-orang dewasa atau anak-anak remaja yang masih sering menadahkan tangan ke orangtuanya meminta uang jajan?

Apa kalian tidak malu?

Coba lihat anak itu... apa kalian tidak merasa termotivasi untuk lebih mandiri dan tidak manja?
Anak itu bisa kok memilih bermain dengan anak-anak sepantaran dengannya ketimbang membantu berjualan. Tapi tidak, ia memilih membantu ibunya.

Satu yang jelas, ia melakukannya dengan senang hati. Tidak ada semburat keterpaksaan di wajahnya, tidak ada ketidak ikhlasan yang terpancar.
Tidak ada nada malas di dalam suaranya.
Jelas sekali terbaca bahwa ia melakukannya secara suka rela.

Well, di dalam benak, aku juga sempat bergumam, "Dia aja bisa! Masa kita enggak bisa, sih? Jangan mau kalah dong, ah! Kita juga bisa mandiri, kok!"

Seketika itu juga aku terkejut... sebenarnya, kejadian ini memang ada hikmah yang bisa diambil. Tapi, ada dua kesimpulan yang menggantung di benakku.

Jika kalian mengalami kejadian seperti ini, maksudku... If you were me, apakah kalian akan termotivasi untuk menjadi lebih mandiri seperti dirinya atau malah tidak mau kalah dari anak itu lalu mencoba hidup mandiri seperti dirinya?

Silakan dijawab di dalam hati masing-masing.
Jika sudah menjawab, kalian akan tahu karakter seperti apa yang ada pada diri kalian.
Seseorang yang bisa termotivasi atau malah seseorang yang hanya tidak mau kalah saja.


Sekian postingan hari ini.



PS : Semua kejadian di atas sebenarnya menggunakan  bahasa Tio Ciu (bahasa daerah).

16/08/2003. 19.13


10 comments:

Unknown said...

cerita yg ckup memotivasi :) silaturahmi juga dong ke blog saya www.fikrias.com

Unknown said...

Blogwalking bisa menambah keakraban [Warung Blogger]
Maka dari itu saya blokwalking :)
visitback : http://andre-freelife.blogspot.com/

Lia Chan said...

Thanks to you, both!!
Will visit soon.

Lia Chan said...
This comment has been removed by the author.
Cevaliana said...

Inspiratif :D

Kandi said...

Nice.. senyumku mirip senyum malaikat ga? Hehehe *jgn pingsan Lia wkwkwk

Kandi said...

Nice.. senyumku mirip senyum malaikat ga? Hehehe *jgn pingsan Lia wkwkwk

Evi Sri Rezeki said...

Itu NB-nya panjang :D

Banyak anak senasib dengan anak ini, tapi lebih baik berjualan daripada jadi peminta-minta :)

Unknown said...

Nice story... tapi ada yg masih mengganjal... katanya langganan kok bisa salah yang kenalin yang jual...?? hehehehe...

anggita said...

Aku suka cerita ini..
Bahkan orang dewasa saja masih bersungut-sungut ketika bekerja dan mengeluh tiada henti.
Oase yang menyenangkan membaca cerita ini :) thanks!