05 June, 2013

#4 Vow of Silence

Day 4.


Hari ke empat ini disponsori oleh sebuah cerpen random. 2406 kata. Tanpa judul. Awalnya sih mau aku kasih judul "Cewek!" tapi tidak terlalu bagus. Jadi... untitled saja. :))
Dan... cerpen ini sengaja kubuat untuk melatih karakter-karakter dalam ceritaku. Yang konon katanya, dalam setiap cerpen (milikku), karakterku belum begitu kuat. Jadi aku mencoba belajar.

So... here we go.



=================================




“Semua cowok itu brengsek!” maki Renie saat ia baru saja meletakkkan pantatnya di kursi kafe.
            Semua pengunjung kontan mencari arah suara itu, beberapa ibu-ibu yang duduk tak jauh dari sana langsung tersenyum kecut lalu dua detik kemudian kembali sibuk dengan obrolan mereka.
            “Kamu kenapa sih, Ren? Datang udah ngomel-ngomel aja. Yudi?” tebak Nami langsung.
            “Ya  iyalah. Siapa lagi,” sungut Renie. “Masa gua jadi korban friendzone sekarang. Sialan tuh cowok. Pengen gua bejek-bejek kepalanya.”
            Nami tertawa kecil. Dia paham betul kalau temannya pasti sedang patah hati yang entah keberapa kalinya. Tapi Nami tidak perlu khawatir karena temannya adalah gadis yang gampang pulih dari rasa sakit apapun, dia terlalu kuat.
Nami pun melanjutkan membaca e-book To Kill a Mocking Bird yang baru saja dia unduh. Mereka berdua memang sengaja datang ke kafe ini untuk memanfaatkan wifi. Nami menggunakannya untuk mengunduh beberapa e-book, kalau Renie untuk mengunduh lagu atau membuka akun twitternya. Mereka terlalu gengsi untuk pergi ke warnet, tapi terlalu kere buat membeli pulsa modem.
            “Kamu nggak mau cerita, nih?” tanya Nami membuka topik pembicaraan karena pusing melihat temannya menggerutu sendirian.
            “Entar ya. Gua pesen minum dulu. Haus. Angkot tadi ngadat setengah jam, bikin dehidrasi. Mana di dalamnya pada banyak yang burket. Hadeeeh!” omel Renie tak berhenti. Ia menyeka keningnya dengan tisu yang tersedia di atas meja lalu melambai ke arah pelayan yang kebetulan sedang mencatat pesanan di meja sebelah.
            Seperti biasa, kalau sudah menjelang akhir bulan Renie hanya memesan teh botol sosro alih-alih jus alpukat. Renie mengembuskan napas panjang lalu menggeser kursi, dekat ke arah Nami.
            Reni memulai ceritanya. “Dia bilang, dia belum siap pacaran. Lucu, kan? Kalau belum siap, kenapa gandeng-gandeng tangan gua waktu kencan di Ancol. Maksudnya apa sih? Lagi ngegandeng adek, maksudnya?”
            “Astaga!” teriak Nami dengan nada tertahan. Dia meletakkan Ipad-nya dan fokus memandangi wajah Renie. “Jadi kalian udah gandengan tangan gitu?” imbuhnya.
            Keterkejutan Nami sungguh di luar dugaan Renie. Renie merasa malu karena Nami megetahui hal ini, di samping itu dia sendiri pernah berikrar bahwa dia hanya akan bergandengan tangan dengan cowok saat berstatuskan pacar saja. Tapi kali ini, Renie harus menjilat ludahnya sendiri dan menutup rahasia itu erat-erat, soalnya dia juga sempat berciuman dengan Yudi.
            “Ya... biasalah, pas mau nyebrang, terus... pas mau masuk atau singgah ke mana gitu, dia narik tangan aku. It’s not a big deal, right? Beside, durasinya bentar aja, kok. Beneran,” Renie berusaha meyakinkan Nami bahwa dia bukanlah cewek genit yang mau-mau saja digandeng cowok. “Nggak bohong,” tambahnya.
            “Hemmm... Udah akrab banget. Terus, terus... kok bisa-bisanya dia ngungkapin kata-kata itu? Kamu nanya dia, Ren?” Nami mulai mengorek informasi dari Renie seperti ibu-ibu lincah yang bergosip.
            “Nggak kok! Gua nggak nembak dia. Gila lu,” Reni panik karena merasa terintimidasi.
“Lalu?”
“Kasih kode aja sih. Sebatas nanya, hubungan kita ini gimana... gitu. Nggak tahu lah, dud. Gua juga...,” Renie menghentikan kalimatnya sebentar ketika pelayan kafe menaruh minuman di atas meja. “Gua juga heran sama jalan pikiran Yudi. Jadi apa arti semua keakraban kami, coba? Jangan-jangan gua cuma pengusir rasa kesepian kali, ye?” lanjutnya.
            “Heemmm... bisa jadi sih, Ren. Tapi... kayaknya Yudi bukan tipe cowok yang manfaatin orang gitu, deh. Kalau memang niatnya cuma iseng, dia nggak bakalan lah rela datang jauh-jauh dari Bogor ke Jakarta cuma buat nemenin kamu ke Ancol, Dufan sama keliling Jakarta selama weekend. Idiih, kok dia itu so sweet banget, sih?”
            Renie menyeruput minumannya hingga habis tak bersisa. “Jadi menurut elu, Yudi ada perasaan gitu ke gua?”
            “Kurang tahu, deh... Cowok sekarang kan nggak bisa diprediksi lagi, Ren. Terlalu licin semuanya, kayak belut. Pandai banget berkelit.”
            “Nah, kan. Sepakat. Semua cowok emang sama aja!”
            No, no, no. Kevin-ku nggak begitu.”
            “Oke, oke. Terkecuali calon suami elu. Capek gua ngalamin hal kayak gini terus. Kapan coba dapat gebetan yang bener,” ratap Renie sambil memainkan bongkahan es batu dalam gelasnya
            “Lukas aja. Dia baik. Manajer, punya apartemen sendiri, kalem. Kurang apalagi?”
            “Nei. Dia nggak menantang. Kayak kerbau yang dicucuk hidungnya, nurut banget. Belum jadi pacar aja udah BBM gua tiap jam buat nanyain lagi di mana. Risih, cui.”
            Renie kembali terdiam. Sejenak dia mencoba menerawang, mencari ilham dan berpikir tentang nasibnya yang kurang beruntung dalam hal percintaan.
            “Lantas, mau cari yang kayak gimana?”
            “Yang kayak Yudi lah. Yudi itu smart! Independent! Itu yang ngebikin dia seksi.”
            Mau tidak mau Nami tertawa. Dia menertawakan persepsi Renie tentang karakter seksi.
            “Tapi pandai nge-PHP-in. Kok suka banget kamu sama yang beginian? Udah, kamu sama Lukas aja. Katanya target nikah umur 27, tapi masih milih-milih. Stok produk bagus mulai menipis, lho.”
            “Lu kira mereka HP? Lagian gua nggak suka sama Lukas. Kan gua pernah jalan sama dia dua kali. Tapi dianya nggak menarik, jadinya ngerasa bete banget. Menurut gua yah... minimal jadi orang itu harus menarik. Pintar dan tampang itu cuma nilai plus!” seru Renie tak mau kalah.
            Nami mengerutkan dahinya. Dia memang tidak pernah sepaham dengan Renie menyangkut masalah seperti ini. Menurut Nami, cowok baik, mapan dan bisa menyayangi itu sudah lebih dari cukup. Tapi temannya yang satu itu keras kepala dan tetap ingin mencari pasangan yang kualitasnya nomor satu dan harus ada chemistry. Prinsip Nami, cinta itu bisa dibangun seiring berjalannya waktu. Pertemuan intens, komunikasi lancar, perhatian lebih, dan rasa sayang yang tulus pasti bisa bikin hati klepek-klepek.
“Iya, tapi kan Lukas nggak bakalan bikin kamu sakit hati,” terang Nami membela Lukas. Walaupun sebenarnya tidak diminta, dan bahkan orangnya tidak ada di sini.
            “Iya, tapi kan gua nggak mau maksain diri buat pacaran ama dia. Ngebayangin musti ciuman ama dia aja eneg, kok.”
            “Hati-hati kalau ngomong, Ren. Mulut itu punya kuasa, lho. Bisa beneran jadi pacarnya entar.”
            “Ya bagus, dong! Memang itu yang gua butuhin. Gua memang berharap bisa suka sama Lukas, detik ini juga. Terus gua pacarin, minta dilamar.”
            Renie kemudian mengeluarkan ponsel dan sibuk membaca setiap tweet yang muncul di timeline-nya.  Sedangkan Nami, ia kembali meneruskan bacaannya yang sempat terhenti. Sifat kedua cewek ini memang bertolak belakang, tapi mereka tetap kompak dan saling mengisi. Terkadang, perbedaan itu memberikan arti yang lebih mendalam, tergantung bagaimana cara menggunakannya saja, begitu kata Nami.
            Dalam jeda 10 menit, mereka berdua tenggelam dalam dunianya masing-masing hingga teriakan Renie menyentak Nami.
            “Astaga!! Si Heri nikah tahun ini!” teriak Renie gelagapan.
            “Heri? Heri mana? Mantan kamu itu?” tanya Nami.
            Renie mengangguk sambil terus menatap layar ponselnya. Nami tahu bahwa Renie pasti sedang stalking akun twitter mantannya itu. Padahal Renie dan Heri tidak saling follow. Memang ini semacam bakat alami Renie saja dalam hal menguntit.
            “Cowok itu nggak bisa dipegang kata-katanya. Dulu aja bilangnya belum siap nikah. Sekarang belum pacaran setahun malah udah nikah.”
            Nami memutar bola matanya, mendengar Renie selalu menyetarakan semua pria di muka bumi ini sama brengseknya, namun ini terjadi hanya di saat dia sedang patah hati saja.
            Nami menyela. “Dulu kamu bilang Yudi itu berbeda. Sekarang gimana? Sama juga, dong?”
            Don’t judge a book by it’s cover. Atleast, it’s first chapter. Itu kata temen gua. Jadi... gua dulu memang belum gitu dekat dengan Yudi, dan segalanya memang kelihatan sempurna, sih. Eh tahu-tahu tetep aja sama.”
            “Cewek ya gitu yah... Giliran ada cowok baik di depan mata, dicuekin. Yang dikejar malah bad boy gitu. Nanti pas udah disakitin, aja. Bilangnya semua cowok sama aja brengseknya,” sindir Nami lalu mengikik melihat respon Renie.
Respon Renie memang terlalu kentara, dia melotot, sedikit tersinggung. Lalu memilih diam karena dia merasa apa yang dikatakan Nami memang ada benarnya juga, tapi tetap saja kalimat itu menohok hatinya.
“Untung Kevin-ku nggak gitu,” celetuk Nami dan membuat Renie tercengang. Kemudian dia menatap Nami lurus-lurus.
            “Siapa bilang?!! Kevin itu dulu raja PHP!” protes Renie.
            Nami terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Renie.
            “Masa sih?” Ada nada tak percaya dalam suara Nami.
Nami merasa tahu betul bahwa pacarnya itu cowok paling kalem yang pernah dia temui, makhluk paling tak berdosa. Mereka dulunya dicomblangin Renie.
Sekarang, Nami malah sedikit gusar karena predikat yang diberi Renie ke Kevin, yang notebene-nya memang lebih dulu mengenal Kevin. Otomatis, Renie tahu masa lalu Kevin. Percaya tidak percaya, Nami penasaran dengan alasan Renie menjuluki pacarnya seperti itu.
            Di depan Nami, Renie berusaha terlihat santai, tapi di dalam hatinya, dia memaki dirinya sendiri dengan serentetan kalimat kotor. Dia menyesal sudah keceplosan seperti itu. Renie kelihatan bingung. Antara harus jujur, atau berbohong menutupi masa lalu antara dia dan Kevin.
            “Ya... dulunya memang Kevin rada bandel dikit, sih. Semester awal kuliah gitu memang puncak-puncaknya cowok pada saingan ngoleksi mantan, kan?”
            “Kamu tahu dari mana?” desak Nami.
            Renie terkekeh-kekeh. Dia mengulur-ngulur waktu dengan memesan minuman lagi dan meminjam charger ke Nami. Tapi insting Nami mengatakan bahwa ada yang disembunyikan Renie, jadi Nami tidak bisa terkecoh dengan gerak-gerik Renie yang berusaha mengalihkan perhatiannya.
            “Jangan-jangan... kamu dulu sempat jadian dengan Kevin, ya?” tuduh Nami.
            Kepala Renie terantuk meja karena terkejut lantaran mendengar pertanyaan itu saat mencolokkan kabel charger di bawah meja.
            “Sembarangan kalau ngomong! Kami nggak jadian kok! Cuma emang sempet deket aja.” Renie membela diri, lalu mengutuk dirinya lagi karena tersadar sudah mengucapkan kalimat pengakuan.
            Kulit di jidat Nami langsung berkerut sekerut-kerutnya, alisnya menyatu dan bibirnya melengkung ke bawah. Rahangnya ikut mengeras. Tiba-tiba Nami merasa dibodohi selama ini. Harga dirinya seakan jatuh ke jurang paling dalam ketika mengetahui pacar dan sahabat baiknya sudah membohongi dia mentah-mentah. Renie memang pernah menyinggung bahwa Kevin dan dia sudah seperti saudara, serta membuktikan hubungan sahabat antar lawan jenis itu memang nyata adanya. Tapi, tetap saja kebohongan kecil itu melukai perasaannya.
            “Biasa aja kali responnya, Jeung,” ujar Renie anteng.
            “Biasa gimana? Kalian kok bisa ya nutupin hal ini dari aku. Udah gitu, selama ini aku macarin mantan gebetan kamu, dong?! Idiih, kok bisa sih kamu bohongin aku kayak gini, Ren?” Suara Nami mulai naik satu oktaf dan kemungkinan akan naik lagi bila Renie tidak menyaring perkataannya. Jadi kali ini Renie berusaha berpikir lagi sepuluh kali lipat sebelum berbicara.
            “Ya tapi kan, kami nggak ada hubungan apa-apa. Ya emang sih, pernah deket tapi kan nggak ada kelanjutan. Kami emang cocoknya jadi teman doang. Kok elu yang jadi emosi, sih?” tampik Renie.
            “Aku nggak emosi. Masalahnya...,” Nami terpaku sebentar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu kali hentakan panjang. “Masalahnya... kenapa harus ditutupin. Dulu kan aku udah sempat nanya. Apa Kevin itu cowok bekas gebetan kamu apa bukan. Kamunya bilang murni teman. Berarti kamu bohong, dong?” keluh Nami dengan lemah.
            Giliran Renie yang  emosi. Dia paling tidak suka dengan sifat Nami yang mulai menyebalkan kalau sudah menyangkut masalah Kevin. Nami memang sedikit mendewakan pacarnya. Maklum, Kevin itu pacar pertama Nami dan Nami adalah cewek normal pertama yang Kevin kencani. Menurut pengakuan Nami, Kevin adalah kebahagiaan dia. Sesederhana itu.
“Ya suka-suka gua dong mau jawab apa. Lagian, kalau memang dulu Kevin sempat ngegebet gua, terus sekarang elu illfeel? Terus nggak mau sama dia lagi? Gitu? Nggak penting banget sih.”
            Nami bungkam. Dia merasa sudah cukup mengajukan aksi protesnya lagi, dia bukan tipe yang langsung naik pitam dan berkoar-koar kalau marah. Jadi dia memilih diam, mencoba menetralkan emosinya. Nami hanya merasa sakit hati dengan sahabatnya sendiri. Memang Nami harus menerima masa lalu Kevin, tapi ada secuil perasaan aneh saat membayangkan Kevin pernah menaruh perasaan pada Renie. Sementara itu, timbul pertanyaan dalam diri Nami, apa Kevin bakalan masih suka dengan Renie kalau memang tidak ada dia di dalam hidup mereka?
            “Pasti mikir yang enggak-enggak, deh.” Renie memecahkan keheningan. Membuka obrolan lagi, takut Nami berkutat dengan pikiran yang aneh-aneh karena selama ini Nami memang selalu merasa insecure. Makanya, selama ini Renie spontan memilih diam, karena dia tahu sifat temannya yang sensitif dan terlalu lembut kalau sudah berkaitan dengan Kevin. Sekarang Renie menyesal sudah menyungkil rahasia ini ke permukaan.
            “Nggak,” jawab Nami bohong. Kemudian suasana hening lagi. Dua-duanya tidak berusaha melanjutkan obrolan lagi dalam beberapa menit. Hingga Renie yang merasa bersalah mencoba meminta maaf.
            Sorry, Dud. Gua nggak maksud bohongin elu. Tapi gua sama Kevin memang sepakat nggak mau ngasih tahu masalah ini karena memang nggak penting.”
            “Tapi bagi aku penting, Ren,” jawab Nami dengan suara parau.
            “Gua tahu elu paling nggak bisa nerima kebohongan. Bahkan, walau cuma secuil. Tapi, secara non verbal, tanpa perundingan, kami masing-masing kompak nggak mengungkit masalah ini. Memangnya itu salah, ya? Serius, deh. Gua paling anti nyakitin temen sendiri. Elu kan paling tahu kalau gua ini setia kawan, dud.”
            Hening lagi.
“Kevin... pernah bilang cinta ke kamu ...?”
            Renie menggeleng kuat-kuat. Dia memasang tampang “percaya padaku” dengan mantap.
            “Terus, kalian pernah gandengan juga? Kencan juga?”
            “Elu mulai insecure, ya?” tanya Renie.
            “Sedikit,” jawab Nami teramat pelan, hingga terdengar seperti berbisik.
            Renie tahu Nami sekarang sedang galau. Oleh karena itu, Renie mencoba meyakinkan sahabatnya itu agar tidak terus mendung. Dia takut hujan turun dari mata Nami. Nami termasuk cewek yang sensitif. Nonton serial drama Korea saja bisa menghabiskan tisu satu bungkus.
            “Denger, dud. Hapus semua pikiran elu yang macem-macem. Elu itu udah mau nikah. Jangan sampai masalah sepele ini ngerusak hubungan kita, dan ngerusak hubungan kalian. Yang penting kan sekarang, bukan masa lalu.”
            “Tapi...,”
            “Hih! Udah deh. Kok jadi awkward gini, sih?!”
            “Terus, kenapa kamu nggak mau jawab pertanyaan aku? Jangan-jangan-,” Nami menghentikan ucapannya.
            Renie mulai geram dengan Nami yang sudah berpikiran ajaib sedari tadi.
            “Duh, jangan mulai bersikap kayak cewek-cewek berotak udang, deh. Masa gara-gara cowok aja kita mesti berdebat, sih?”
Nami ingin menjawab, tapi mengurungkan niatnya. Jauh di dalam batinnya, dia juga merasa malu karena membesar-besarkan masalah ini. Tapi ada kalanya, dia merasa takut kehilangan Kevin. Dia takut suatu saat Kevin dan Renie jadian seperti yang ada di film-film. Apalagi Renie adalah gadis menarik yang gampang membuat lawan jenisnya kelimpungan dan jatuh hati. Seketika itu Nami merasa jijik dengan dirinya sendiri karena sudah iri dan cemburu dengan Renie.
Nami menghela napas panjang.
“Otak elu mulai error, ye? Jangan sampai gua ngamuk terus pesan sepuluh porsi makanan dan nyuruh elu bayar, nih?!” canda Renie berusaha mencairkan suasana. Dia memilih cara lain buat menenangkan hati Nami daripada harus berdebat dengannya.
            “Ihhh. Reni nyebelin, deh.”
            Renie dan Nami serempak tertawa, Renie ternyata berhasil mengubah mood sahabatnya. Sekarang Renie bisa sedikit bernapas lega.
            “Ternyata manusia itu bener-bener nggak sempurna, ya? Kadang pinter, kadang begok.”
            “Aku tersinggung, nih,” cibir Nami. “Tapi, ya udahlah, bodoh juga ya, tadi. Mikirin hal-hal kayak gitu. Ngutip dari anonymous, “at the end of the day, you wouldn't care if you're not their first, because all you want to be is become their last.” Iya, kan?”
            “Benar. So, bon hari ini... elu yang bayar ya, Dud?” Renie mengedip-ngedipkan matanya dengan genit.
            All hail conspiration!” pekik Nami tanpa peringatan dan untuk kedua kalinya, seluruh pengunjung menoleh ke arah mereka lagi. Renie tergelak melihat Nami yang tertawa malu di depannya.
           
 Fin...


23.41 / 4Jun

2 comments:

RD. Rengganis said...

aku suka seklumit kisah ini. tapi, masih ada penggunaan kata ganti yang belum konsisten. Kadang pakai aku, kadang gue. Tapi tetep suka kok :D

sama sepertimu, aku juga lagi punya proyek menulis setiap hari di blog. Semoga kita bisa selesaikan proyek itu :)) aamiin

kutunggu torehan kisah lainnya :)

Lia Chan said...

Iya... kalau Nami pakai "aku", sedangkan Renie pakai "gue"
Aku ingin membuat dua karakter yang berbeda tp bisa bersahabat.
Apa aku sudah sukses?

:))

Wow! Proyekku bukan menulis setiap hari di blog, tapi ada proyek tersendiri lagi.
Sedangkan menulis setiap hari di blog itu semacam report saja.

:))

Oke. Semoga niat kita tetap utuh hingga akhir bulan ini!!!