QV
Apartment. 132/283 Spring st, Melbourne.
“Angkat pantatmu, mate,” seru Phil sambil membenarkan dasinya.
Lemas, aku mengambil jas - milik Phil - dan memakainya. Aku memandangi diriku di cermin. Diam cukup lama. Sungguh, aku tidak tahu apakah aku benar-benar menginginkan hal ini. Pesta, tuksedo, champagne, obrolan “how much do you earn this year?” atau “sudah berapa wanita yang kautiduri minggu ini?” Membosankan. Aku hampir melepaskan jas hingga tiba-tiba suara lembut itu berdengung di benakku.
"Kalau ke pesta, usahakan pakai setelan jas biru tua, pilih kemeja putih. Hmmm, dasi abu-abu ini cocok untukmu. Kau pasti kelihatan tampan! Oh ya, aku menemukan tie clip ini di Tie Rack. Coba lihat. Bagaimana? Bagus tidak?”
“Apa benar harus pergi?” tanyaku pada diri sendiri dengan suara memelas.
Phil mengangguk. “Apa kau mau melewatkan kesempatan ini?”
Aku mengerang. Phil mendekati, memutar tubuhku dan menampar pipiku sampai aku mengerjap-ngerjapkan mata. “Dengarkan aku. Hari ini adalah hari yang tepat. Kalau kau terus menundanya, berbagai hal yang tak kausangka mungkin bisa terjadi. Percayalah. Semuanya pasti akan berjalan lancar.”
Kulirik kotak persegi beludru merah yang tergolek di atas kasur. Kalau saja kotak itu bisa berbicara, ia pasti akan berkata, “Bawa aku, Jack. Bawa aku kepadanya.”
Kurasakan semangat di dalam diriku terbakar lagi. Benar. Tidak boleh ada penundaan lagi. Tidak ada kata nanti. Lakukan saja dan biarkan semua mengalir.
Lemas, aku mengambil jas - milik Phil - dan memakainya. Aku memandangi diriku di cermin. Diam cukup lama. Sungguh, aku tidak tahu apakah aku benar-benar menginginkan hal ini. Pesta, tuksedo, champagne, obrolan “how much do you earn this year?” atau “sudah berapa wanita yang kautiduri minggu ini?” Membosankan. Aku hampir melepaskan jas hingga tiba-tiba suara lembut itu berdengung di benakku.
"Kalau ke pesta, usahakan pakai setelan jas biru tua, pilih kemeja putih. Hmmm, dasi abu-abu ini cocok untukmu. Kau pasti kelihatan tampan! Oh ya, aku menemukan tie clip ini di Tie Rack. Coba lihat. Bagaimana? Bagus tidak?”
“Apa benar harus pergi?” tanyaku pada diri sendiri dengan suara memelas.
Phil mengangguk. “Apa kau mau melewatkan kesempatan ini?”
Aku mengerang. Phil mendekati, memutar tubuhku dan menampar pipiku sampai aku mengerjap-ngerjapkan mata. “Dengarkan aku. Hari ini adalah hari yang tepat. Kalau kau terus menundanya, berbagai hal yang tak kausangka mungkin bisa terjadi. Percayalah. Semuanya pasti akan berjalan lancar.”
Kulirik kotak persegi beludru merah yang tergolek di atas kasur. Kalau saja kotak itu bisa berbicara, ia pasti akan berkata, “Bawa aku, Jack. Bawa aku kepadanya.”
Kurasakan semangat di dalam diriku terbakar lagi. Benar. Tidak boleh ada penundaan lagi. Tidak ada kata nanti. Lakukan saja dan biarkan semua mengalir.
“Kita bertemu di sana, oke? Rileks, Jack.”
Aku hanya mengangguk dan pepatah “que sera sera” tiba-tiba berdengung di telingaku.
*
Katz
Apartment. 160 Little Lonsdale St, Melbourne.
Tidak ada jawaban. Tiga kali memanggil lewat interkom, Amy Adams tetap tidak muncul. Satu jam lagi acara akan dimulai, pasti Amy sedang menghabiskan waktu di depan cermin hanya untuk memilih mana gaun yang bisa membuatnya terlihat ramping atau gaun yang tidak terlalu menonjolkan bokongnya.
“Pumpkin, menurutmu gaun yang hitam ini, atau yang biru laut ini lebih cocok untuk acara kita malam ini?” tanya Amy sambil mondar-mandir di kamar hanya mengenakan pakaian dalamnya.
“Biru saja,” jawabku datar, masih sibuk menyelesaikan sisa-sisa tugas building blueprint yang diberikan oleh Mr. Robert.
“Tapi belahan dadanya terlalu rendah. Aku takut pria-pria sibuk memandangi dadaku, bukannya konsen dengan-,”
“Hitam kalau begitu,” kupotong ocehan Amy dan ia malah menghadiahkanku tatapan dingin.
“Kau membuatku semakin bingung,” erang Amy.
Pusing dengan omelan Amy, aku bangkit dan menghampirinya. Kupeluk pinggang Amy yang montok itu.
“Asal jangan terlalu cantik saja, Sayang. Karena aku takut, aku membutuhkan tenaga ekstra untuk memohonmu agar tak meninggalkanku. Oke?”
Amy tersenyum lebar dan memberikanku kecupan singkat sebelum akhirnya kami lebih memilih menghabiskan akhir pekan di ranjang, bukannya menghadiri pesta amal yang diadakan kampus RMIT.
Sialan. Senyum yang tidak pernah bisa hilang dari benakku sampai sekarang.
Baru saja aku mau menekan bel lagi, pintu apartemen Amy tiba-tiba saja terbuka dan seseorang yang tidak kuharapkan muncul dari balik pintu.
Helen?!
Ia mengernyitkan dahi. Wajahnya penuh keterkejutan. Bukankah harusnya aku yang syok? Bukankah terakhir Amy dan Helen bertengkar hebat hanya gara-gara Amy menyuruhnya putus dari bartender sialan itu?
“Jack? Apa yang kaulakukan di sini?”
“Aku mau bertemu Amy. Apa dia ada?” tanyaku datar.
“Dia sudah pergi dengan temannya satu jam yang lalu."
“Oke. Terima kasih.”
“Tunggu!” teriak Helen saat aku membalikkan tubuh.
“Ya?”
“Kalian berdua...,”
Kupotong kalimatnya karena terburu-buru. “Maaf. Aku pergi dulu. Mungkin Amy sudah menungguku di sana.”
*
Kupandangi kotak beludru itu lebih lama dan membukanya. Ukurannya kecil sekali, bahkan hanya muat di jari kelingking saat mencobanya kemarin di Kush Diamond. Masalahnya terbesarnya sekarang adalah... bagaimana cara memberikannya? Apa baiknya saat makan malam di Bluestone atau di Tramcar?
Kalau... di Bluestone, ada kemungkinan semua orang heboh dan membuat Amy kikuk, atau di Tramcar Restaurant saat rute mobil melewati sungai Yarra? Tapi bagaimana kalau Amy menolaknya di tengah keramaian?
“Sial!! Melamar bahkan lebih susah daripada memberikan presentasi.”
"Kapan kau akan melamarku?” tanya Amy sambil tidur-tiduran di pahaku saat aku sedang membaca The Element of Typographic Style ketiga kalinya.
“Maumu kapan?”
“Sekarang.”
Kututup bukuku dan menunduk. Menatap langsung ke arah matanya, mengambil tangan dan mencium buku-buku jarinya.
“Baiklah. Amy Adams, maukah kau menjadi istriku dan mengurus ke sepuluh anak-anakku dan istana kita nantinya. Kemudian menyiapkan sarapan, makan malam, dan siap bercinta dengan suamimu kapanpun dia memintanya? Oh! Ayolah, bilang kalau kau bersedia! Ayo jawab Amy Adams!”
Amy tertawa, lalu menyeringai, memamerkan sederet gigi putih yang selalu ia banggakan.
“Permintaan macam apa itu? Sepuluh anak? Aku tidak sanggup harus hamil dan melahirkan sampai sepuluh kali.” Amy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ganti pertanyaan. Jack Reed, di manakah tempat yang akan kaukunjungi saat berbulan madu denganku?”
“Kau?”
“Aku? Aku sempat memikirkan beberapa tempat. Dan pilihanku jatuh pada Beara Peninsula dan Cottage Gardens di Stradbally. Irlandia selatan,” ujar Amy dengan wajah berseri-seri, seakan ia sudah memastikan bahwa itu adalah tempat yang pasti akan kami kunjungi.
Aku tidak tega berkata padanya bahwa kemungkinan danaku hanya cukup membawanya ke pantai St. Kilda di selatan, menginap di Esplanade dan hanya bermain di Luna Park.
“Playa Paraiso Beach, Kuba. Kita akan menghabiskan malam di sana. Sepanjang malam. Sepanjang malam. Besoknya juga, sepanjang hari. Hingga kau tak mampu berjalan lagi,” bohongku.
Amy hanya menggigit bibir. Ia menatapku sejenak dalam diam dan aku tidak bisa menebak jalan pikirannya.
*
Bluestone Restaurant and Bar. 349 Flinders Ln, Melbourne.
“Apa
ini?” tanyaku ke pelayan yang sedang berjaga di depan meja panjang bertaplak
putih polos, di sudut ruangan Bluestone.
Letaknya strategis sekali untuk para tamu yang datang tidak membawa pasangan, sedang kelaparan namun malu untuk menampakkan diri atau payah dalam bersosialisasi dengan yang lainnya kemudian bersembunyi di sudut ruangan mencicipi mini lamb burgers, mengintai para tamu, ditemani Frank Sinatra dan Antonio Carlos Jobim yang bersenandung merdu.
Seperti yang kulakukan sekarang. Aku termasuk kategori ketiga.
“Buttery Cheddar Biscuits, Tuan.”
Supaya tidak kelihatan sedang kelaparan, aku mengambil satu dan mengigitnya dengan pelan. “Ini enak. Kau yang buat?” tanyaku ke pelayan itu secara spontan.
Sial. Apa aku seperti laki-laki tukang ikut campur urusan orang dengan bertanya asal biskuit ini sehingga ia menatapku curiga? Aku kan hanya berbaik hati mengajaknya bicara.
“Bukan, Tuan. Apa Anda ingin mencoba American Caviar, Popcorn Ground Coffee, atau mungkin... Replace Carr’s Crackers?”
“Tidak usah. Terima kasih. Ini saja sudah cukup.”
Kemudian aku menenggak habis Lava Lamp Coctail dalam satu tegukan lalu melenggang menuju toilet untuk mencuci tanganku yang lengket terkena saos mini lamb burger yang kumakan tadi.
Saat mencuci tangan, aku bisa melihat pantulan diriku di cermin dengan gaya bak eksekutif muda – hampir - sukses karena sudah menjadi pegawai tetap di Architect EAT dengan gaji per tahun yang bisa membeli Eureka penthouse di Riverside dan menjadi pelanggan tetap MoVida Restaurant.
Segalanya akan terasa lebih lengkap kalau ada Amy.
Aku bahkan bisa melihat ia berdiri di sampingku sekarang lewat cermin di depanku, bergelayut manja di lenganku, menyapu wajahku dengan jarinya yang lentik dan tersenyum manis ke arahku. Aku tidak bisa berhenti membayangkan gadis itu belakangan ini kecuali saat aku tidur. Apakah aku mulai gila?
“Oke. Cukup sudah,” kataku pada diri sendiri. “Sekarang saatnya mencari Amy.”
*
Ini
gelas ke limaku dan saking frutrasinya tidak menemukan Amy di mana pun, aku
mengambil dua gelas The Stiletto cocktail lagi dari nampan yang dijajakan
pelayan ke sekeliling ruangan dan langsung meminumnya.
“Uuuurgh.”
“Uuuurgh.”
“Jack? Hentikan. Kau bisa mabuk kalau begini,” bisik Phil dengan nada teguran di dalamnya.
“Tapi aku tidak bisa menemukan Amy di manapun. Helen bilang dia pergi duluan, seharusnya dia sudah ada di sini!” balasku tak mau kalah.
“Pestanya belum selesai. Rileks saja. Cuci mukamu. Aku yakin kau tak mau Amy melihatmu dalam keadaan seperti ini,” bujuk Phil yang kedengarannya malah seperti menyuruh anak-anak untuk membersihkan diaper-nya sendirian.
“Oke. Oke. Oke, aku paham.”
Baru saja aku mau berjalan ke arah toilet, Phil menepuk bahuku, tiga kali dengan gerakan cepat.
“Dia ada di sini. Itu, dia sedang berdiri di pintu masuk,” ujar Phil sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagunya.
Kufokuskan pandanganku ke arah pintu. Buram. Kukedip-kedipkan mata dan menggelengkan kepala berusaha agar bayangan Amy yang pudar akan terlihat jelas.
Amy Adams berdiri dengan gaun satin biru dan selendang dengan warna senada tersampir di pundaknya sedang tertawa menyapa seseorang di dekatnya. Tapi bukan karena kecantikannya yang membuat lenganku jatuh lemas ke samping.
Amy Adams mengamit lengan seorang pria bertubuh tegap.
Sekelabat suara terombang ambing di benakku.
“Aku hanya akan menggandeng dua orang pria... seumur hidupku. Kau mau tahu siapa? Ayahku, dan kau. Kalian adalah dua pria yang paliiiing aku sayang.”
Jadi, kemungkinan besar pria itu adalah ayahnya, karena orang kedua yang disayanginya ada di sini.
“Jack, apa kau baik-baik saja?” suara Phil kedengaran seperti dengungan kumbang di kupingku.
“Pegang ini, Phil,” kataku sambil menyodorkan gelas ke Phil tanpa menoleh ke arahnya sama sekali karena mataku terpaku mati saat melihat pria di samping Amy mencium lehernya. Sekujur tubuhku langsung menegang.
Brengsek. Emosiku langsung naik dan menyebar ke seluruh penjuru urat nadiku. Belum pernah aku semarah ini. Tidak pernah sama sekali. Bahkan lebih marah jika dibandingkan blue print-ku yang siap dipresentasikan malah tersiram kopi oleh sikuku sendiri tanpa sengaja.
Hanya makan waktu lima detik bagiku untuk menyeberangi ruangan.
“Amy!” teriakku saat jarak kami hanya tertinggal tiga langkah.
Amy Adams menoleh. Ekspresi keterkejutan memanglah yang kuharapkan. Tapi aku ingin ada wajah bersalah juga di sana. Tapi tidak ada, hanya ada wajah keterkejutan lalu kembali datar.
“Jack...,”
Suara itu. Suara yang kudengar setiap pagi saat ia membangunkanku. Masih suara yang sama. Tapi bagaimana mungkin Amy malah bermesra-mesraan dengan pria lain di hadapanku. Persetan dengan semuanya, kutarik lengan Amy dengan kasar dan membuka pintu kaca di depanku dengan cepat.
“Jack! Lepaskan! Sakit, Jack!” rintih Amy.
“Aku akan melepaskanmu kalau kau memberikan penjelasan yang masuk akal tentang apa yang barusan aku lihat, M.”
“Hei! Lepaskan dia!” teriak seseorang di belakang kami. Suaranya baritonnya menggelegar.
“Diam kau!” bentakku ke arah pria itu tak kalah kencangnya.
“Aku bilang... lepaskan pacarku, atau aku hancurkan kepalamu sekarang juga!”
“Ger... Gerry sayang. Tidak apa-apa. Tinggalkan kami sebentar, karena... kami.. karena... ada yang harus kami bicarakan. Lima menit, okay?”
Pria itu bergeming. Kemudian Amy memberikan pandangan “percaya padaku” padanya dan ia langsung menurut. Sialan. Ini memuakkan. Belum lagi pandangan mata pria itu tak mau lepas dariku.
“Sekarang. Jelaskan padaku, M. Apa kau sudah gila? Apa kau selingkuh dariku? Jelaskan, M.”
“Apa yang kau bicarakan? Apa maksudmu dengan berselingkuh?”
“Aku tidak bodoh, M. Aku melihatmu bermesra-mesraan dengan laki-laki itu,” geramku.
“Tunggu... apa salahnya kalau aku bermesraan dengan pacarku sendiri?
“Apa maksudmu dengan pacar, M?!”
“Ada apa dengan dirimu, Jack? Kenapa kau bertingkah seperti ini?”
“Amy... Amy sayang,” panggilku sambil menangkup tangan di wajahnya dan langsung ditepis Amy dengan lembut. “Aku minta maaf, oke? Aku tahu aku salah waktu itu. Tapi... tapi... kau masih mencintaiku, M. Aku tahu itu.”
“Dua tahun lalu, Jack.”
“Tidak. Tidak mungkin,” ujarku panik, mulai mondar mandir di depan Amy. “Phil pernah bilang padaku, sewaktu aku diwisuda, kau masih datang ke acara wisudaku dan... dan... kau menangis. Iya. Aku yakin itu. Phil tidak mungkin bohong. Kau menangis karena kau masih mencintaiku, M.”
“Jack... Tolong. Jangan mempersulitku lagi. Iya, aku akui. Setahun lalu aku masih menginginkanmu. Tapi di mana kau selama setahun itu? Kau sibuk dengan semua proyekmu, kau melupakan janji temu orangtua kita karena blue print-mu yang sangat amat berharga tersiram air, lalu malah menyalahkanku yang meneleponmu terus-terusan dan menyebabkan kau menyenggol gelas kopimu di blue print-mu. Aku tidak sanggup, Jack. Aku tidak sanggup saat itu dan memilih menyerah.”
“Tidak, Amy. Tidak seperti itu. Maafkan aku, oke? Kita sudah berjanji hidup bersama selamanya. Kau tentu tidak lupa dengan janji-janji kita, M. Seharusnya kau lebih memahamiku. Aku berusaha mendapatkan proyek itu demi masa depan kita, M!”
“Bukan masa depan kita, tapi masa depanmu. Tidak ada kata “kita” lagi saat kau mengusirku dari apartemenmu karena kau menganggap aku menganggumu, Jack. Kenapa kau harus mengungkit masalah ini lagi. Ada apa denganmu, Jack?”
Tiba-tiba aku teringat dengan sesuatu. Kukeluarkan kotak beludru itu dari saku jas dan membukanya di depan Amy. Tanganku gemetaran. Emosi masih menyusup di setiap saraf tubuhku. Tapi reaksi Amy tidak seperti yang kuharapkan.
Amy mengangkat tangannya. “Ya Tuhan! Apa-apaan ini?”
“Menikahlah denganku, M. Aku tahu ini terlambat, tapi selama dua tahun ini, aku sudah menyiapkan semuanya untuk kita.”
“Kau sudah kehilangan akalmu, Jack. Kau jelas sudah gila. Apa yang kauharapkan lagi dari orang yang sudah kau enyahkan dari kehidupanmu dua tahun lalu, Jack. Astaga. Semua sudah terlambat.”
“Amy, katakan kau mencintaiku, M,” ujarku dengan suara serak.
Amy menatapku lurus ke kedua mataku mengunakan mata sayu penuh kasih sayangnya. Pandangan yang sangat aku rindukan.
“Jack... Ini sudah berakhir. Aku mohon, terima kenyataan bahwa kita sudah tidak bisa bersama lagi. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya.”
“Aku tidak pernah menginginkan hal ini. Tolong beri aku kesempatan, M. Aku mohon.”
“Aku... pernah... memberimu kesempatan, Jack. Seharusnya kau ingat itu.”
“Ini tidak boleh terjadi, M. Kau tahu betul kalau ini hanya cobaan kecil untuk hubungan kita. Kau tidak mungkin mencintai pria itu. Iya, kan?”
“Aku mencintainya, Jack. Dan kau tidak harus seperti ini. Maaf, aku harus pergi.”
Amy membalikkan tubuhnya, ia berjalan menjauh dengan cepat menuju pintu kaca borderless dan disambut oleh pria keparat itu. Saat pintu terbuka, alunan lagu When I Was Your Man – Bruno Mars menyusup keluar dari celah pintu itu.
♪Same
bed, but it feels just a little bit bigger now
Our
song on the radio, but it don't sound the same
When
our friends talk about you all that it does is just tear me down
Cause
my heart breaks a little when I hear your name
And
it all just sound like uh, uh, uh
♪Hmmm
too young, too dumb to realize
That
I should have bought you flowers and held your hand
Should
have gave you all my hours when I had the chance
Take
you to every party cause all you wanted to do was dance
Now
my baby is dancing, but she's dancing with another man
Amy menoleh lagi ke
belakang. Dan itulah terakhir kalinya aku melihat Amy.
*The End*
*The End*
3 comments:
I love this...
I hope i can be Amy one day :)
Blogwalking! Keep posting ya...
Sungguh seperti membaca cerita terjemahan. Diksinya apik dan lugas. Nice story. Btw, helookkk where have you been it's been two years gituh! gosh!
Post a Comment