14 March, 2013

Dear You #4

Dear You #4

Yesung POV

“Baca, tidak, baca, tidak, baca, tidak… baca?” Suara parauku bergema di dalam kamar mandi saat menghitung jumlah perlengkapan pembersih wajahku untuk menentukan pilihan.
Kemudian hening.
Kugelengkan kepala kuat-kuat. Tapi rasa penasaran ini kembali menggerogoti pikiran saat aku berniat fokus menggosok gigi. Belum pernah aku se-dilema ini. Tunggu, bukankah ini cuma ponsel, bukan brankas? Lagipula apa yang harus kutakuti? Hyunah juga tidak akan tahu kan? Kurasa tidak perlu membesar-besarkan masalah ini.
"Maafkan aku, Hyunah-ya, sebenarnya aku bukan lelaki plin-plan. Hanya saja, ponselmu memang sangat menggoda. Imanku tak cukup kuat menahan rasa ingin tahuku kali ini.”
Kusentuh layar ponsel pipih itu dan menggeser jempolku ke kanan, membuka kunci ponsel Hyunah. Ceroboh sekali anak ini. Seharusnya ia menggunakan password agar ponselnya tidak bisa dibuka orang lain. Dan yang kudapati saat membuka ponselnya adalah wallpaper foto dirinya yang memeluk boneka beruang dan menggenggam sekuntum bunga mawar. Cantik sekali. Bukan, bukan bunganya yang cantik, tapi Hyunah.
Matanya besar dan bulat, cocok dengan wajahnya yang berbentuk oval. Bulu matanya juga panjang, aslikah itu? Bibir yang merah ranum, mengingatkanku pada warna buah cherry. Namun ada satu hal yang tidak berubah dari dirinya selama 14 tahun ini.
Ya, senyumnya. Senyuman yang tak bernilai dan mampu menentramkan hati. Seakan senyumnya mampu mengikis kepedihan dan memberikan kebahagiaan. Seulas senyum yang dapat memberikan kesejukan dalam keputusasaan, bahkan walau hanya semenit. Oh Tuhan, kenapa aku tak pernah bisa melupakannya barang sedikit pun. Ini benar-benar tidak adil.
Yang menjadi pertanyaan besar dalam otakku adalah bunga yang ia pegang. Kenapa hanya setangkai? Pemberian siapa? Pacarnya? Pelit sekali pria itu. Kalau aku, sudah pasti akan kubuatkan taman bunga untuknya. Atau jangan-jangan itu bunga yang ia tanam sendiri? Setahuku Hyunah bukan tipe orang yang suka bunga mawar, ia tak suka bunga yang kelopaknya bertumpuk. Hyunah hanya suka bunga lily putih yang melambangkan kesederhanaan. Sesuai dengan kriterianya sendiri.
"Aa!" teriakku kaget karena ponsel Hyunah tiba-tiba bergetar dan melantunkan lagu One Man milik Kim Jongkook, yang sebenarnya juga pernah kunyanyikan. Hampir saja ponselnya jatuh ke wastafel kalau aku tidak sigap.
Minah is calling.
Ini pasti teman Hyunah. Baiklah, ada baiknya aku angkat saja. Mungkin ia tahu keberadaan Hyunah.
“Halo?” jawabku ragu.
Hening. Tidak ada jawaban.
“Ha... halo?” ulangku.
Ya! Siapa kau?!” teriak si penelepon, membuatku harus menjauhkan kuping dari ponsel.
“Anda tidak perlu berteriak seperti itu. Saya bukan orang jahat.”
Kalau kau bukan orang jahat. Kenapa kau mengangkat telpon ini. Ini kan bukan ponselmu. Siapa kau? Maling, ya?
Aku tertawa. Lelucon macam apa ini. Kalau aku maling, sudah kubuang sim card ini lalu menjualnya. “Kenapa saya harus memberitahumu siapa diriku?”
Kau benar-benar menyebalkan. Tentu saja aku harus tahu! Ini ponsel temanku. Ia menghilangkannya entah ke mana. Dan kau pasti memungutnya. Kalau bukan maling, kenapa kau tidak mau mengembalikannya?”
Oh jadi Hyunah menyuruhnya untuk menelpon. Kenapa ia tak menelponnya sendiri?
Kenapa kau diam? Ya! Kau ada di mana sekarang? Kembalikan ponsel temanku!” bentak si gadis galak. Ia membuat gendang telingaku mau pecah!
“Maaf, apa teman Anda ada di sampingmu? Bisakah saya bicara sebentar dengannya?”
Terdengar suara ribut di seberang sana, namun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Hingga tiba-tiba suara lembut itu menyapaku.
Eh... halo... Ini aku. Si pemilik ponsel. Aku ingin ponselku kembali. Secepatnya. Cukup beritahu di mana aku bisa mengambilnya.”
“Benarkah Anda Hyun Ah-ssi?”
I-iya... ada apa? Tunggu sebentar. Bagaimana kau bisa tahu namaku? Kau mengenalku? Siapa kau?” rentetan pertanyaan terlontar dari bibir Hyunah.
Aku mengikik tertahan dan menutup mulut agar tawaku tidak tersembur keluar.
“Hei, monyet kecil. Dengarkan baik-baik karena aku hanya akan mengucapkannya sekali saja. Besok jam 2 siang, temui aku di Mobit cafe. Selamat malam.”
Kuputuskan sambungan telpon dan langsung tersenyum lebar. Aku tahu, aku pasti akan bertemu denganmu lagi, Hyunah. Aku percaya itu.
*
Kuletakkan kedua tangan di dalam saku mantelku yang hangat dan tersenyum. Klik. Berikutnya aku mengubah gaya dengan melipat tanganku di dada lalu tersenyum lagi. Klik. Kukenakan penutup telinga berbulu putih dan bergaya kedinginan dengan menyunggingkan senyum miring. Klik.
“Yesung-ssi, hari ini kau kelihatan sangat... berbeda. Ada apa denganmu? Kau menang lotre?” tanya Daehyun yang tengah mengarahkan lensa kameranya ke arahku.
Aku mengedikkan bahu. “Entahlah,” jawabku datar.
Saat ini aku sedang menjalani sesi pemotretan untuk iklan winter coats karya Designer Park. Entahlah, aku tidak tahu mengapa hari ini begitu bersemangat. Bukan karena honor yang diberikan sangat tinggi. Mungkin karena hari ini agendaku hanya pemotretan dan selebihnya bebas. Atau mungkin karena ada janji dengan Hyunah.
“Hmm... Coba kutebak... Apa karena kali ini kau dipasangkan dengan gadis cantik di sampingmu?” Pertanyaan Daehyun membuyarkan konsenterasiku.
Aku menoleh ke samping kiri. Astaga, Park Gain. Saking fokusnya aku hampir lupa bahwa Gain menjadi pasanganku di sesi ini. Tumben Gain tidak begitu berisik, membuatku lupa dengan keberadaannya.
Ya, harus kuakui, Park Gain memang sangat cantik dan seksi. Ia berhasil menggeser posisi Yoora sebagai selebriti terseksi tahun 2012. Bahkan Sungmin saja tergila-gila padanya. Sayang sekali, Gain bukan tipeku.
“Siapa? Dia?” tanyaku iseng lalu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang seakan berkata “yang benar saja”. Tidak memedulikan seluruh kru yang menatap keheranan, aku tetap tertawa hingga napasku tersengal-sengal. Kuhentikan tawa detik itu juga, sadar bahwa ini sedikit keterlaluan.
Oppa!” protes Gain dengan wajah cemberut. Kentara sekali ia terlihat malu.
“Maaf. Aku tidak bermaksud begitu,” kataku ke Gain. Gawat kalau ia marah, bisa-bisa ia mengacaukan sesi pemotretan siang ini. Gain terkenal sebagai artis paling moody se-Korea Selatan. “Aku hanya tertawa melihat ekspresimu.”
“Memangnya ada apa dengan ekspresiku?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Lupakan saja.” Kugeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum kecut. “Hyeong, mari kita selesaikan secepatnya. Aku lapar.”
Oppa lapar? Aku juga lapar. Setelah ini aku tidak ada jadwal. Kita makan bersama saja. Bagaimana?” tanya Gain sambil bergelayut manja di lenganku. Seandainya yang ada di hadapanku saat ini adalah Hyunah, sudah pasti aku akan mengelus pipinya dan berkata iya.
“Aku sudah ada janji. Lain kali saja.”
Oppa...” Gain menggeram. “Batalkan saja janjimu. Demi aku, oke?”
“Tidak bisa. Janjiku sangat penting.” Sejurus kemudian Gain mengendurkan gandengannya. Ia menyipitkan mata, memberikan tatapan penuh selidik seakan aku sedang berbohong.
“Ya. Bukannya Oppa tidak ada teman selain Kkoming? Oh, oppa mau ajak Kkoming ke salon? Aku ikut, ya? Aku rindu dengan Kkoming,” ujarnya manja.
“Sejak kapan kau rindu dengan anjing? Bukannya kau alergi dengan binatang berbulu?” tanyaku dengan nada tak percaya. Kelihatan sekali Gain hanya ingin mencari kesempatan untuk bisa bersamaku.
Oppaaa...,” rengek Gain sambil merengut. Aku tahu bahwa ia tahu aku sedang berbohong.
Aku diam. Tak berniat merespon.
Gain membatu. Aku sangat tahu kenapa ia bereaksi seperti itu. Ia tidak suka bila seseorang menolak ajakannya. Ia tidak suka bila keinginannya tidak terpenuhi. Tapi aku tidak mengindahkannya, tidak punya banyak waktu untuk meladeni gadis manja seperti Gain.
Hyeong, kita lanjutkan?”
"Baiklah. Soora, tolong kau perbaiki make up Gain dan Yesung!” teriak Daehyun.
“Kau janji dengan siapa, Oppa? Laki-laki atau perempuan?" tanya Gain dengan rahang terkatup rapat dan pelan seperti mendesis. Namun aku tahu itu jika aku menjawab satu pertanyaan, Gain pasti akan memberondongku dengan ribuan pertanyaan lainnya. Ia selalu mau tahu urusanku.
“Itu bukan urusanmu,” jawabku datar.
“Tentu saja ini urusanku!” Nada suara Gain meninggi. Ia mulai kehilangan kontrol, dan setelah ini, aku yakin ia akan meletup-letup dan marah. Soora yang saat itu sedang membetulkan make-up Gain pun terkesiap.
“Kau mau melanjutkan sesi ini atau tidak?” tanyaku dongkol.
Gain bergeming. Bibirnya berkedut-kedut, merasa tersinggung dengan pertanyaanku. Aku heran, kenapa gadis bertemperamen tinggi seperti ini bisa jadi artis.
“Oh ya, Yesung-ssi, ponsel yang kautitipkan padaku berdering hingga belasan kali. Apa mungkin kau mau menerimanya? Kurasa ini penting.” Soora menyodorkan ponselnya dari dalam saku.
Ponsel Hyunah, dan betul juga, beberapa detik kemudian ponselnya berdering lagi.
Minah is calling.
Aku menjauh dari Soora dan Gain beberapa meter untuk mengangkat telepon ini. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di belakangku. Aku berdeham dan mengangkatnya.
“Halo?”
"Kau di mana?" tanya Hyunah ketus.
“Aku sedikit terlambat. Tunggu aku di ruangan kemarin. Jongjin sudah tahu tentang hal ini. Sebentar lagi aku akan sele–,” sambungan telpon terputus bahkan sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. Kenapa Hyunah mematikan telpon seperti itu?
“Itu siapa?”
“Astaga!” Aku terperanjat saat Ga In tiba-tiba berada di belakangku dengan ekspresi wajahnya yang tak bisa kupahami. Kupegang dadaku yang berdebar keras. Jantungku mencelos dan kurasa hampir jatuh ke usus. Untung saja aku tidak mengatakan apa-apa, terlebih lagi tempat di mana aku mengajak Hyunah bertemu. “Bukan. Bukan siapa-siapa,” jawabku kaku seakan tertangkap basah melakukan kesalahan.
Ga In menyunggingkan senyumnya, berdecak sebal lalu membalikkan tubuhnya. Apa Ga In curiga? Ah, masa bodoh.
*
Kulepaskan kacamata hitamku dan menghela napas, menetralkan degupan jantungku yang semakin kencang. Normalkah ini? Sela-sela jemariku berkeringat saat mendorong pintu kaca framless itu dan kakiku terasa berat saat akan melangkah masuk. Perasaan ini sama seperti ketika aku debut pertama kali di panggung. Hanya tidak terlalu parah. Padahal ini bukan pertama kalinya aku bertemu seorang gadis, hanya pertemuan singkat, basa-basi lalu berpisah. Yang membedakan adalah gadis yang akan kutemui ini pernah singgah di hatiku belasan tahun yang lalu, dan sampai saat ini aku masih membiarkannya ada di dalam tanpa ada niat mengusirnya.
Hyeong!” seru Jongjin dari balik konter. Ia terlihat tersenyum berseri-seri memamerkan sederet gigi putihnya. Ini bukan ekspresi normal Jongjin. Aku yakin seyakin-yakinnya!
Saat mendekati konter dan masuk lewat pintu samping, kulihat Jongjin masih tersenyum seperti orang yang habis menang lotre. Terakhir Jongjin tersenyum seperti itu saat ia menerima cokelat dari gadis yang ia suka - walau sebenarnya itu hanya cokelat kewajiban. Aku tidak menghiraukannya dan berpura-pura mengecek laci kasir. Melihat tumpukan uang di dalam yang berarti hari ini ramai seperti biasanya. Biasanya aku berniat menghitungnya, tapi sekarang otakku sudah dipenuhi oleh Hyunah.
Hyeong, Noona sudah menunggumu lama di dalam. Kau tidak langsung menghampirinya?” tanya Jongjin spontan.
“Oh, ya?” Mau tidak mau aku harus berpura-pura memberi respon kaget yang terdengar biasa saja supaya Jongjin tidak mengejekku.
Jongjin mengangguk cepat, memasang tampang serius. “Sudah empat gelas kopi. Black coffee.”
Peringatan kecil dari Jongjin membuatku terguncang. Sudah selama itukah Hyunah menunggu? Kalau tidak menjaga gengsiku, mungkin aku sudah berlari dengan kecepatan penuh menuju ruanganku. Dengan pelan, kututup laci dan dengan berlagak santai mengambil segelas air mineral, meneguknya sampai habis dalam hitungan detik. Kuambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Tidak berhasil. Detak jantungku tidak bisa berdetak normal lagi.
Hyeong...,” panggil Jongjin pelan. “Kau gugup, ya?”
“Aku? Tidak. Siapa yang gugup?”
“Hanya orang gugup yang meminum habis segelas air penuh dengan sekali tegukan. Lihat, tanganmu juga bergetar.”
“Ya! Tenggorokanku kering dan tanganku tidak bergetar.” Kutaruh gelas di meja dan mencuri pandang ke arah tanganku sendiri. Jongjin memang terlahir teliti. Aku bahkan tidak sadar tanganku bergetar seperti ini.
“Kau selalu menyangkal. Pergilah, Noona sudah menunggumu.” Jongjin mendorongku seakan-akan ia sendiri yang tak sabar bertemu dengan Hyunah. Padahal aku lebih tak sabar lagi. Aku sudah menunggu pertemuan ini sejak seabad yang lalu!
“Kau sungguh cerewet,” gerutuku pelan. “Aku bisa pergi tanpa kau suruh.”
Jongjin tertawa geli.
Noona? Noona siapa, Jongjin?” Terdengar suara yang sangat kuhapal di luar kepala, dari arah belakang.
Benar saja, saat aku dan Jongjin sontak membalikkan tubuh, kulihat seseorang yang paling tidak ingin kutemui saat ini.
Park Gain bertengger manis di konter sambil menopang dagu.
Oke. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi seandainya aku bisa menghentikan jantungku, aku ingin mencabut jantungku sekarang. Ya, detik ini juga.

- to be continue-




1 comment:

owner said...

Good job, beb :*