Yesung POV
“Baca,
tidak, baca, tidak, baca, tidak… baca?” Suara parauku bergema di dalam kamar
mandi saat menghitung jumlah perlengkapan pembersih wajahku untuk menentukan
pilihan.
Kemudian
hening.
Kugelengkan
kepala kuat-kuat. Tapi rasa penasaran ini kembali menggerogoti pikiran saat aku
berniat fokus menggosok gigi. Belum pernah aku se-dilema ini. Tunggu, bukankah
ini cuma ponsel, bukan brankas? Lagipula apa yang harus kutakuti? Hyunah juga
tidak akan tahu kan? Kurasa tidak perlu membesar-besarkan masalah ini.
"Maafkan
aku, Hyunah-ya, sebenarnya aku bukan lelaki plin-plan. Hanya saja, ponselmu
memang sangat menggoda. Imanku tak cukup kuat menahan rasa ingin tahuku kali
ini.”
Kusentuh
layar ponsel pipih itu dan menggeser jempolku ke kanan, membuka kunci ponsel
Hyunah. Ceroboh sekali anak ini. Seharusnya ia menggunakan password agar
ponselnya tidak bisa dibuka orang lain. Dan yang kudapati saat membuka
ponselnya adalah wallpaper foto dirinya yang memeluk boneka beruang dan
menggenggam sekuntum bunga mawar. Cantik sekali. Bukan, bukan bunganya yang
cantik, tapi Hyunah.
Matanya
besar dan bulat, cocok dengan wajahnya yang berbentuk oval. Bulu matanya juga
panjang, aslikah itu? Bibir yang merah ranum, mengingatkanku pada warna buah
cherry. Namun ada satu hal yang tidak berubah dari dirinya selama 14 tahun ini.
Ya,
senyumnya. Senyuman yang tak bernilai dan mampu menentramkan hati. Seakan
senyumnya mampu mengikis kepedihan dan memberikan kebahagiaan. Seulas senyum
yang dapat memberikan kesejukan dalam keputusasaan, bahkan walau hanya semenit.
Oh Tuhan, kenapa aku tak pernah bisa melupakannya barang sedikit pun. Ini
benar-benar tidak adil.
Yang
menjadi pertanyaan besar dalam otakku adalah bunga yang ia pegang. Kenapa hanya
setangkai? Pemberian siapa? Pacarnya? Pelit sekali pria itu. Kalau aku, sudah
pasti akan kubuatkan taman bunga untuknya. Atau jangan-jangan itu bunga yang ia
tanam sendiri? Setahuku Hyunah bukan tipe orang yang suka bunga mawar, ia tak
suka bunga yang kelopaknya bertumpuk. Hyunah hanya suka bunga lily putih yang
melambangkan kesederhanaan. Sesuai dengan kriterianya sendiri.
"Aa!"
teriakku kaget karena ponsel Hyunah tiba-tiba bergetar dan melantunkan lagu One
Man milik Kim Jongkook, yang sebenarnya juga pernah kunyanyikan. Hampir saja
ponselnya jatuh ke wastafel kalau aku tidak sigap.
Minah is calling.
Ini
pasti teman Hyunah. Baiklah, ada baiknya aku angkat saja. Mungkin ia tahu
keberadaan Hyunah.
“Halo?”
jawabku ragu.
Hening.
Tidak ada jawaban.
“Ha...
halo?” ulangku.
“Ya! Siapa kau?!” teriak si penelepon,
membuatku harus menjauhkan kuping dari ponsel.
“Anda
tidak perlu berteriak seperti itu. Saya bukan orang jahat.”
“Kalau kau bukan orang jahat. Kenapa kau
mengangkat telpon ini. Ini kan bukan ponselmu. Siapa kau? Maling, ya?”
Aku
tertawa. Lelucon macam apa ini. Kalau aku maling, sudah kubuang sim card ini
lalu menjualnya. “Kenapa saya harus memberitahumu siapa diriku?”
“Kau
benar-benar menyebalkan. Tentu saja aku harus tahu! Ini ponsel temanku. Ia
menghilangkannya entah ke mana. Dan kau pasti memungutnya. Kalau bukan maling,
kenapa kau tidak mau mengembalikannya?”
Oh
jadi Hyunah menyuruhnya untuk menelpon. Kenapa ia tak menelponnya sendiri?
“Kenapa
kau diam? Ya! Kau ada di mana sekarang? Kembalikan ponsel temanku!” bentak si
gadis galak. Ia membuat gendang telingaku mau pecah!
“Maaf,
apa teman Anda ada di sampingmu? Bisakah saya bicara sebentar dengannya?”
Terdengar
suara ribut di seberang sana, namun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Hingga tiba-tiba suara lembut itu menyapaku.
“Eh... halo... Ini aku. Si pemilik ponsel.
Aku ingin ponselku kembali. Secepatnya. Cukup beritahu di mana aku bisa
mengambilnya.”
“Benarkah
Anda Hyun Ah-ssi?”
“I-iya... ada apa? Tunggu sebentar. Bagaimana
kau bisa tahu namaku? Kau mengenalku? Siapa kau?” rentetan pertanyaan
terlontar dari bibir Hyunah.
Aku
mengikik tertahan dan menutup mulut agar tawaku tidak tersembur keluar.
“Hei,
monyet kecil. Dengarkan baik-baik karena aku hanya akan mengucapkannya sekali
saja. Besok jam 2 siang, temui aku di Mobit cafe. Selamat malam.”
Kuputuskan
sambungan telpon dan langsung tersenyum lebar. Aku tahu, aku pasti akan bertemu
denganmu lagi, Hyunah. Aku percaya itu.
*
Kuletakkan
kedua tangan di dalam saku mantelku yang hangat dan tersenyum. Klik. Berikutnya
aku mengubah gaya dengan melipat tanganku di dada lalu tersenyum lagi. Klik.
Kukenakan penutup telinga berbulu putih dan bergaya kedinginan dengan
menyunggingkan senyum miring. Klik.
“Yesung-ssi, hari ini kau kelihatan sangat...
berbeda. Ada apa denganmu? Kau menang lotre?” tanya Daehyun yang tengah
mengarahkan lensa kameranya ke arahku.
Aku
mengedikkan bahu. “Entahlah,” jawabku datar.
Saat
ini aku sedang menjalani sesi pemotretan untuk iklan winter coats karya
Designer Park. Entahlah, aku tidak tahu mengapa hari ini begitu bersemangat.
Bukan karena honor yang diberikan sangat tinggi. Mungkin karena hari ini
agendaku hanya pemotretan dan selebihnya bebas. Atau mungkin karena ada janji
dengan Hyunah.
“Hmm...
Coba kutebak... Apa karena kali ini kau dipasangkan dengan gadis cantik di
sampingmu?” Pertanyaan Daehyun membuyarkan konsenterasiku.
Aku
menoleh ke samping kiri. Astaga, Park Gain. Saking fokusnya aku hampir lupa
bahwa Gain menjadi pasanganku di sesi ini. Tumben Gain tidak begitu berisik,
membuatku lupa dengan keberadaannya.
Ya,
harus kuakui, Park Gain memang sangat cantik dan seksi. Ia berhasil menggeser
posisi Yoora sebagai selebriti terseksi tahun 2012. Bahkan Sungmin saja
tergila-gila padanya. Sayang sekali, Gain bukan tipeku.
“Siapa?
Dia?” tanyaku iseng lalu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang seakan berkata “yang
benar saja”. Tidak memedulikan seluruh kru yang menatap keheranan, aku tetap
tertawa hingga napasku tersengal-sengal. Kuhentikan tawa detik itu juga, sadar
bahwa ini sedikit keterlaluan.
“Oppa!” protes Gain dengan wajah
cemberut. Kentara sekali ia terlihat malu.
“Maaf.
Aku tidak bermaksud begitu,” kataku ke Gain. Gawat kalau ia marah, bisa-bisa ia
mengacaukan sesi pemotretan siang ini. Gain terkenal sebagai artis paling moody
se-Korea Selatan. “Aku hanya tertawa melihat ekspresimu.”
“Memangnya
ada apa dengan ekspresiku?”
“Tidak.
Tidak ada apa-apa. Lupakan saja.” Kugeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum
kecut. “Hyeong, mari kita selesaikan
secepatnya. Aku lapar.”
“Oppa lapar? Aku juga lapar. Setelah ini
aku tidak ada jadwal. Kita makan bersama saja. Bagaimana?” tanya Gain sambil
bergelayut manja di lenganku. Seandainya yang ada di hadapanku saat ini adalah
Hyunah, sudah pasti aku akan mengelus pipinya dan berkata iya.
“Aku
sudah ada janji. Lain kali saja.”
“Oppa...” Gain menggeram. “Batalkan saja
janjimu. Demi aku, oke?”
“Tidak
bisa. Janjiku sangat penting.” Sejurus kemudian Gain mengendurkan gandengannya.
Ia menyipitkan mata, memberikan tatapan penuh selidik seakan aku sedang
berbohong.
“Ya.
Bukannya Oppa tidak ada teman selain
Kkoming? Oh, oppa mau ajak Kkoming ke salon? Aku ikut, ya? Aku rindu dengan
Kkoming,” ujarnya manja.
“Sejak
kapan kau rindu dengan anjing? Bukannya kau alergi dengan binatang berbulu?”
tanyaku dengan nada tak percaya. Kelihatan sekali Gain hanya ingin mencari
kesempatan untuk bisa bersamaku.
“Oppaaa...,” rengek Gain sambil merengut.
Aku tahu bahwa ia tahu aku sedang berbohong.
Aku
diam. Tak berniat merespon.
Gain
membatu. Aku sangat tahu kenapa ia bereaksi seperti itu. Ia tidak suka bila
seseorang menolak ajakannya. Ia tidak suka bila keinginannya tidak terpenuhi.
Tapi aku tidak mengindahkannya, tidak punya banyak waktu untuk meladeni gadis
manja seperti Gain.
“Hyeong, kita lanjutkan?”
"Baiklah.
Soora, tolong kau perbaiki make up Gain dan Yesung!” teriak Daehyun.
“Kau
janji dengan siapa, Oppa? Laki-laki
atau perempuan?" tanya Gain dengan rahang terkatup rapat dan pelan seperti
mendesis. Namun aku tahu itu jika aku menjawab satu pertanyaan, Gain pasti akan
memberondongku dengan ribuan pertanyaan lainnya. Ia selalu mau tahu urusanku.
“Itu
bukan urusanmu,” jawabku datar.
“Tentu
saja ini urusanku!” Nada suara Gain meninggi. Ia mulai kehilangan kontrol, dan
setelah ini, aku yakin ia akan meletup-letup dan marah. Soora yang saat itu
sedang membetulkan make-up Gain pun terkesiap.
“Kau
mau melanjutkan sesi ini atau tidak?” tanyaku dongkol.
Gain
bergeming. Bibirnya berkedut-kedut, merasa tersinggung dengan pertanyaanku. Aku
heran, kenapa gadis bertemperamen tinggi seperti ini bisa jadi artis.
“Oh
ya, Yesung-ssi, ponsel yang
kautitipkan padaku berdering hingga belasan kali. Apa mungkin kau mau
menerimanya? Kurasa ini penting.” Soora menyodorkan ponselnya dari dalam saku.
Ponsel
Hyunah, dan betul juga, beberapa detik kemudian ponselnya berdering lagi.
Minah is calling.
Aku
menjauh dari Soora dan Gain beberapa meter untuk mengangkat telepon ini.
Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di belakangku. Aku berdeham dan
mengangkatnya.
“Halo?”
"Kau di mana?" tanya Hyunah ketus.
“Aku
sedikit terlambat. Tunggu aku di ruangan kemarin. Jongjin sudah tahu tentang
hal ini. Sebentar lagi aku akan sele–,” sambungan telpon terputus bahkan
sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. Kenapa Hyunah mematikan telpon
seperti itu?
“Itu
siapa?”
“Astaga!”
Aku terperanjat saat Ga In tiba-tiba berada di belakangku dengan ekspresi
wajahnya yang tak bisa kupahami. Kupegang dadaku yang berdebar keras. Jantungku
mencelos dan kurasa hampir jatuh ke usus. Untung saja aku tidak mengatakan
apa-apa, terlebih lagi tempat di mana aku mengajak Hyunah bertemu. “Bukan.
Bukan siapa-siapa,” jawabku kaku seakan tertangkap basah melakukan kesalahan.
Ga
In menyunggingkan senyumnya, berdecak sebal lalu membalikkan tubuhnya. Apa Ga
In curiga? Ah, masa bodoh.
*
Kulepaskan
kacamata hitamku dan menghela napas, menetralkan degupan jantungku yang semakin
kencang. Normalkah ini? Sela-sela jemariku berkeringat saat mendorong pintu
kaca framless itu dan kakiku terasa berat saat akan melangkah masuk. Perasaan
ini sama seperti ketika aku debut pertama kali di panggung. Hanya tidak terlalu
parah. Padahal ini bukan pertama kalinya aku bertemu seorang gadis, hanya
pertemuan singkat, basa-basi lalu berpisah. Yang membedakan adalah gadis yang
akan kutemui ini pernah singgah di hatiku belasan tahun yang lalu, dan sampai
saat ini aku masih membiarkannya ada di dalam tanpa ada niat mengusirnya.
“Hyeong!” seru Jongjin dari balik konter.
Ia terlihat tersenyum berseri-seri memamerkan sederet gigi putihnya. Ini bukan
ekspresi normal Jongjin. Aku yakin seyakin-yakinnya!
Saat
mendekati konter dan masuk lewat pintu samping, kulihat Jongjin masih tersenyum
seperti orang yang habis menang lotre. Terakhir Jongjin tersenyum seperti itu
saat ia menerima cokelat dari gadis yang ia suka - walau sebenarnya itu hanya
cokelat kewajiban. Aku tidak menghiraukannya dan berpura-pura mengecek laci
kasir. Melihat tumpukan uang di dalam yang berarti hari ini ramai seperti
biasanya. Biasanya aku berniat menghitungnya, tapi sekarang otakku sudah
dipenuhi oleh Hyunah.
“Hyeong, Noona sudah menunggumu lama di
dalam. Kau tidak langsung menghampirinya?” tanya Jongjin spontan.
“Oh,
ya?” Mau tidak mau aku harus berpura-pura memberi respon kaget yang terdengar
biasa saja supaya Jongjin tidak mengejekku.
Jongjin
mengangguk cepat, memasang tampang serius. “Sudah empat gelas kopi. Black coffee.”
Peringatan
kecil dari Jongjin membuatku terguncang. Sudah selama itukah Hyunah menunggu?
Kalau tidak menjaga gengsiku, mungkin aku sudah berlari dengan kecepatan penuh
menuju ruanganku. Dengan pelan, kututup laci dan dengan berlagak santai
mengambil segelas air mineral, meneguknya sampai habis dalam hitungan detik.
Kuambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Tidak berhasil. Detak jantungku
tidak bisa berdetak normal lagi.
“Hyeong...,” panggil Jongjin pelan. “Kau
gugup, ya?”
“Aku?
Tidak. Siapa yang gugup?”
“Hanya
orang gugup yang meminum habis segelas air penuh dengan sekali tegukan. Lihat,
tanganmu juga bergetar.”
“Ya!
Tenggorokanku kering dan tanganku tidak bergetar.” Kutaruh gelas di meja dan
mencuri pandang ke arah tanganku sendiri. Jongjin memang terlahir teliti. Aku
bahkan tidak sadar tanganku bergetar seperti ini.
“Kau
selalu menyangkal. Pergilah, Noona
sudah menunggumu.” Jongjin mendorongku seakan-akan ia sendiri yang tak sabar
bertemu dengan Hyunah. Padahal aku lebih tak sabar lagi. Aku sudah menunggu
pertemuan ini sejak seabad yang lalu!
“Kau
sungguh cerewet,” gerutuku pelan. “Aku bisa pergi tanpa kau suruh.”
Jongjin
tertawa geli.
“Noona? Noona siapa, Jongjin?” Terdengar suara yang sangat kuhapal di luar
kepala, dari arah belakang.
Benar
saja, saat aku dan Jongjin sontak membalikkan tubuh, kulihat seseorang yang
paling tidak ingin kutemui saat ini.
Park
Gain bertengger manis di konter sambil menopang dagu.
Oke.
Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi seandainya aku bisa menghentikan
jantungku, aku ingin mencabut jantungku sekarang. Ya, detik ini juga.
-
to be continue-
1 comment:
Good job, beb :*
Post a Comment